Mohon tunggu...
Eduard Salvatore da Silva
Eduard Salvatore da Silva Mohon Tunggu... -

Aku adalah pena dari sang penanya segala sesuatu yang ada di sekitarku. Eduard Salvatore da Silva, lahir di Jakarta, 4 Mei 1991. Pria yang akrab dipanggil Edu ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jakarta. Saat ini ia sedang menjalani pendidikan sarjananya (S1) di Program Studi Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Semester VII, sebagai bagian dari formasi menjadi calon imam Katolik. Penulis terhitung aktif menulis artikel-artikel, berita kegiatan, kisah inspiratif, serta surat pembaca dalam berbagai majalah dan surat kabar (Majalah Mingguan Katolik HIDUP, surat pembaca Koran Suara Pembaruan, Klasika Kompas) dan majalah internal sekolah dan institusi. Penulis juga pernah mengikuti beberapa lomba menulis sejak di bangku Sekolah Menengah Atas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggagas Revolusi Mental di Dunia Pendidikan Indonesia: Rintisan Mendidik Para (Calon) Pendidik

28 September 2015   10:49 Diperbarui: 28 September 2015   12:26 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep ini juga bisa berpengaruh dalam profesi guru, ketika profitlah (dalam bentuk jaminan/sertifikasi, kesejahteraan dan prestise) menjadi tujuan akhir dari proses mendidik. Proses pendidikan ini sendiri akhirnya telah berubah menjadi komoditas (komodifikasi) yang diperjualbelikan (antar pihak guru, sekolah atau pemerintah dengan peserta didik). Dimensi kontribusi, loyalitas, pengabdian serta ”keterpanggilan” para guru untuk mendidik generasi muda pun menjadi samar, ketika dihadapkan pada hasrat mencari untung sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Sebagai contoh ilustrasi, ketika mendengar informasi bahwa anggaran pendidikan Indonesia tahun 2015 sebesar 409 triliyun rupiah[11] untuk tunjangan gaji serta pelatihan peningkatan kualitas, para pendidik/guru ’penganut’ konsep ini akan sibuk mengajukan tuntutan terhadap pihak pemerintah karena masih merasa kurang karena hak-haknya belumlah terpenuhi. Sikap ini tidak dibarengi dengan itikad baik masing-masing pribadi pendidik untuk memaksimalkan anggaran pelatihan ini demi menaikan kualitas mengajarnya. Maka momen pelatihan bisa saja hanya dijadikan kesempatan mereka mendapat honor tambahan berupa ”uang duduk” seminar pelatihan tanpa intensi mengembangkan kemampuan mengajarnya.  

Sudah sekian lama profesi guru/pendidik dipandang oleh masyarakat umum sebagai wujud pengabdian sejati – Patriot, pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.[12] Tentu perspektif profitasi (tindakan seseorang yang berorientasi pada keuntungan semata) ini bisa dikatakan sebagai pengingkaran eksistensi manusiawinya sendiri sebagai makluk yang senantiasa terdidik dan mendidik. Dewasa ini orang mau mendidik bukan karena demi menjaga eksistensinya kekal yang diwariksan pada generasi muda tetapi sebatas pekerjaan, demi dibayar untuk kebahagiaan dan kesejahteraan hidup ”semu” yang singkat di masa kini.           

Namun harapan belumlah sirna. Jika disimak dalam perspektif sosiolog Emile Durkheim[13], kompetensi dan etika profesi yang diemban seseorang sejatinya menekankan sikap altruistis, yakni sebuah paham pemberian diri yang menaruh perhatian lebih pada orang lain sebagai keseluruhan dibandingkan kepentingan dirinya sendiri yang sempit. Maka seorang profesional memberi perhatiannya pada pelayanan komunitas secara umum dan bagi orang yang dilayaninya secara khusus sesuai bidangnya. Maka, seorang pengacara adalah juga seorang penjaga hukum demi kepentingan seluruh masyarkat, atau seorang dokter dengan sumpahnya, pertama-tama akan fokus menjaga kesehatan komunitas. Seorang guru menaruh perhatian pada proses pembangunan intelektual, karakter dan kualitas moral anak didiknya.

Tinggi rendahnya ”ganjaran” (dalam bentuk pemasukan dan prestise) yang diterima oleh seorang profesional mencerminkan seberapa penting kontribusinya berperan dalam perwujudan kebaikan masyarakat. Pandangan fungsionalis dari seorang profesional inilah yang kemudian mempersiapkan kemajuan sebuah masyarakat dengan berbagai kelompok profesi di dalamnya, mewujudkan loyalitas demi kebaikan umum, bukan self interest semata.

  1. Pendidikan sebagai Aktivitas Eksistensial dan Fundamental Manusia: Proses Hominisasi dan Humanisasi

Proses mendidik dan dididik menjadi fase yang patut dilalui suatu masyarakat untuk menyiapkan generasi penerus, supaya bisa bersosialisasi dan beradaptasi dalam budayanya, serta tentu untuk mempertahankan eksistensinya. Maka hal ini bisa dikatakan sebagai strategi budaya tertua untuk melanggengkan keberadaan manusia. Dalam dinamikanya, pendidikan pernah dipahami sebagai wahana penyaluran ilmu pengetahuan, pembentukan watak, pelatihan keterampilan, hingga pemicu kesadaran masyarakat akan nilai-nilai hakiki kehidupan, seperti perdamaian, keadilan sosial, penghormatan terhadap kehidupan, religiusitas dan lainnya.[14] Singkatnya, eksistensi umat manusia akan terancam jika perwujudan pendidikan diabaikan.

Driyarkara sendiri melihat pendidikan sebagai fenomena manusiawi yang nampak walaupun tidak begitu saja secara eksplisit. Suatu tindakan bisa dikategorikan sebagai tindakan mendidik sejauh diberi arti tertentu (oleh pendidik) dan membawa anak yang dididik masuk ke taraf insani. Masalahnya tak ada satu pun bentuk kegiatan khusus dan spesifik yang menurut strukturnya sendiri bisa dikatakan sebagai perbuatan mendidik. Maka lebih lanjut Driyarkara menjelaskan bahwa:

{...) mendidik adalah serupa dengan perbuatan manusia lain yang sifatnya mendalam. Bandingkan dengan cinta kasih. Cinta kasih manusia, misalnya antara suami istri, tidak terikat pada bentuk tertentu, Suatu perbuatan yang hari ini merupakan penjelmaannya mungkin lain hari merupakan sebaliknya. Tidak ada perbuatan tertentu yang sendirinya menjadi bentuk penjelmaannya.[15]

Perbuatan penjelmaaan cinta kasih ini yang disebut tindakan fundamental karena menyentuh akar hidup sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Maka pendidikan menjadi aktivitas fundamental karena terjelma dalam sekian banyak bentuk tindakan yang berorientasi pada penghantaran manusia muda yang dididik menuju ke taraf insani (pembentukan pribadi yang utuh).

Maka sosok Driyarkara menuangkan buah pemikirannya tentang pendidikan dalam konsep hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah proses ”menjadi” manusia yang menyangkut perkembangan fisik yang berjalan seiring perkembangan psikologis melalui sosialisasi dan interaksi dalam keluarga dan pendidikan awal. Humanisasi sendiri merupakan tingkat kebudayaan yang lebih tinggi yang tercermin dalam pengembangan dimensi ekonomis (mengolah barang atau materi agar berguna dalam hidupnya), dimensi teknik (mempelajari struktur hukum alam dan bekerja menurut prinsipnya dengan modifikasi kreatif), dimensi kebudayaan dengan ekspresi diri  dan rasa perasaan yang tertuang dalam adat istidat sarat makna, serta dimensi peradaban (civilization) yang mempersantun ekspresi tata laku dan budi bahasa manusia terdidik yang sesuai dengan nilai-nilai hakiki yang dihargai bersama dalam masyarakat.[16]

Semua hal ini sekali lagi menegaskan pentingnya peran pendidikan yang secara fundamental diperlukan untuk membentuk kehidupan yang kondusif dijalani manusia. Peran guru (pendidik) pun niscaya menjadi amat penting tanpa mendiskriminasikan kontribusi anak (yang dididik) dalam proses pemanusiaan ini. Dengan keterbukaan, murid menerima dan merespon apa yang ditanamkan sang pendidik. Interaksi kedua pihak inilah yang menjadi gerakan memanusiakan manusia (muda), agar menjadi pribadi yang utuh dan tangguh.    

  1. Revolusi Mental: Mendidik Mentalitas (Calon) Pendidik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun