Seolah-olah kita hidup dalam dongeng, mengulang mantra kedaulatan teknologi di seminar, simposium, dan debat parlemen. Tapi apakah kita benar-benar paham apa yang kita ucapkan? "Kedaulatan teknologi," kata-kata itu melayang di udara, seperti asap dupa yang harum tetapi tidak kenyang.Â
Sementara di luar sana, dunia sedang mengubah nasibnya dengan algoritma, data, dan kecerdasan buatan. Kita? Masih sibuk menambal jalan yang bolong dan membangun jembatan di atas sungai yang kering. Selamat datang di Indonesia, negeri yang menjanjikan masa depan di atas puing-puing masa lalu.
Sabar, tunggu sebentar. Tahun 2045 masih 21 tahun lagi, cukup waktu untuk menyalakan mesin yang sudah lama mati. Pertanyaannya, apakah kita akan terus menyalakan lilin kecil di tengah badai digital ini, atau akhirnya berani menyalakan obor yang bisa menerangi masa depan kita sendiri?
Investasi R&D, Uang atau Mimpi?
Mari kita mulai dari angka karena tanpa angka, semua ini hanya omong kosong. Indonesia menghabiskan 0,3% dari PDB-nya untuk riset dan pengembangan (R&D). Angka ini, saudara-saudara, bahkan tidak cukup untuk membeli kopi di Silicon Valley, tempat lahirnya Google, Apple, dan Tesla.Â
Sementara itu, Singapura tetangga kita yang lebih kecil menghabiskan 2,2% dari PDB mereka untuk riset. Dan lihat hasilnya: startup-startup unicorn bertebaran, inovasi lahir di setiap sudut, sementara kita masih sibuk membicarakan investasi infrastruktur fisik yang akan roboh sebelum sepuluh tahun.
Coba bayangkan ini: kita menghabiskan triliunan untuk jalan tol, jembatan, dan bandara baru, sementara dunia luar menginvestasikan triliunan untuk kecerdasan buatan dan komputasi kuantum.
Jadi pertanyaannya, apakah kita sedang membangun jalan ke masa depan, atau hanya membangun jalan menuju ketertinggalan yang lebih dalam?
AI? Quantum computing? Bukan lagi mimpi. Di luar sana, Tiongkok menghabiskan lebih dari $400 miliar untuk memastikan dominasi mereka dalam teknologi-teknologi ini. Sementara kita? Kita hanya bisa bermimpi di bawah payung proyek mercusuar yang entah kapan akan selesai.
Keamanan Siber
Sadar atau tidak, Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap serangan siber. Pada tahun 2022, kita tercatat menerima lebih dari 1,6 miliar serangan siber. Bayangkan, 1,6 miliar!
Kita berbicara tentang ancaman terhadap infrastruktur digital, perbankan, data pemerintah, bahkan mungkin kehidupan kita sehari-hari. Dan apa respons kita? Sebuah anggaran keamanan siber yang lebih cocok untuk belanja sekuriti gedung, daripada perlindungan nasional.
Sementara itu, di balik layar, Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok terus menguji coba senjata siber mereka. Kita? Kita masih bertanya-tanya apakah kita butuh memperkuat infrastruktur digital atau tidak. Yang ironis, data kita dikontrol oleh teknologi yang diimpor dari negara-negara yang mungkin suatu hari akan menggunakannya untuk menyerang kita.