Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama FEATURED

Nikah Satu Kantor, Ini Warna-warni Kisah Pasangan Bekerja Sekantor

17 Desember 2017   10:11 Diperbarui: 20 November 2021   11:04 3457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Shutterstock

Tidak ada yang berani melerai atau memisahkan perkelahian pasangan suami-isteri kala bertikai di ruang kerja redaksi. Jangankan melerai, mendekat saja tidak berani. 

Soalnya, si Jambrut ketika marah dan memukuli isterinya, Ilahiyah, jika diteriaki atau dikomentari orang sekitar makin tambah 'kalap'. Bahkan berpotensi melukai Mpok Ilahiyah yang berperawakan langsing dan cantik.

Berpegang pada pengalaman-pengalaman menyaksikan suami isteri -- Jambrut dan Ilahiyah -- berkelahi, rekan-rekan di ruang redaksi media massa tergolong "wah" itu tidak mau mengambil resiko untuk melerai. 

Selain dapat merusak hubungan antarpesonal dalam kerja sehari-hari, juga ada perasaan khawatir bagi rekan jurnalis junior jika membuat artikel hasil karyanya dinilai "jeblok" alias kategri C.

Redaktur memang punya kuasa menentukan layak dan tidaknya suatu artikel dapat ditayangkan. Dengan sebutan lain, redaktur punya otoritas atas para jurnalis muda dan masih "bau kencur". 

Kira-kira, sama dengan kerja redaktur di kompasiana dapat menentukan artikel utama atau pilihan meski selera publik tidak selalu paralel dengan penilaian redaktur. 

Sesama redaktur bisa jadi punya perbedaan dalam menentukan "kelas" suatu artikel. Meskipun pedoman atau panduan dalam bidang keredaksian sudah ada, subjektivitas masih terasa kental.

Nah, posisi si Jambrut dan Ilahiyah adalah jurnalis senior. Disebut jurnalis senior karena sudah memiliki pengalaman "asam garam" dalam liputan dan bekerja cukup memadai di bidang keredaksian. 

Selain juga tentunya pendidikan untuk profesi jurnalisnya sangat mendukung. Sejatinya, dalam profesi ini, tak punya garis kuat untuk membedakan jurnalis senior dan junior. Boleh jadi, jurnalis junior jauh lebih pandai dan baik hasil karya jurnalistiknya dibanding para seniornya.

Saya tak bermaksud membicarakan profesi jurnalis panjang lebar di sini. Cukup hal itu sebagai gambaran umum saja terkait dengan pekerja jurnalis yang punya pasangan isteri atau suami bekerja satu kantor. 

Nikah satu kantor punya nilai "plus" dan "minus". Jika menjumpai suami-isteri kerja satu kantor terkesan "seru". Kadang si Jambrut terlihat dominan ketika marah, tetapi ketika berada di kantin makan bersama nampak terlihat "manja" minta dilayani. Ini ketika hubungan pasangan itu dalam kondisi "tensi rendah".

Sangat disayangkan, ketika pasangan ini rebut tak satu pun rekan-rekannya mendekat. Jangankan rekan junior, barangkali semut yang melintas cuma mendecak kagum menyaksikan dua insan berlainan jenis dan resmi diikat dalam pernikahan tengah memperagakan kekerasan terhadap isterinya sendiri.

"Malam dibutuhkan dan dipakai, di kantor dicaci maki dan dipukuli pula. Manusia macam apa?" hanya itu kalimat yang sering penulis dengar dari keluhan dari rekan-rekan jurnalis junior saat itu.

Sayang disayangkan pula, saat "perang" memuncak di ruang redaksi, tak satu pun pejabat turun tangan. Seolah sudah maklum kala mendengar Jambrut melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Katanya, si Jambrut memang punya penyakit. Lagi-lagi, kenapa dokter kantor tak turun tangan jika memang yang bersangkutan mengidap penyakit?

"Wah, nyebelin kalau lihat mereka 'bertarung' di ruang redaksi. Sampai kacak pinggang di atas meja pula," ungkap salah seorang rekan. Itu dulu, sekarang orangnya sudah pensiun sih.

***

Bang Nasir terlihat murung seusai menggelar acara resepsi pernikahan puterinya. Ia menikahkan puterinya, Bunga Wati dengan Jaka Lelono, yang juga merupakan rekan puterinya itu satu kantor di salah satu bank BUMN.

Apa yang menyebabkan Bang Nasir murung. Tak lain ia harus mengikhlaskan puterinya keluar dari kerjanya. Sebab, bank berpelat merah itu punya aturan bahwa suami-isteri dilarang kerja dalam satu kantor.

Awalnya tidak ada persoalan Bunga Wati keluar dari kerjanya. Tetapi di hari kemudian djumpai persoalan baru, Bunga punya jabatan penting kala bekerja dan kini menganggur mengaku merasa hambar hidupnya. Sebab, ia memiliki cukup pendidikan dan keahlian. Sangat disayangkan ilmunya jadi mubazir.

Terlebih lagi ia sebelumnya menjadi "tulang punggung" keluarga. Setelah nikah, gaji sang suami yang tak punya jabatan dan hanya staf biasa itu, tentu saja membuat repot ekonomi keluarga. Mau tak mau Bunga harus mencari kerjaan baru meski harus merangkak dari bawah lagi.

Cuma sayangnya, untuk mendapatkan pekerjaan tak semudah yang dipikirkan kala ia masih berstatus pacaran di kantor. Keputusan menikah dengan rekan sekantor lalu menuai kesulitan ekonomi bagi anggota keluarga.

Karena itu, Bang Nasir tak malu-malu pergi ke berbagai instansi menjumpai rekan-rekannya. Ia bertanya, kali-kali ada lowongan kerja yang sesuai untuk puterinya, Bunga Wati, yang baru menikah dengan rekannya sekantor.

Dengan membawa map besar, berkas yang menyangkut riwayat hidup Bunga Wati dibawa dan diceritakan kepada rekan-rekannya. Bang Nasir nampak sedih. Lebih sedih lagi ia memikirkan ke depannya, bagaimana ia harus menghidupi cucunya bila puterinya nanti melahirkan.

"Sampai sebegitunya. Semua saya pikirkan meski sadar bahwa rejeki itu sesungguhnya ada pada tangan Tuhan," ungkap Nasir kepada rekan-rekannya.

***

Janda yang kutunggu akhirnya datang juga. Demikian ungkapan Bang Inang yang bekerja di salah satu kementerian kepada rekan sekantornya. Inang memang sudah lama mengincar Rosa, janda beranak dua yang diceraikan suami yang tidak dikenalnya itu.

Rosa meski janda, ia kerap jadi bahan pembicaraan banyak orang. Ia memang selalu tampil menarik dan cantik. Sopan pula. Inang sangat mengidamkan menjadikan Rosa sebagai pasangan hidupnya, meski janda sekalipun.

Inang punya pembawaan kalem. Sopan dan cerdas sudah jelas ada pada pria lajang berperawakan kecil itu. Lantaran terlalu kalemnya, jelas saja  ia selalu saja gagal melakukan pendekatan alias pe de ka te dengan perempuan idamannya itu. Di sisi lain, Rosa diam-diam sudah menjalin "komunikasi" dengan atasannya. Sebut saja Juraedi yang berpendidikan calon doktor.

Inang mendapati fakta seperti itu, lalu merasa lemas. Layu seperti ayam sayur. Kalah bertarung sebelum perang. Dalam hati, Inang tetap berdoa semoga keberuntungan tetap ada padanya. Setiap shalat Jumat, tetap saja mengadahkan tangan berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk dicepatkan mendapatkan jodo dengan Rosa.

Doa paling mustajab adalah ketika shalat Jumat di antara khotib membacakan doa. Termasuk pada malam hari, shalat sunah malam hari. Inang pun tak malu menyampaikan keinginannya menikah dengan Rosa kepada orang tuanya meski belum pernah menyatakan maksud tersebut kepada wanita yang diharapkan sebagai istrinya.

Kepada Rosa, sepatah kata cinta belum pernah diutarakan. Tapi, kepada ibunya ia seolah sudah merasa yakin bahwa Rosa akan menjadi miliknya, sebagai isteri paling setia di hari mendatang.

Doa Inang dikabulkan Tuhan. Juraedi "mundur" teratur. Sang atasan gagal menjadikan sang janda Rosa sebagai isteri "siri" keempat. Dan, bermodal nekat, ia berhasil membuka komunikasi dengan Rosa. Selama sebulan komunikasi lalu berujung pada perkenalan kepada orang tua. Lantas disusul dengan lamaran.

Terjadi kesepakatan, Rosa lalu dipersunting Inang. Rekan-rekannya datang saat acara resepsi. Mereka menyaksikan kebahagiaan dua insan itu duduk di pelaminan.

Sayangnya, saat kebahagian berada pada puncak bagi dua insan itu, Rosa merasa gelisah. Pasalnya, ia harus dipindahkan ke unit kerja lainnya. Aturannya memang demikian di kementerian. Pasangan suami-isteri dilarang bekerja di satu unit yang sama.

Tapi, kini Rosa merasa gembira lagi. Apa pasal? Tak lain, lantaran ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membenarkan pasangan suami-isteri bekerja dalam satu unit. Tapi, bagaimana realisasinya di lapangan tentang keputusan MK itu. Kita belum tahu pesisnya. Sosialisasinya saja belum terdengar. Tunggu saja?

Seperti diwartakan, MK memutuskan bahwa kini karyawan boleh menikah dengan teman sekantor tanpa harus ada yang mengundurkan diri lebih dulu. Keputusan itu diambil atas uji materi pada Pasal 153 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai memfasilitasi larangan pernikahan dengan teman sekantor.

Bunyi pasal 153 ayat 1 adalah 'Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan'... f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama'.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan 'frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama' tidak memiliki hukum mengikat. Dengan demikian, pasal 153 ayat 1 huruf f itu secara keseluruhan dibaca 'Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan'... f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.'

MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Catatan: Mohon maaf, jika ada sebutan nama dan instansi kebutulan sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun