Mohon tunggu...
Eduard Salvatore da Silva
Eduard Salvatore da Silva Mohon Tunggu... -

Aku adalah pena dari sang penanya segala sesuatu yang ada di sekitarku. Eduard Salvatore da Silva, lahir di Jakarta, 4 Mei 1991. Pria yang akrab dipanggil Edu ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jakarta. Saat ini ia sedang menjalani pendidikan sarjananya (S1) di Program Studi Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Semester VII, sebagai bagian dari formasi menjadi calon imam Katolik. Penulis terhitung aktif menulis artikel-artikel, berita kegiatan, kisah inspiratif, serta surat pembaca dalam berbagai majalah dan surat kabar (Majalah Mingguan Katolik HIDUP, surat pembaca Koran Suara Pembaruan, Klasika Kompas) dan majalah internal sekolah dan institusi. Penulis juga pernah mengikuti beberapa lomba menulis sejak di bangku Sekolah Menengah Atas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggagas Revolusi Mental di Dunia Pendidikan Indonesia: Rintisan Mendidik Para (Calon) Pendidik

28 September 2015   10:49 Diperbarui: 28 September 2015   12:26 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                       [caption caption="www.bestsatelliteproviders.com"]

  1. Selayang Pandang Dunia Pendidikan dan Problematikanya

Pendidikan adalah fenomena utama yang dialami manusia dalam hidupnya, dimana orang orang yang telah dewasa membantu perkembangan dan pertumbuhan peserta didik (yang belum dewasa) untuk tumbuh menjadi dewasa dan berkeutamaan.[1] Ki Hajar Dewantara, Bapa Pendidikan Nasional Indonesia pernah mengungkapkan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki keutamaan-keutamaan, seperti ketertiban, kedamaian, kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan. Semua ini diperlukan untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang kondusif, tempat terselenggaranya kehidupan dan pergaulan yang wajar. Oleh karena itu, perlu ditinjau sejauh mana peran dunia pendidikan dalam mewujudkan ekspektasi itu.

Memang sejatinya pendidikan terjadi di segala waktu, segala kondisi dan dijalankan oleh siapapun, karena dimana ada kehidupan di situ ada pendidikan. Namun, disadari bahwa sesungguhnya tidak ada suatu kegiatan pun yang secara tersendiri (an sich) yang bisa dikatakan sebagai perbuatan mendidik (berbeda ketika kita menyebut kata ”makan”, ”minum”, ”kerja” yang memang teridentifikasi sebagai kegiatan spesifik/tertentu). Maka suatu perbuatan tertentu bisa dikatakan sebagai perbuatan mendidik sejauh dimaksudkan demikian (intensional) oleh sang pendidik itu sendiri demi pendewasaan diri orang yang hendak dididik.[2] Dari sini dapat disimak bahwa peran pendidik dalam proses pendidikan itu sendiri tentu tak bisa disepelekan.

Pada kesempatan ini, penulis hendak merefleksikan peran pendidik, khususnya dalam konteks pendidikan formal (guru, dosen, dsb.) dalam mewujudkan aktivitas eksistensial-nya tersebut. Peran para guru yang membaktikan diri dengan penuh dedikasi dan loyalitas sudah selayaknya diganjar dengan penghargaan yang pantas berupa kesejahteraan. Namun, perubahan alam pikiran zaman modern menyajikan perspektif lain, dimana tindakan mendidik dilakukan semata-mata untuk menerima upah dan menumpuk keuntungan bagi diri sang pendidik (profitasi). Jika demikian, sesungguhnya mereka telah mengkhianati hakikat profesinya yang digali dari eksistensinya sendiri sebagai manusia. Penulis tentu tidak hendak menghakimi bahwa fenomena guru di zaman modern ini, khususnya dalam konteks Indonesia secara keseluruhan sudah bercorak profitasi. Buktinya masih banyak guru yang berdedikasi kendati mereka belum bisa dikatakan sejahtera. Tulisan ini hendak menyajikan perspektif alternatif dan preventif untuk menghalau kebinasaan kemurnian motivasi dan loyalitas profesi guru yang hendak mewujudkan impian bersama masyarakat Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercermin dalam amanat Pembukan UUD 1945 § 4.

Maka dalam proses refleksi filosofis ini, penulis hendak menyajikan proses penerapan revolusi mental pendidikan Indonesia yang dimulai dengan menyibak potret guru sebagai profesi dalam konteks Indonesia beserta standar dan kualifikasi profesi yang menyertainya. Selanjutnya, penulis hendak mengamati wajah pendidikan Indonesia di tengah tantangan komodifikasi pendidikan yang menjanjikan kemapanan profesi guru, mencari ”kenyamanan dan kesejahteraan” di dalamnya, yang sayangnya juga bisa mengesampingkan loyalitas dan semangat pengabdian mendidik yang merupakan tindakan eksistensialnya. Di tengah carut-marut ancaman mental profitasi ini, penulis hendak mengetengahkan perspektif sosok Nicolaus Driyarkara[3] yang menyajikan konsep pendidikan sebagai aktivitas fundamental dan eksistensial manusia yang seyogyanya menjadi landasan pengabdian tulus seorang guru dalam profesinya. Dalam bagian akhir, barulah penulis menawarkan sebentuk aplikasi alternatif wacana Revolusi Mental[4], khususnya dalam konteks revolusi pendidikan yang dimulai pertama-tama dari perombakan mentalitas para pendidik. Mereka inilah yang nantinya menjadi figur penting penopang kemajuan generasi muda yang mereka didik di masa kini guna merangkai masa depan bangsa yang lebih baik.

  1. Menilik Rekam Jejak Profesi Keguruan di Indonesia

Dewasa ini, orang sepintas memahami bahwa mengajar/mendidik adalah sebuah profesi. Namun sesungguhnya, ada kualifikasi-kualifikasi tertentu yang menjadi prasyarat suatu pekerjaan bisa disebut sebagai profesi. Dalam konteks jabatan guru, setidaknya dikenal kriteria National Education Association (NEA-1948)[5] yang memaparkan prasyarat profesionalitas guru dengan kualifikasi berikut; Pertama, jabatan tersebut melibatkan kegiatan intelektual, yang tentunya jelas sekali terpenuhi dalam pekerjaan guru mendidik. Kedua, jabatan menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. Profesi pendidik tentu mengandaikan penguasaan khusus di cabang/bidang ilmu tertentu sebagai persiapan bahan yang diajarkan kepada peserta didik. Ketiga, Jabatan memerlukan persiapan profesional berjangka waktu. Dalam hal ini, para pendidik tentu mengeyam pendidikan yang menjadi dasar pengajarannya. Keempat, jabatan memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. Peningkatan kualitas guru secara berjenjang terus diupayakan (seperti penyetaraan D-II untk guru SD, D-III untuk guru SMP, dsb.) meloloskan pendidik dari kualifikasi ini.

Kelima, jabatan menjanjikan karier hidup dan keanggotaan permanen. Dalam kriteria ini, memang masih bisa terjadi perdebatan mengenai apakah profesi guru sudah menjanjikan hidup seseorang mapan dan layak atau tidak. Namun, setidaknya dalam konteks Indonesia, stabilitas karir guru yang tidak beralih ke pekerjaan lain masih terjaga, sejujurnya juga karena mereka tidak punya banyak pilihan. Keenam, jabatan yang menentukan bakunya sendiri, diindikasikan dalam kemampuan membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Ketujuh, jabatan yang mementingkan layanan publik di atas keuntungan pribadi. Jabatan guru senantiasa diyakani memiliki nilai sosial yang tinggi dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik bagi warga negara masa depan. Kedelapan, jabatan yang mempunyai organiasi profesional yang kuat. Keberadaan Persatuan Guru Nasional atau Ikatan Sarjana menjadi bukti keabsahan guru sebagai profesi.      

Bertolak dari semua uraian di atas, guru bisa dipandang sebagai sebuah status profesional yang mengandaikan kualifikasi tertentu yang sudah selayaknya dimiliki pejabatnya.[6] Dalam sejarah perkembangan profesi keguruan di Indonesia, diungkapkan bahwa guru-guru Indonesia awalnya diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan (formal), baru berlanjut pada guru-guru lulusan Kweekschol[7] dan sekolah lanjutan lain (Hollands Inlande School, Hogere Burgeschool, dll.), bentukan pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terus berlanjut juga di zaman pendudukan Jepang dengan peningkatan kualifikasi dan sistematisi jenjangnya. Dinamika ini terus berjalan, hingga kini di Indonesia sudah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mewadahi organisasi guru serta mempunyai wakil di DPR/MPR untuk mengurusi berbagai kepentingan profesi ini. Namun, semua itu tidak niscaya menjamin posisi guru sebagai jabatan profesional yang matang dengan hak-hak yang terlindungi dari segi profesional, kesejahteraan serta statusnya dalam masyarakat.

Memang dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia, para pendidik ini pernah memiliki status yang amat tinggi dalam masyarakat. Mereka tak hanya mendidik anak di depan kelas, tetapi juga mendidik masyarakat, hingga menjadi narasumber solusi pada (hampir) setiap masalah pribadi maupun sosial masyarakat (tradisional khususnya).[8] Namun seiring kemajuan zaman (sains dan teknologi), kewibawaan profesi ini pun dirasa mulai luntur. Fokus perhatian guru terkait imbalan atau balas jasa, bukan pada pengabdian dan loyalitas menggerus kepercayaan dan respek masyarakat terhadapnya. Perkembangan pendidikan intelektual masyarakat sendiri juga menurunkan kapabilitas guru menjadi aktor utama dan tunggal dalam mendidik. Selain itu, keberadaan profesi lain yang lebih menjanjikan secara ekonomis membuat kesan bahwa profesi guru kalah bergengsi.

  1. Wajah Pendidikan Indonesia di Tengah Ancaman Komodifikasi Pendidikan.

Dalam teori ilmu sosial, fenomena spesialisasi profesi disinyalir menjadi karakteristik masyarakat modern. Maka segala perangkat yang ada di dalamnya juga terkondisikan untuk membantu individu mengembangkan diri (dalam pelatihan dan pendidikan) sehingga memiliki kompetensi serta etika profesionalnya (professional ethics). Berbagai pandangan para ahli berusaha menyajikan perspektif berbeda dalam mendefinisikan konsep profesi dalam masyarakat modern ini.

Salah satunya sosiolog Max Weber, yang memprediksi bahwa karakter masyarakat modern akan nampak pada pembagian tugas seseorang secara tersendiri (spesialisasi) dengan keterampilan ilmiahnya yang khusus dan memadai. Hal ini nampak dalam fenomena segmentasi masyarakat berdasarkan pekerjaannya.[9] Tentu fenomena ini bisa bermakna positif ketika spesialisasi pekerjaan akan memaksimalkan keahlian seseorang di bidang tertentu. Masalah baru muncul ketika profesi dipandang sebagai kelompok terorganisir yang bertujuan hanya untuk memenuhi kepentingan diri mereka semata (self interest dari sang profesional) dengan mengesampingkan motif pelayanan kepada publik/masyarakat sebagai keseluruhan.[10]

Konsep ini juga bisa berpengaruh dalam profesi guru, ketika profitlah (dalam bentuk jaminan/sertifikasi, kesejahteraan dan prestise) menjadi tujuan akhir dari proses mendidik. Proses pendidikan ini sendiri akhirnya telah berubah menjadi komoditas (komodifikasi) yang diperjualbelikan (antar pihak guru, sekolah atau pemerintah dengan peserta didik). Dimensi kontribusi, loyalitas, pengabdian serta ”keterpanggilan” para guru untuk mendidik generasi muda pun menjadi samar, ketika dihadapkan pada hasrat mencari untung sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Sebagai contoh ilustrasi, ketika mendengar informasi bahwa anggaran pendidikan Indonesia tahun 2015 sebesar 409 triliyun rupiah[11] untuk tunjangan gaji serta pelatihan peningkatan kualitas, para pendidik/guru ’penganut’ konsep ini akan sibuk mengajukan tuntutan terhadap pihak pemerintah karena masih merasa kurang karena hak-haknya belumlah terpenuhi. Sikap ini tidak dibarengi dengan itikad baik masing-masing pribadi pendidik untuk memaksimalkan anggaran pelatihan ini demi menaikan kualitas mengajarnya. Maka momen pelatihan bisa saja hanya dijadikan kesempatan mereka mendapat honor tambahan berupa ”uang duduk” seminar pelatihan tanpa intensi mengembangkan kemampuan mengajarnya.  

Sudah sekian lama profesi guru/pendidik dipandang oleh masyarakat umum sebagai wujud pengabdian sejati – Patriot, pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.[12] Tentu perspektif profitasi (tindakan seseorang yang berorientasi pada keuntungan semata) ini bisa dikatakan sebagai pengingkaran eksistensi manusiawinya sendiri sebagai makluk yang senantiasa terdidik dan mendidik. Dewasa ini orang mau mendidik bukan karena demi menjaga eksistensinya kekal yang diwariksan pada generasi muda tetapi sebatas pekerjaan, demi dibayar untuk kebahagiaan dan kesejahteraan hidup ”semu” yang singkat di masa kini.           

Namun harapan belumlah sirna. Jika disimak dalam perspektif sosiolog Emile Durkheim[13], kompetensi dan etika profesi yang diemban seseorang sejatinya menekankan sikap altruistis, yakni sebuah paham pemberian diri yang menaruh perhatian lebih pada orang lain sebagai keseluruhan dibandingkan kepentingan dirinya sendiri yang sempit. Maka seorang profesional memberi perhatiannya pada pelayanan komunitas secara umum dan bagi orang yang dilayaninya secara khusus sesuai bidangnya. Maka, seorang pengacara adalah juga seorang penjaga hukum demi kepentingan seluruh masyarkat, atau seorang dokter dengan sumpahnya, pertama-tama akan fokus menjaga kesehatan komunitas. Seorang guru menaruh perhatian pada proses pembangunan intelektual, karakter dan kualitas moral anak didiknya.

Tinggi rendahnya ”ganjaran” (dalam bentuk pemasukan dan prestise) yang diterima oleh seorang profesional mencerminkan seberapa penting kontribusinya berperan dalam perwujudan kebaikan masyarakat. Pandangan fungsionalis dari seorang profesional inilah yang kemudian mempersiapkan kemajuan sebuah masyarakat dengan berbagai kelompok profesi di dalamnya, mewujudkan loyalitas demi kebaikan umum, bukan self interest semata.

  1. Pendidikan sebagai Aktivitas Eksistensial dan Fundamental Manusia: Proses Hominisasi dan Humanisasi

Proses mendidik dan dididik menjadi fase yang patut dilalui suatu masyarakat untuk menyiapkan generasi penerus, supaya bisa bersosialisasi dan beradaptasi dalam budayanya, serta tentu untuk mempertahankan eksistensinya. Maka hal ini bisa dikatakan sebagai strategi budaya tertua untuk melanggengkan keberadaan manusia. Dalam dinamikanya, pendidikan pernah dipahami sebagai wahana penyaluran ilmu pengetahuan, pembentukan watak, pelatihan keterampilan, hingga pemicu kesadaran masyarakat akan nilai-nilai hakiki kehidupan, seperti perdamaian, keadilan sosial, penghormatan terhadap kehidupan, religiusitas dan lainnya.[14] Singkatnya, eksistensi umat manusia akan terancam jika perwujudan pendidikan diabaikan.

Driyarkara sendiri melihat pendidikan sebagai fenomena manusiawi yang nampak walaupun tidak begitu saja secara eksplisit. Suatu tindakan bisa dikategorikan sebagai tindakan mendidik sejauh diberi arti tertentu (oleh pendidik) dan membawa anak yang dididik masuk ke taraf insani. Masalahnya tak ada satu pun bentuk kegiatan khusus dan spesifik yang menurut strukturnya sendiri bisa dikatakan sebagai perbuatan mendidik. Maka lebih lanjut Driyarkara menjelaskan bahwa:

{...) mendidik adalah serupa dengan perbuatan manusia lain yang sifatnya mendalam. Bandingkan dengan cinta kasih. Cinta kasih manusia, misalnya antara suami istri, tidak terikat pada bentuk tertentu, Suatu perbuatan yang hari ini merupakan penjelmaannya mungkin lain hari merupakan sebaliknya. Tidak ada perbuatan tertentu yang sendirinya menjadi bentuk penjelmaannya.[15]

Perbuatan penjelmaaan cinta kasih ini yang disebut tindakan fundamental karena menyentuh akar hidup sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Maka pendidikan menjadi aktivitas fundamental karena terjelma dalam sekian banyak bentuk tindakan yang berorientasi pada penghantaran manusia muda yang dididik menuju ke taraf insani (pembentukan pribadi yang utuh).

Maka sosok Driyarkara menuangkan buah pemikirannya tentang pendidikan dalam konsep hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah proses ”menjadi” manusia yang menyangkut perkembangan fisik yang berjalan seiring perkembangan psikologis melalui sosialisasi dan interaksi dalam keluarga dan pendidikan awal. Humanisasi sendiri merupakan tingkat kebudayaan yang lebih tinggi yang tercermin dalam pengembangan dimensi ekonomis (mengolah barang atau materi agar berguna dalam hidupnya), dimensi teknik (mempelajari struktur hukum alam dan bekerja menurut prinsipnya dengan modifikasi kreatif), dimensi kebudayaan dengan ekspresi diri  dan rasa perasaan yang tertuang dalam adat istidat sarat makna, serta dimensi peradaban (civilization) yang mempersantun ekspresi tata laku dan budi bahasa manusia terdidik yang sesuai dengan nilai-nilai hakiki yang dihargai bersama dalam masyarakat.[16]

Semua hal ini sekali lagi menegaskan pentingnya peran pendidikan yang secara fundamental diperlukan untuk membentuk kehidupan yang kondusif dijalani manusia. Peran guru (pendidik) pun niscaya menjadi amat penting tanpa mendiskriminasikan kontribusi anak (yang dididik) dalam proses pemanusiaan ini. Dengan keterbukaan, murid menerima dan merespon apa yang ditanamkan sang pendidik. Interaksi kedua pihak inilah yang menjadi gerakan memanusiakan manusia (muda), agar menjadi pribadi yang utuh dan tangguh.    

  1. Revolusi Mental: Mendidik Mentalitas (Calon) Pendidik

Bertolak dari landasan filosofis yang dipaparkan di atas, sesungguhnya kita bisa menyimak bahwa profesi guru tentu bernilai kebaikan dalam dirinya sendiri (das ding an sich). Tindakan mendidik amatlah luhur karena merupakan bentuk aktualisasi diri mendasar bagi manusia demi mengekalkan eksistensinya. Tujuan mulia dari tindakan mendidik untuk memanusiakan manusia menjadikan profesi ini sungguhlah tepat jika disebut sebagai ibu segala profesi (Stinnett dan Huggeth,1963) karena mendasari persiapan semua kegiatan profesi lainnya.[17] Maka, hakikat profesi guru yang luhur dan mulia ini tentu tidak layak disandingkan dengan motif profitasi pendidikan, dimana guru hanya mengejar kebahagian “kesejahteraan semu” (impian sertifikasi atau pengangkatan pegawai negeri sipil) dengan mengabaikan semangat pengabdian, dedikasi dan loyalitas yang seharusnya melekat pada esensi dan eksistensi profesi ini. Hal itu (kesejahteraan) memang tentulah perlu diwujudkan, Pemerintah tentu tetap harus didorong untuk menyalurkan anggaran pendidikan tepat sasaran dan mengayomi kebutuhan mendasar setiap pendidik. Namun hal ini tidak boleh menjadi hal utama yang menjadi motivasi dasar seorang guru pendidik memutuskan untuk mendidik.

Tindakan mendidik sekali lagi akhirnya merupakan sebuah panggilan, bukan sarana meraup profit. Untungnya di Indonesia masih ditemukan sekian banyak pendidik sejati yang tetap melayani dengan penuh cinta dan dedikasi di tengah segala keterbatasan mereka yang belum disejahterakan oleh profesinya ini.[18]

Sekarang pertanyaannya, bagaimanakah kesadaran ini ditumbuhkan? Harus dikatakan bahwa sesungguhnya berbagai upaya telah diupayakan guna sampai pada penghayatan yang tepat tentang profesi guru yang tak boleh berhenti pada orientasi pada profit. Perombakan berbagai bentuk kurikulum, hingga yang terbaru Kurikulum 2013 sesungguhnya memaksudkan peng-optimal-an peran guru pendidik dan murid sendiri demi menciptakan suatu sistem pendidikan yang didaktis dan berorientasi pada pembentukan masa depan generasi bangsa. Lebih jauh Rhenald Kasali[19] menamai sosok pendidik ideal dalam terminologi ”Guru Inspiratif” yang menjawab tuntutan zaman, dengan mengajak peserta didik tidak hanya mengikuti kurikulum, tetapi mengembangkan kreativitas dan semangat inovatif.

 Salah satu bentuk langkah alternatif kontemporer yang kiranya cukup relevan untuk membentuk kesadaran generasi muda mengenai hakikat pendidikan ini adalah gerakan sejenis Indonesia Mengajar[20] yang digagas Dr. Anies Baswedan dkk. Sepuluh November tahun dua ribu sepuluh menjadi tonggak penting pembentukan karakter 51 wakil generasi muda Indonesia yang hendak diutus ke 117 desa di 14 kabupaten, mulai dari Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, hingga Fakfak, Papua Barat yang akhirnya menginspirasikan lebih dari 18 ribu anak. Gerakan ini menggagas ide bahwa pendidikan seyogyanya melibatkan semua orang karena mendidik adalah tugas setiap orang terdidik. Selain menginspirasikan anak didik di pelosok Indonesia ini, gerakan ini akhirnya memberi manfaat formatif dan revolutif bagi mentalitas generasi muda utusan ini sendiri untuk  peduli terhadap orang lain, cinta kepada profesinya, cinta kepada harapan yang mereka yakini dan cinta kepada sebuah bangsa yang merindukan guru. Tindakan mendidik orang lain akhirnya menjadi pendidikan bagi diri sendiri. Maka gerakan sejenis ini hendaknya digalakkan, sehingga pembentukan karakter pendidik sampai pada hakikatnya, bukan pada landasan orientasi keuntungan dalam berkarya mendidik bangsa.

Keberhasilan pendidikan suatu bangsa terukur dari kualitas pendidiknya dan keterbukaan anak didiknya. Peran anak didik yang akomodatif memang penting, namun kontribusi pendidik yang dengan sabar, kreatif, penuh dedikasi dan loyalitas merupakan keharusan. Profit bukanlah motif pendidikan yang esensial. Perwujudan dan pelanggengan eksistensi peradaban manusialah yang seyogyanya patut melandasi motif pendidik yang hendak mendidik dengan sepenuh hati. Dengan revolusi mental ini, kiranya wajah pendidikan Indonesia akan berjalan pada jalur yang tepat menuju masa depan Indonesia yang lebih cerah.   

 Daftar Pustaka

 Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002.

 Dua, Mikhael, Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Sebuah Esei Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

 Haralambos, Michael, dkk.. Sociology Themes and Perspectives - Sixth Edition. London: HarperCollins Publishers, 2004.

 Rasjid, M. Arsjad P.M. dalam Pengajar Muda, Indonesia Mengajar. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2011.

 Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007.

 Sudiarja,A., dkk (ed.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Pemikir yang Terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, “Buku Kedua:  Problematika Pendidikan”. Jakarta: Gramedia, 2006.

 Wahono, Francis X., Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta: Insist Press - Cindelaras, 2001.

 Artikel Kompas Cetak

 Kasali, Rhenald, “Guru Inspiratif”, dalam Opini Kompas Cetak, 29 Agustus 2007.

 Redaksi (A07), “50 Persen Anggaran untuk Guru: Kesejahteraan Perlu Diimbangi Pembangunan Kualitas”, dalam Kompas Cetak, 10 Oktober 2014.

 Yoshihara, Anita. “Hidup Guru yang Terus Pinjam Sana-sini” dalam Kompas Cetak, 26 Juli 2007.

 

 * Mahasiswa Program Strata-1 (Semester VII), Program Studi Teologi, STF Driyarkara, Jakarta.

[1] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002), hlm. 4.

[2] A. Sudiarja, dkk (ed.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Pemikir yang Terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, “Buku Kedua:  Problematika Pendidikan”, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 270.

[3] Salah satu pemikir penting Indonesia, Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia, pendiri IKIP Sanata Dharma - Yogyakarta, yang menuangkan buah pemikiran tentang gagasan-gagasan keindonesiaan, pendidikan dan Pancasila (wafat awal 1967).

[4] Terminologi dan arah dasar perubahan mentalitas Bangsa Indonesia dipopulerkan oleh Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, Ir. H. Joko Widodo.

[5] Disarikan dari Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), hlm. 18-27.

[6] Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), hlm. 37.

[7] Sekolah Keguruan di Indonesia pertama kali didirikan di Solo (1852).

[8] Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), hlm. 29.

[9] Mikhael Dua, Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Sebuah Esei Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm 109.

[10] Michael Haralambos, dkk. Sociology Themes and Perspectives - Sixth Edition, (London: HarperCollins Publishers, 2004), hlm.  625.

[11] Data diambil dari artikel Redaksi (A07), “50 Persen Anggaran untuk Guru: Kesejahteraan Perlu Diimbangi Pembangunan Kualitas”, dalam Kompas Cetak, 10 Oktober 2014, hlm 11.

[12] Kesan ini setidaknya tercermin dalam perspektif Lagu Hymne Guru karangan Sartono (1980).

[13] Michael Haralambos, dkk. Sociology Themes and Perspectives - Sixth Edition, hlm.  625.

[14] Disarikan dari Francis X. Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Insist Press - Cindelaras, 2001), hlm. ii-v.

[15] A. Sudiarja, dkk (ed.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Pemikir yang Terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, “Buku Kedua:  Hominisasi dan Humanisasi”, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 358.

 [16] Disarikan dari A. Sudiarja, dkk (ed.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Pemikir yang Terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, “Buku Kedua:  Hominisasi dan Humanisasi”, hlm. 369-370.

[17] Kutipan ini diambil  penulis sebagaimana tercantum dalam  Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), hlm. 18.

[18] Penulis berkaca dari beberapa kisah guru penuh dedikasi di tengah keterbatasan dan impian kesejahteraan yang tak kunjung mendekat. Dikisahkan sosok Lusi Rahmawati, guru kontrak di SDN Gelam I, Desa Karundang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kabupaten Serang, Banten, yang diupah Rp. 300.000 per bulan. Upah itu sesungguhnya hanya bisa menutupi ongkosnya pergi mengajar ke sekolah yang membutuhkan uang sekitar Rp. 288.000 per bulan. Kisah ini dilengkapi dengan beberapa kisah guru berdedikasi lain yang dikisahkan dalam artikel “Hidup Guru yang Terus Pinjam Sana-sini” dalam Kompas Cetak, 26 Juli 2007, hlm. 1-2.

[19] Disampaikan dalam Opini Rhenald Kasali, “Guru Inspiratif”, dalam Kompas Cetak, 29 Agustus 2007.

[20] Disarikan dari sambutan M. Arsjad Rasjid P.M. dalam Pengajar Muda, Indonesia Mengajar (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2011), hlm. xvi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun