Bertolak dari landasan filosofis yang dipaparkan di atas, sesungguhnya kita bisa menyimak bahwa profesi guru tentu bernilai kebaikan dalam dirinya sendiri (das ding an sich). Tindakan mendidik amatlah luhur karena merupakan bentuk aktualisasi diri mendasar bagi manusia demi mengekalkan eksistensinya. Tujuan mulia dari tindakan mendidik untuk memanusiakan manusia menjadikan profesi ini sungguhlah tepat jika disebut sebagai ibu segala profesi (Stinnett dan Huggeth,1963) karena mendasari persiapan semua kegiatan profesi lainnya.[17] Maka, hakikat profesi guru yang luhur dan mulia ini tentu tidak layak disandingkan dengan motif profitasi pendidikan, dimana guru hanya mengejar kebahagian “kesejahteraan semu” (impian sertifikasi atau pengangkatan pegawai negeri sipil) dengan mengabaikan semangat pengabdian, dedikasi dan loyalitas yang seharusnya melekat pada esensi dan eksistensi profesi ini. Hal itu (kesejahteraan) memang tentulah perlu diwujudkan, Pemerintah tentu tetap harus didorong untuk menyalurkan anggaran pendidikan tepat sasaran dan mengayomi kebutuhan mendasar setiap pendidik. Namun hal ini tidak boleh menjadi hal utama yang menjadi motivasi dasar seorang guru pendidik memutuskan untuk mendidik.
Tindakan mendidik sekali lagi akhirnya merupakan sebuah panggilan, bukan sarana meraup profit. Untungnya di Indonesia masih ditemukan sekian banyak pendidik sejati yang tetap melayani dengan penuh cinta dan dedikasi di tengah segala keterbatasan mereka yang belum disejahterakan oleh profesinya ini.[18]
Sekarang pertanyaannya, bagaimanakah kesadaran ini ditumbuhkan? Harus dikatakan bahwa sesungguhnya berbagai upaya telah diupayakan guna sampai pada penghayatan yang tepat tentang profesi guru yang tak boleh berhenti pada orientasi pada profit. Perombakan berbagai bentuk kurikulum, hingga yang terbaru Kurikulum 2013 sesungguhnya memaksudkan peng-optimal-an peran guru pendidik dan murid sendiri demi menciptakan suatu sistem pendidikan yang didaktis dan berorientasi pada pembentukan masa depan generasi bangsa. Lebih jauh Rhenald Kasali[19] menamai sosok pendidik ideal dalam terminologi ”Guru Inspiratif” yang menjawab tuntutan zaman, dengan mengajak peserta didik tidak hanya mengikuti kurikulum, tetapi mengembangkan kreativitas dan semangat inovatif.
Salah satu bentuk langkah alternatif kontemporer yang kiranya cukup relevan untuk membentuk kesadaran generasi muda mengenai hakikat pendidikan ini adalah gerakan sejenis Indonesia Mengajar[20] yang digagas Dr. Anies Baswedan dkk. Sepuluh November tahun dua ribu sepuluh menjadi tonggak penting pembentukan karakter 51 wakil generasi muda Indonesia yang hendak diutus ke 117 desa di 14 kabupaten, mulai dari Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, hingga Fakfak, Papua Barat yang akhirnya menginspirasikan lebih dari 18 ribu anak. Gerakan ini menggagas ide bahwa pendidikan seyogyanya melibatkan semua orang karena mendidik adalah tugas setiap orang terdidik. Selain menginspirasikan anak didik di pelosok Indonesia ini, gerakan ini akhirnya memberi manfaat formatif dan revolutif bagi mentalitas generasi muda utusan ini sendiri untuk peduli terhadap orang lain, cinta kepada profesinya, cinta kepada harapan yang mereka yakini dan cinta kepada sebuah bangsa yang merindukan guru. Tindakan mendidik orang lain akhirnya menjadi pendidikan bagi diri sendiri. Maka gerakan sejenis ini hendaknya digalakkan, sehingga pembentukan karakter pendidik sampai pada hakikatnya, bukan pada landasan orientasi keuntungan dalam berkarya mendidik bangsa.
Keberhasilan pendidikan suatu bangsa terukur dari kualitas pendidiknya dan keterbukaan anak didiknya. Peran anak didik yang akomodatif memang penting, namun kontribusi pendidik yang dengan sabar, kreatif, penuh dedikasi dan loyalitas merupakan keharusan. Profit bukanlah motif pendidikan yang esensial. Perwujudan dan pelanggengan eksistensi peradaban manusialah yang seyogyanya patut melandasi motif pendidik yang hendak mendidik dengan sepenuh hati. Dengan revolusi mental ini, kiranya wajah pendidikan Indonesia akan berjalan pada jalur yang tepat menuju masa depan Indonesia yang lebih cerah.
Daftar Pustaka
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002.
Dua, Mikhael, Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Sebuah Esei Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Haralambos, Michael, dkk.. Sociology Themes and Perspectives - Sixth Edition. London: HarperCollins Publishers, 2004.
Rasjid, M. Arsjad P.M. dalam Pengajar Muda, Indonesia Mengajar. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2011.
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007.