Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (3. Tikungan Sungai dan Bekantan)

29 Januari 2022   17:24 Diperbarui: 29 Januari 2022   17:26 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak!. Segera aku berusaha membuang jauh-jauh fikiran negatif yang ada dibenak kepalaku. Karena yang kutakutkan kegelisahanku justru akan berimbas kepada terganggunya kenyamanan dan rasa aman bagi ketiga tamuku.

            "Fithar, apa kau perlu jas hujan?"sambil aku berusaha meraih tiga jas hujan tipis dibawah tempat dudukku.

 "Dewi dan Kemala dapat memakai jas hujan ini" sambungku memecah keheningan mereka sambil memperlihatkan tiga jas hujan yang sudah berada diujung tanganku. Benda penting tersebut biasanya tidak lupa kusiapkan untuk sejumlah orang yang bepergian. Fithar dan Kemala yang duduk persis didepanku posisinya tidak berubah sedikitpun sejak awal keberangkatan. Tatapannya juga tetap fokus ke hutan-hutan bakau nan tebal dikiri dan kanan sungai.

            "Terima kasih, kurasa sesekali kami perlu dibasahi oleh hujan seperti ini" jawab Fithar terdengar gembira tanpa berpaling kepadaku.

 "Lagi pun hujannya, tidak sampai membasahi baju," Kemala yang sebelumnya duduk tenang disampingnya menambahkan.

Dewi yang duduk dihaluan juga memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Angin bertiup dari depan menyebabkan rambutnya tersibak sampai dengan  sesekali menyembunyikan wajahnya. Wajah cantiknya menjadi tampak sangat misterius. Dewi tidak mengucapkan sepatah katapun kepadaku saat dia tahu aku menawarkan jas hujan tersebut. Hanya saja yang membuatku cukup berbahagia diperjalanan ini adalah saat Amarilis Dewi memandangku sambil tetap melemparkan senyumannya yang khusus buatku saja. Rasanya sulit berpaling dari wajahnya yang justru tampak berenergi dan ayu dibawah siraman hujan panas sore itu. Sesekali aku tetap mencuri pandang sambil berpura-pura fokus dan berkonsentrasi dengan arah haluan perahu dikarenakan perasaan malu dengan lawan jenis yang belum dapat kutaklukkan.

Memang terasa aneh bagiku. Biasanya tamuku akan segera menanyakan jas hujan ketika hujan turun. Justru saat ini sepertinya mereka semua menyenangi dan menikmati turunnya hujan panas yang turun ringan di sore hari itu. Dewi bahkan terlihat sesekali seperti merentangkan tangannya, seperti ingin menyerap semua energi alam yang ada disekitarnya dengan rasa sangat bersyukur. Kemala dan Fithar juga seperti terlihat  sering mendongakkan kepala keatas, seolah mereka sangat berbahagia dengan datangnya hujan panas. Mereka tampak membiarkan hujan yang jatuh perlahan ditubuhnya masing-masing. Dugaanku yaitu orang kota jarang mendapatkan suasana hujan rintik ringan ditengah terik panas matahari dialam terbuka yang masih alami ini.

Sampai dengan tikungan sungai tajam ketujuh atau terakhir, kembali aku dikejutkan dengan kedatangan segerombolan bekantan dari dua sisi dimana ancak juga terpasang ditepian sungai dengan gagahnya. Pekikan demi pekikan terdengar bersahutan diantara bekantan itu. Terasa sepertinya kami diberikan sorak sorai karena telah masuk kedalam jebakan alam semula jadi yang menyebabkan kami tidak bisa lagi kembali. Anehnya mereka hanya bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain tanpa mau turun lebih rendah, jika tujuannya hanya sekedar untuk memperebutkan makanan di ancak yang terikat rapi di pohon bakau paling besar berjenis Sonneratia Alba.

Aku segara memacu gas mesin dalam posisi maksimum. Tujuannya agar bisa secepatnya keluar dari tikungan terakhir tersebut. Terus terang gerombolan bekantan itu membuatku gentar. Tidak sampai 5 menit kemudian perahu motor sampai ke muara sungai. Kami segera menyebrang sungai besar berair payau menuju ke Pulau Penyu dengan kecepatan penuh. Tampak kelegaan dirasakan sepertinya oleh ketiga tamuku tersebut.

Ombak terasa mengguncang kapal motor kami. Angin sore berhembus sangat kencang seakan juga tidak merestui kepergian kami. Padahal terlihat langit biru dan matahari cerah menyinari kami tanpa terhalang sedikitpun awan gelap. Kadang ada ombak besar yang menghempas perahu kami yang mengakibatkan perahu menjadi oleng. Air gelombang tidak terelakkan lagi sebagian memasuki perahu kami yang kecil. Percikan air yang menghempas badan motor air pastinya mengenai semua penumpang yang ada. Basah kuyup tidak terelakkan. Tetapi pulau yang akan kami tuju sebenarnya nampak samar dari kejauhan dan perkiraan akan sampai ditujuan 30 menit kedepan.

"Pindah kebawah duduknya, Dewi!"aku minta Dewi yang sebelumnya duduk dianjungan agar segera berpindah agak kebawah. Ia langsung mengikuti perintahku untuk pindah duduk mendekat ke Fithar dan Kemala dibawah kondisi perahu yang terus oleng dipermainkan gelombang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun