Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - @Malleumiustitiaeinsitute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Indonesia 2045, Apakah Kita Masih Numpang Revolusi Teknologi?

16 September 2024   09:39 Diperbarui: 19 September 2024   07:42 2992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi artificial intelligence (AI). (iStockphoto/David Gyung via KOMPAS.com)

Babak Baru dalam Sejarah Global

Hi, Kompasianer!

Di era di mana garis antara dunia digital dan fisik semakin kabur, dunia memasuki babak baru dalam sejarahnya. Batas-batas negara tidak lagi ditentukan oleh garis geografis, tetapi oleh kode, algoritma, dan inovasi teknologi.

Teknologi kecerdasan buatan (AI), komputasi kuantum, dan hipersonik bukan hanya kata-kata yang mendominasi tajuk utama berita; mereka adalah alat-alat yang sedang membentuk ulang peta kekuatan global.

Negara yang memegang kendali atas teknologi-teknologi ini akan menjadi pengendali masa depan. Seolah-olah kita sedang menyaksikan perlombaan luar angkasa baru, parahnya kali ini, medan pertempuran berada dalam dimensi digital dan virtual.

Lanskap Geopolitik yang Terpolarisasi

Saat ini, dunia berada di tengah-tengah rivalitas geopolitik yang lebih kompleks dan berbahaya daripada era Perang Dingin.

Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok semakin mendominasi panggung internasional, dan ini bukan hanya tentang dominasi ekonomi atau pengaruh militer, tetapi juga dominasi teknologi.

Perang teknologi yang terjadi antara dua kekuatan besar ini mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia, mulai dari Eropa hingga Asia Tenggara.

Di satu sisi, Amerika Serikat telah secara agresif memperketat kontrol ekspor teknologi, terutama terkait dengan AI, semikonduktor, dan komputasi kuantum.

Pada tahun 2023, AS memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap Tiongkok, menghalangi aksesnya terhadap teknologi semikonduktor canggih dan chip AI yang kritis untuk pengembangan masa depan mereka.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi AS untuk mempertahankan keunggulan teknologi dalam kompetisi global, khususnya yang berkaitan dengan aplikasi militer.

Pengendalian ekspor ini berdampak langsung pada industri semikonduktor global, dengan Taiwan dan Korea Selatan sebagai pemain utama yang terjebak di antara dua kekuatan besar.

Di sisi lain, Tiongkok, dengan ekonominya yang sangat bergantung pada rantai pasokan global, telah berusaha keras untuk menciptakan kemandirian teknologi.

Dalam satu dekade terakhir, investasi Tiongkok dalam R&D mencapai lebih dari 2,4% dari PDB, mendekati investasi R&D negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang. 

Pada tahun 2022, Tiongkok mengalokasikan lebih dari $400 miliar untuk pengembangan teknologi dengan tujuan mengejar ketertinggalan dalam sektor AI dan komputasi kuantum.

Dana besar ini digunakan untuk membangun ekosistem teknologi yang mandiri sebuah langkah yang dilihat oleh Washington sebagai ancaman eksistensial bagi supremasi teknologi AS.

Menariknya, dampak dari persaingan ini tidak hanya dirasakan di Washington dan Beijing. Negara-negara di Eropa, Asia, dan Amerika Latin juga terseret dalam tarik menarik geopolitik ini.

Uni Eropa, misalnya, berusaha menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak akan tetapi malah menemukan dirinya di bawah tekanan untuk mengambil sikap lebih keras terhadap Tiongkok.

Bahkan negara seperti Belanda, yang selama ini dikenal netral dalam persaingan global, telah terpaksa mengekang ekspor teknologi semikonduktor canggih melalui ASML, salah satu produsen terdepan dalam teknologi litografi untuk chip.

Semikonduktor, Pusat Pertempuran Global

Industri semikonduktor telah menjadi medan pertempuran utama dalam persaingan teknologi global. Taiwan, melalui TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company), memproduksi 54% dari total semikonduktor dunia, menjadikannya pusat dalam persaingan teknologi.

Taiwan bukan hanya pemain kunci, tetapi juga menjadi salah satu wilayah paling strategis dalam konteks geopolitik. Apapun ketidakstabilan di Taiwan dapat mengguncang industri global dan mempengaruhi rantai pasokan teknologi dunia.

Selain Taiwan, Belanda melalui ASML adalah satu-satunya produsen mesin litografi EUV yang sangat penting untuk memproduksi semikonduktor generasi terbaru. ASML memainkan peran vital dalam melindungi posisi dominan Barat dalam teknologi semikonduktor.

Pembatasan AS terhadap ekspor teknologi semikonduktor ke Tiongkok, yang melibatkan Samsung dan SK Hynix dari Korea Selatan, memperlihatkan betapa eratnya industri ini terhubung dengan dinamika geopolitik global. Korea Selatan sendiri memproduksi lebih dari 20% semikonduktor dunia, dan investasinya diperkirakan akan mencapai $450 miliar dalam dekade berikutnya.

Perlombaan Senjata Digital, Mengamati Kecerdasan Buatan dan Komputasi Kuantum

Jika kita melihat lebih dekat pada teknologi yang menjadi pusat dari pertarungan ini, dua hal yang menonjol: kecerdasan buatan (AI) dan komputasi kuantum.

AI bukan lagi hanya alat bantu; ia menjadi senjata digital yang dapat memengaruhi medan perang militer dan ekonomi. Pada tahun 2023, AS memperkirakan bahwa sektor AI global akan mencapai nilai $1 triliun pada tahun 2030, dengan Tiongkok mengklaim hampir 30% dari pasar tersebut.

Teknologi AI semakin menjadi tulang punggung untuk segala hal, mulai dari pengawasan, otomasi militer, hingga keputusan strategis dalam geopolitik. 

Penggunaan AI militer berkembang pesat, dengan berbagai negara mengembangkan drone otonom dan sistem pertahanan berbasis AI untuk meningkatkan kemampuan tempur mereka.

Komputasi kuantum, di sisi lain, adalah teknologi disruptif yang dapat merusak seluruh sistem keamanan dunia maya saat ini.

Kemampuan komputasi kuantum untuk memecahkan enkripsi yang sangat kompleks dalam waktu singkat memberikan keunggulan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam perang siber dan intelijen. 

Sementara Google dan IBM memimpin dalam pengembangan teknologi kuantum di AS, Tiongkok tidak jauh di belakang.

Pada tahun 2021, laboratorium kuantum Tiongkok berhasil mencapai terobosan besar dalam komputasi kuantum, yang memperlihatkan bagaimana Beijing mempercepat perlombaan teknologi ini.

Pengeluaran Tiongkok dalam riset kuantum telah melebihi $10 miliar, jumlah yang jauh melampaui investasi negara-negara lain, termasuk AS.

Pandemi COVID-19 dan konflik geopolitik seperti invasi Rusia ke Ukraina telah mengungkapkan kerentanan rantai pasokan global, khususnya dalam industri semikonduktor. Pada tahun 2022, penundaan dan kekurangan komponen chip menyebabkan kerugian lebih dari $210 miliar dalam industri otomotif global. Hal ini semakin menggarisbawahi betapa pentingnya kendali atas teknologi semikonduktor dalam ekonomi modern.

Menanam Bayangan di Atas Awan, Apa yang Kita Kejar di Tahun 2045?

Seolah-olah kita hidup dalam dongeng, mengulang mantra kedaulatan teknologi di seminar, simposium, dan debat parlemen. Tapi apakah kita benar-benar paham apa yang kita ucapkan? "Kedaulatan teknologi," kata-kata itu melayang di udara, seperti asap dupa yang harum tetapi tidak kenyang. 

Sementara di luar sana, dunia sedang mengubah nasibnya dengan algoritma, data, dan kecerdasan buatan. Kita? Masih sibuk menambal jalan yang bolong dan membangun jembatan di atas sungai yang kering. Selamat datang di Indonesia, negeri yang menjanjikan masa depan di atas puing-puing masa lalu.

Sabar, tunggu sebentar. Tahun 2045 masih 21 tahun lagi, cukup waktu untuk menyalakan mesin yang sudah lama mati. Pertanyaannya, apakah kita akan terus menyalakan lilin kecil di tengah badai digital ini, atau akhirnya berani menyalakan obor yang bisa menerangi masa depan kita sendiri?

Investasi R&D, Uang atau Mimpi?

Mari kita mulai dari angka karena tanpa angka, semua ini hanya omong kosong. Indonesia menghabiskan 0,3% dari PDB-nya untuk riset dan pengembangan (R&D). Angka ini, saudara-saudara, bahkan tidak cukup untuk membeli kopi di Silicon Valley, tempat lahirnya Google, Apple, dan Tesla. 

Sementara itu, Singapura tetangga kita yang lebih kecil menghabiskan 2,2% dari PDB mereka untuk riset. Dan lihat hasilnya: startup-startup unicorn bertebaran, inovasi lahir di setiap sudut, sementara kita masih sibuk membicarakan investasi infrastruktur fisik yang akan roboh sebelum sepuluh tahun.

Coba bayangkan ini: kita menghabiskan triliunan untuk jalan tol, jembatan, dan bandara baru, sementara dunia luar menginvestasikan triliunan untuk kecerdasan buatan dan komputasi kuantum.

Jadi pertanyaannya, apakah kita sedang membangun jalan ke masa depan, atau hanya membangun jalan menuju ketertinggalan yang lebih dalam?

AI? Quantum computing? Bukan lagi mimpi. Di luar sana, Tiongkok menghabiskan lebih dari $400 miliar untuk memastikan dominasi mereka dalam teknologi-teknologi ini. Sementara kita? Kita hanya bisa bermimpi di bawah payung proyek mercusuar yang entah kapan akan selesai.

Keamanan Siber

Sadar atau tidak, Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap serangan siber. Pada tahun 2022, kita tercatat menerima lebih dari 1,6 miliar serangan siber. Bayangkan, 1,6 miliar!

Kita berbicara tentang ancaman terhadap infrastruktur digital, perbankan, data pemerintah, bahkan mungkin kehidupan kita sehari-hari. Dan apa respons kita? Sebuah anggaran keamanan siber yang lebih cocok untuk belanja sekuriti gedung, daripada perlindungan nasional.

Sementara itu, di balik layar, Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok terus menguji coba senjata siber mereka. Kita? Kita masih bertanya-tanya apakah kita butuh memperkuat infrastruktur digital atau tidak. Yang ironis, data kita dikontrol oleh teknologi yang diimpor dari negara-negara yang mungkin suatu hari akan menggunakannya untuk menyerang kita.

Jadi kita terus begini, di masa depan, serangan siber bukan hanya akan mengincar rekening bank kita, tetapi juga kedaulatan kita sebagai negara. Dan ketika saat itu datang, jangan kaget jika kita hanya bisa menyaksikan layar hitam di ponsel kita, tak berdaya di tengah gempuran dunia maya.

Pusat Inovasi atau Kuburan Startup?

Dengan populasi lebih dari 275 juta jiwa, kita adalah pasar yang besar. Tapi pasar besar saja tidak cukup. Populasi muda kita yang besar seharusnya bisa menjadi katalis bagi inovasi, jika saja mereka diberi ruang dan modal yang cukup.

Saat ini, Jakarta adalah kota penuh mimpi, tetapi mimpi saja tidak cukup untuk menyaingi Silicon Valley. Kita perlu ekosistem yang mendukung, akses modal yang mudah, dan kebijakan yang mempermudah para inovator untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru.

Tapi lihatlah realitanya: sementara Singapura menciptakan unicorn dari ide-ide kecil yang berani, kita masih sibuk mengurusi birokrasi startup yang membingungkan.

Pemerintah sepertinya lebih senang memajang startup di acara-acara besar, tapi lupa bahwa setelah acara selesai, para inovator ini ditinggal tanpa modal, tanpa dukungan, tanpa harapan.

Jika kita terus begini, Jakarta 2045 tidak akan pernah menjadi Silicon Valley Asia Tenggara. Kita akan menjadi kuburan bagi ide-ide besar yang mati sebelum sempat hidup.

Masa Depan, Beranikah?

Jadi, apa yang akan kita lakukan, Indonesia? Apakah kita akan terus menjadi negara yang hanya mengeluh tentang kurangnya teknologi, tetapi tak pernah benar-benar berbuat? Atau apakah kita akan berani mengambil langkah yang nyata langkah yang penuh resiko tetapi juga penuh janji?

Tahun 2045, kita akan merayakan seratus tahun kemerdekaan. Pertanyaannya adalah: kemerdekaan seperti apa yang akan kita rayakan? Apakah kita akan menjadi bangsa yang mandiri, dengan teknologi yang kita kembangkan sendiri, atau kita akan tetap menjadi bangsa yang bergantung pada teknologi yang datang dari negara lain?

Di luar sana, Amerika Serikat dan Tiongkok sudah bertarung di medan perang teknologi. Mereka tidak menunggu kita. Dunia tidak peduli apakah kita siap atau tidak. Dunia akan terus bergerak maju, meninggalkan siapa saja yang tidak mampu mengikuti.

Tapi satu hal yang pasti: jika kita tidak bertindak sekarang, masa depan yang kita impikan hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah, tulisan kecil yang mengatakan: Indonesia pernah berharap, tapi gagal merebut peluang.

Jadi, Indonesia, apakah kita siap?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun