Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (3. Tikungan Sungai dan Bekantan)

29 Januari 2022   17:24 Diperbarui: 29 Januari 2022   17:26 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dengan picts art app

Petualang-petualang gagah dan cantik itu, kuminta untuk menunggu diwarung kecil. Letaknya persis ditepi dermaga. Disana tersedia jajanan pasar dan minuman ringan. Sedang aku sibuk mempersiapkan dan meyakinkan perahu yang akan membawa kami menyebrang ke seberang pulau tidak bermasalah. Sambil memberikan kesempatan kepada Kemala dan Dewi berbelanja kebutuhan tambahan lainnya untuk kami tiga hari ke depan. Warung dan pelabuhan seperti tidak berjarak karena dekatnya. Pembicaraan apapun dapat terdengar jelas di perahu motor  yang sedang lagi kupersiapkan.

 "Mau kemana Dek?"Seorang lelaki paruh baya menyapa Fithar. Tatapannya penuh selidik dan seperti tidak ada sejengkal bagian tubuh yang terlewat dari tatapannya.Dialah Datuk Emran. Kebiasaannya adalah menghabiskan waktu diwarung tepi dermaga sambil menghabiskan segelas kopi sekalian bermain catur.

"Mau kemana Dek?"Seorang lelaki paruh baya menyapa Fithar. Dari suaranya yang berat dan dalam langsung kuketahui ia pastilah Datuk Emran. Kebiasaannya adalah menghabiskan waktu diwarung tepi dermaga sambil menghabiskan segelas kopi pahit sekalian bermain catur dengan pemuda-pemuda kampung.

"Ke Pulau Penyu, Pak" sahut  Fithar sopan. Kembali Datuk Emran seperti meneliti serius dua tamu lainnya satu persatu silih berganti. Tatapannya penuh selidik dan seperti tidak ada sejengkal bagian tubuh yang terlewat dari tatapannya. Ia seperti terheran-heran .Sesekali wajahnya seperti menatap jauh yang diselingi dengan mata terpejam untuk beberapa saat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Terakhir ia tersenyum sinis. Kemudian pandangannya beralih tertuju kepadaku. Aku menjadi gusar. Pandangannya tak biasa. Meski sebelumnya aku sudah bertemu dan meminta restu langsung darinya.

 "Kampung ini juga punya gunung dan air terjun yang indah" ungkap Datuk Emran sambil menghisap dalam-dalam rokok lintingnya

"Dewa pasti mau mengantar kalian kesana," sambungnya lagi

"Dekat saja dari sini, dari pada menuju ke arah laut!" sambungnya mengarahkan. Seakan arah laut adalah pilihan yang salah.

" Terimakasih informasinya,Pak!, sepertinya sangat menarik," Kemala menimpali dengan suaranya yang terdengar renyah dan manja ditelinga.

"Datang lagi kesini nanti, kita akan ketempat yang Bapak sarankan." Balas Fithar menolak dengan sopan tawaran Datuk Emran. Dikarenakan tidak mungkin rasanya mereka akan merubah rencana yang telah dibuat jauh hari sebelumnya. Sang dukun kampung tersebut sepertinya mengangguk-angguk saja. Meski, wajahnya seperti membayangkan suatu kengerian yang tidak kumengerti. Tiba-tiba ia tertawa terkekeh dan tampak puas, tetapi tiba-tiba kembali menutup mulutnya. Sepertinya ia sadar telah menjadi perhatian tiga tamuku, sehingga ekspresinya langsung kembali normal. Rokok kertas linting ditangan kanannya masih separuh, dihisapnya dalam-dalam untuk kemudian dihembuskannya berulangkali. Seolah-olah sangat menikmati dan sekaligus melepas semua yang menjadi bebannya.

"Tawaran Bapak untuk rencana libur kami berikutnya," balas Dewi yang duduk menghadap langsung Datuk Emran yang sedari tadi menyimak pembicaraan teman-temannya.  Tangan kanan Dewi memegang segelas es teh dingin yang diseruputnya sedikit demi sedikit, sambil sesekali memandangku untuk menunggu isyarat berangkat.

30 menit berlalu. Sesekali ketiga tamuku tersebut secara bergantian menoleh padaku. Sedang Datuk Emran, sesekali ia menoleh kepadaku, kemudian mengalihkan pandangannya keatas dengan mulutnya yang tampak komat kamit tidak jelas.

Keringat mengucur deras dikeningku ditengah cuaca yang terasa hangat. Perbekalan dan tas-tas ransel telah kususun rapi berjejer. Air yang tadinya menggenangi lantai perahu juga telah kutimba menggunakan serokan plastik.Tetapi, masalah mesin motor sepertinya belum terselesaikan.

Tetes keringatku terus mengucur deras didahi. Kaos yang kupakai rasanya telah basah kuyup, sementara mesin masih belum berhasil kuhidupkan.

Dewi dan Kemala sebelumnya terlihat berdiri di dermaga karena pemandangan alam sekitar telah menarik perhatian mereka. Sesekali dua bidadari cantik itu mencuri pandang melihat pekerjaanku. Mungkin sudah tidak sabar untuk segera meninggalkan dermaga ini.

Dewi duduk santai diujung dermaga menghadap kearahku. Sesekali aku melemparkan senyuman untuk memberi tanda bahwa aku bisa atasi semua. Ia seperti mengerti dan membalas kembali dengan tatapan mata yang berbinar. Terasa darahku terpompa cepat. Semangatku menggebu untuk segera menyelesaikan masalah teknis mesin ini.

Tanpa kusadari sebenarnya kami saling memperhatikan sejak pertama bertemu. Meski terlalu cepat memastikan yang Amarilis Dewi benar-benar menyukaiku. Sedang Kemala juga telah mencuri perhatianku. Hidup diantara dua gadis cantik. Ah...apakah aku seperti pungguk merindukan bulan?. Terlihat Fithar sangat melindungi mereka. Apalagi pesan aneh emak sewaktu dirumah tadi, untuk tidak menaruh hati kepada bidadari-bidadari tersebut terutama Amarilis Dewi, membuatku harus lebih menahan diri memegang pesannya.

Tetapi Seorang Amarilis Dewi yang membuatku terus bersemangat. Sejak perkenalan pertama telah menggetarkan hati. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?. Dan apakah Dewi mempunyai perasaan yang sama denganku? Pandangannya yang sangat meneduhkan dan menetramkan jiwa. Senyumnya lepas seolah mengajakku untuk lebih dekat lagi bersamanya. Tetapi hatiku masih ragu terhadap gadis cantik dan bertutur sangat sopan itu. Aku membatin dalam hati, gadis semenarik Dewi tidak mungkin hatinya sepi dari pemuda tampan disekelilingnya.

Langit tampak biru cerah dengan sinar matahari yang terasa membakar kulit. Tanpa ada hembusan angin yang bertiup, hujan tiba-tiba mendadak turun dengan derasnya. Udara seketika berganti panas sekaligus lembab.

Kuseka air hujan yang mengalir deras dikeningku  Aku berteriak mengingatkan Dewi dan Kemala yang duduk santai sedari tadi diatas dermaga dengan ceria.

"Cepat berlindung di bawah atap sana," telunjukku kuarahkan kepada Fithar dan Datuk Emran yang sedang asyik berbincang-bincang. Dua gadis itu seperti terkejut dengan hujan yang tiba-tiba deras tanpa ada tanda-tanda sebelumya. Mereka kemudian bergegas mencari perlindungan dibawah warung dermaga. Dewi masih tetap memperhatikanku yang mulai basah kuyup diguyur hujan. Tidak jarang kami kembali saling beradu pandang. Ahhh....rasanya aku terbawa oleh perasaanku sendiri!. Dewi menurutku mungkin hanya merasa kasihan melihatku yang sedari tadi belum mampu mengatasi mesin motor yang mogok.

Dari isyarat tangan Kemala sepertinya memintaku untuk segera berteduh. Aku hanya bisa memberikan isyarat dengan menyatukan ibu jari dan telunjuk untuk menyatakan semuanya baik-baik saja. Senyumanku kulemparkan ke Kemala yang masih berdiri tegak memperhatikanku dalam menyelesaian tugasku. Senyum mengembang tipis dari bibirnya.

" Ambilkan sunting untuk teman-teman mu, Dewa!" asal sumber suara yang terdengar berat dan diselingi batuk itu adalah Datuk Emran. Matanya terlihat liar memandang sekelilingnya. Matanya kembali lincah bergerak kesana kemari terutama tertuju kepada ketiga tamuku tersebut.

"Iya Datuk!," teriakku sekaligus segera bergegas mencari tumbuhan berdaun lancip untuk diambil sebagian ujungnya.

Cuaca hujan panas inilah yang membuat perasaanku tidak karuan. Teringat kembali pesan tetua kampung bahwa hujan yang disertai terik matahari pertanda ada kehidupan lain yang juga beraktifitas mencari penghidupan. Singkatnya saat hujan panas adalah puncak waktunya mahluk tak kasat mata berkeliaran. Saat berada diluar ruang kita diharuskan memakai sunting agar menyerupai mahluk halus tersebut. Bagi kami orang-orang kampung, hal demikian sudah menjadi bagian pengetahuan yang harus ditaati agar tidak celaka

Aku membawa tiga buah daun lancip segar yang kuambil bagian atasnya saja.

"Pakailah sunting ini!"

"Bagaimana cara memakainya?" tanya Dewi kepadaku serius. Ia tampak senang dan bersemangat. Segera aku mendekatinya untuk menunjukkan cara menggunakan sunting didepannya.

"Lihat!, begini cara memakainya," persis didepan Dewi kuperlihatkan bagaimana cara aku menggunakan sunting yang kuletakkan disela atas daun telingaku sebelah kanan. 

Kemudian dari isyarat telunjuk tangannya kulihat Dewi meminta bantuanku untuk dipakaikan dari tanganku secara langsung, meski nantinya akan sedikit menyibakkan rambut nya. Tentu aku gugup. Tangan dan jemariku terasa gemetar mendekati tubuh harum Amarilis Dewi. Wangi tubuhnya justru terasa sangat kentara mencecap indra penciumanku sesaat setalah hujan panas datang Dugaanku pastilah sejenis parfum merek terkenal dan sangat mahal. Tambah mendekati Dewi, jantungku terasa berdegup kencang. Dalam jarak sangat dekat kulihat wajahnya begitu cantik alami, matanya bening dan bersinar cerah. Aku seperti tersirep seolah robot yang kaku. Terasa tiba-tiba bumi seolah berhenti berputar.

"Bantu kenakan ini ,Dewa!" Dewi mengembalikan sunting untuk kupakaikan langsung ditelinganya.

"Iya sebentar," jawabku sedikit gugup untuk semakin mendekat ketubuhnya. Dengan keberanian yang tersisa kusibakkan rambutnya yang hitam kebelakang. Harum semerbak seperti keluar melalui helai demi helai rambutnya. Dengan hati-hati dan perlahan kuletakkan sunting di daun telinganya. Kuakui, itulah pertama kali aku sangat dekat secara fisik dengan seorang gadis. Apalagi gadis yang ada dihadapanku saat ini adalah gadis yang mampu membiusku sejak awal bertemu.

Ehhm....gadis ini semakin bertambah cantik dengan sepotong daun hijau segar itu, seperti peri-peri turun dari langit dalam cerita dongeng, bisik hatiku

"Terimakasih Dewa!" terdengar ucapan Dewi kepadaku dengan mata teduh dan senyum mengembang disudut-sudut wajahnya. Aku balas dengan mengangguk saja dan tidak berani menatap kembali sorot matanya yang teduh.

Sesaat aku mematung tidak tahu harus bagaimana lagi. Kemudian secara reflek Kemala meraih tanganku dan segera menyerahkan potongan daun segar, agar aku juga segera memakaikan langsung ke telinganya.

"Terima kasih Dewa Kelana" ucapan Kemala disamping telingaku setengah berbisik dengan suara manja.

"Ya..sama-sama...sunting nya sudah ditempat yang seharusnya," jawabku kikuk. Didepan dua putri kayangan. Terlihat kecantikan mereka seperti memancar dengan sepotong daun hijau terselip ditelinga.

Perhatianku berpindah kepada Fithar. Hanya untuk memastikan ia memakai sunting dengan benar. Meski kulihat untuk memakainya ia telah di pandu Datuk Emran, teman diskusi akrabnya tentang segala hal di kampung kami .

Datuk Emran, sepanjang hujan panas terlihat merapalkan sesuatu bacaan yang aku sendiri tidak jelas mendengarnya. Itu terlihat dari gerakan bibirnya yang bergerak ritmis. Sesekali kuperhatikan gerak geriknya. Kembali mata Datuk Emran tidak lepas dari memperhatikan ketiga tamuku secara bergantian dengan tatapan penuh curiga.

Dalam hatiku berharap, mudah-mudahan rapal doa yang di bacakannya adalah harapan terbaiknya untuk keselamatan perjalanan kami. Harapanku adalah tidak ada halangan apapun yang akan kami hadapi sampai dengan tamuku selamat kembali kekota.

 Saat akan turun kembali memperbaiki mesin motor air yang masih bermasalah. Tampak ada sesuatu yang sangat ingin diutarakan oleh Datuk Emran kepadaku. Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan didepan tamu-tamuku. Aku terus saja berlalu karena waktu terus berjalan. Tangannya seperti ingin melambai penuh harap, agar aku segera mendekat disisinya.

Karena kuatnya tarikan untuk segera menyelesaikan tugas memperbaiki mesin yang belum selesai, sehingga aku tetap memilih turun ke dermaga dengan terburu-buru. Pertimbanganku jika terlambat memperbaiki mesin motor, keberangkatan akan terlalu sore Biasanya gelombang akan sangat tinggi dan angin bertiup kencang. Sehingga akupun akhirnya terlupa akan permintaan penting Datuk Emran sebelumnya.

 "Mesinnya hidup!" pekikku spontan gembira. Aku merasa puas dengan pengorbanan waktu dan tenaga yang telah kukerahkan habis untuk membuatnya bisa kembali meraung.

Ketiga tamuku seperti sudah tidak sabar untuk segera naik keperahu yang mesin gasnya beberapa kali kutarik sekencang-kencangnya.

"Kita berangkat!" sesaat mereka telah naik ke perahu motor yang kapasitasnya kira-kira memuat sampai dengan sepuluh orang  ini.

Kulepaskan tali perahu yang terkait ke dermaga, yang tiang kayunya berasal dari pohon ulin (Eusideroxylon Zwageri). Kembali motor mesinnya tiba-tiba mati dan sulit dihidupkan. Dengan tenaga penuh kembali kutarik tali mesin 10 PK ini agar hidup kembali.  Tetapi mesin seperti protes dan tidak mau membawa kami. Hal yang sangat jarang terjadi bahkan tidak pernah kualami sebelumnya.

Dewi menatapku dari haluan. Sorot matanya seolah ingin tahu apa yang terjadi . Gadis berwajah polos namun simpatik itu seperti berusaha sangat ingin menolong. Aku meresponnya dengan menganggukkan kepala dan memberi isyarat jari OK sambil tersenyum. Sehingga ia duduk tenang kembali dan yakin bahwa keadaan mesin akan dapat kukendalikan Meski jauh dalam lubuk hati paling dalam sebagai seorang laki-laki aku merasa sangat bahagia telah diberikan sedikit perhatian.

Perhatian kecil Amarilis Dewi, justru membuatku berupaya lebih keras lagi agar dapat menghidupkan mesin motor yang bermasalah sejak satu jam yang lalu. Lebih dari 5 kali sentakan tarikan tali mesin, perahu terasa oleng kekiri dan kanan akibat sentakan-sentakan yang kubuat sekuat tenaga, tetapi belum juga berhasil. Matahari sudah tergelincir kearah barat. Hujan panas kembali turun meski rintik-rintik ringan seperti debu tipis sehingga tidak  sampai membasahi pakaian yang kami kenakan.

******

         Setelah kira-kira tarikan tali mesin yang ke 10 dan nafasku tersengal dan ngos-ngosan,akhirnya raungan mesin motor 10 PK itu dapat kupertahankan Akhirnya aku dapat menaklukkan mesin motor tersebut. Bunyi yang membahana dan sangat memekakkan telinga. Terutama bagi Kemala dan Fithar yang duduknya berdekatan denganku diburitan perahu, Sedangkan Dewi duduk di haluan depan dengan arah duduk menghadap ke kami . Deru suara mesin motor membelah kesunyian dermaga sungai. Semua tampak tersenyum lega. Perahu motor kami mulai bergerak perlahan meninggalkan dermaga dan Datuk Emran yang masih tidak lepas memperhatikan kami.

 "Alur sungainya berliku!, hingga sampai ke muara suangai besar nanti,"aku setengah berteriak memberitahukan seperti apa perjalanan yang akan dilewati. Kelelahan langsung terasa lenyap seketika, di saat Amarilis Dewi  memberikan tanda dua jempol kepadaku sambil tersenyum.

"Kemudian nanti setelah ketemu muara sungai besar, kita masih lanjutkan perjalanan selama 30 menit" sambil Fithar dan Kemala mengangguk-anggukan kepalanya,"untuk menyebrangi sungai selebar 3 kilometer yang kadang berombak besar," lanjut penjelasanku penuh semangat seperti yang kulakukan kepada tamuku sebelum mereka. Dewi, Fithar dan Kemala yang mendengar terlihat puas karena niat utama mereka sebentar lagi akan segera menjadi kenyataan.

Pemandangan sungai yang kiri dan kanannya masih sangat tampak lebat. Ditumbuhi berbagai jenis pohon bakau dan nipah yang subur.Tandan-tandan buah nipah menggelayut rendah diatas lumpur yang tampak lunak keabuan. Bau lumpur segar terasa menguar indra penciuman. Suara gema mesin mengaung lantang, yang terdengar terlambat beberapa saat pada lintasan yang sedang dilewati.

           Kemala dan Fithar duduk menikmati alam yang terbentang didepannya tanpa menoleh sedikitpun kebelakang. Ikan tembakul(Oxudercinae) dan keramak(Uca sp) berlarian kesana kemari. Kadang hewan-hewan lincah tersebut tampak berenang diatas lumpur mengikuti air gelombang dari perahu motor yang menyapu pinggiran sungai. Bunyi dengungan serangga hutan bakau tiada henti bersahut-sahutan. Suaranya yang nyaring menciptakan efek gema akustik alam sempurna. Paduan suara hewan alam tersebut menyerupai alunan musik klasik dengan iringan seorang konduktor yang sangat terkenal.

 Dewi yang duduk dianjungan menghadapku kulihat sangat tenang. Ia seperti tersihir oleh alam sungai berliku yang tampak lebat menghijau. Sorot matanya seolah-olah bisa langsung menembus sampai kedalam hutan bakau yang gelap.

Ketiga tamuku sepertinya sudah menemukan dunianya masing-masing. Aku tidak ingin mengusik kenyamanan mereka. Menurutku disanalah dimulainya pengalaman petualangannya. Mereka sedang berusaha menangkap memori lanskap yang ada langsung dari panca indranya. Ingatan yang akan tersimpan dengan baik didalam memori otaknya, sehingga menjadi sebuah cerita pengalaman penjelajahan alam yang sangat menakjubkan untuk diceritakan kepada anak cucu mereka nantinya. Sesekali aku mencuri pandang ke Dewi yang seolah membiarkan dirinya untuk kukagumi dari jauh sepuas-puasnya.

            Sampailah kami ditikungan kelima yang sangat tajam. Kupelankan kecepatan perahu motor agar keseimbangan terjaga. Secara keseluruhan total ada tujuh tikungan sebelum sampai kemuara sungai yang lebih lebar. Ditikungan kelima tersebut terlihat ancak. Bentuk sajen saat sedekah laut yang isi didalam ayaman besar daun kelapa tersebut diletakkan dengan rapi seperti lilin, retih yaitu :padi yang disangrai tanpa minyak sampai meletup-letup menjadi seperti bunga melati putih atau popcorn, rokok, tembakau, sirih pinang, telur ayam, kemiri dan paku. Sesajen yang tentunya juga telah diberikan mantra-mantra oleh tetua adat di kampung.

Tiba-tiba diatas sana terlihat sekawanan hewan bekantan (Nasalis larvatus), sejenis kera endemik dikampung kami yang hidup bebas liar. Kampung kami termasuk beruntung menjadi tempat tinggal hidupnya. Ia sejenis monyet besar dengan ciri khas hidung besar yang seperti menggantung, bulu-bulunya lebat panjang dan berwarna kuning kemerahan diseluruh tubuhnya. Terdapat belasan ekor bergelantungan di dahan pohon bakau yang tinggi. Sekawanan bekantan itu seperti sangat ketakutan melihat kami. Sangat tidak biasa, seperti yang kutemui dialam bebas sebelumnya. Kami terlihat olehnya seperti musuh besar. Kemudian secara serentak bekantan tersebut mengeluarkan suara pekikan keras bersahutan yang berulang-ulang. Secara serempak mereka menggoncang-goncang dahan pohon bakau tempat mereka bertengger. Tampak mereka sangat emosi sampai beberapa dahan tiba-tiba patah karena tidak kuat menopang beban mereka yang bergelantungan.

"Plaakkk...plakk....plakkk...bruumm!"bunyi dahan-dahan bakau berpatahan dan onggokan-onggokan dahan segera meluncur serentak ketanah. Segera beberapa bekantan kemudian saling berebut menyelamatkan dirinya dengan mencari dahan baru untuk kembali bergelantungan. Begitulah seterusnya.

Syukur saja ketiga tamuku tampak tidak terpengaruh dengan ulah bekantan liar diatas sana. Mereka terlihat sangat tenang.  Dewi yang posisi duduknya tepat berhadap-hadapan denganku bahkan seolah tidak peduli dan tidak melihat kejadian barusan.

Aku menduga bahwa mereka akan memperebutkan makanan didalam ayaman kelapa di ancak tersebut. Atau mungkin saat ini mereka terganggu dengan bunyi deru mesin motor perahu kami yang seperti memecah kenyamanan mereka beristirahat.

Kemudian secara bersamaan tiba-tiba sekelompok bekantan kembali melengking dengan suara sangat keras memecah kesunyian hutan bakau.

"Astaghirullah" reflek kataku keluar dari mulut. Bunyi deru mesin perahu seperti tenggelam oleh suara keributan hewan diatas pohon sana, bersamaan dengan kulihat kembali gerimis hujan seperti debu menyelimuti sungai. Dewi terlihat memejamkan matanya dan sangat menikmati suasananya, terpancar dari aura kecantikannya yang semakin bertambah. Tampaknya ia sangat menikmati perjalanan ini. Sedang Fithar dan Kemala diam seribu bahasa tanpa kubisa melihat ekspresi kedua wajahnya saat itu.

Segera setelah hujan debu berhenti. Disebelah timur, tampak lingkaran pelangi terbentuk indah dilangit cerah. Semburat pelangi yang kedua ujung kakinya seperti menghunjam perkasa dikampung Keramat.

 Aku kembali bimbang akan keselamatan kami. Hujan panas sangat dihindari oleh masyarakat kampungku. Hujan yang bisa menyebabkan sesuatu kejadian yang tidak diinginkan. Aku tidak ingin kepergian kami justru pergi ketempat alam yang lain.

Tidak!. Segera aku berusaha membuang jauh-jauh fikiran negatif yang ada dibenak kepalaku. Karena yang kutakutkan kegelisahanku justru akan berimbas kepada terganggunya kenyamanan dan rasa aman bagi ketiga tamuku.

            "Fithar, apa kau perlu jas hujan?"sambil aku berusaha meraih tiga jas hujan tipis dibawah tempat dudukku.

 "Dewi dan Kemala dapat memakai jas hujan ini" sambungku memecah keheningan mereka sambil memperlihatkan tiga jas hujan yang sudah berada diujung tanganku. Benda penting tersebut biasanya tidak lupa kusiapkan untuk sejumlah orang yang bepergian. Fithar dan Kemala yang duduk persis didepanku posisinya tidak berubah sedikitpun sejak awal keberangkatan. Tatapannya juga tetap fokus ke hutan-hutan bakau nan tebal dikiri dan kanan sungai.

            "Terima kasih, kurasa sesekali kami perlu dibasahi oleh hujan seperti ini" jawab Fithar terdengar gembira tanpa berpaling kepadaku.

 "Lagi pun hujannya, tidak sampai membasahi baju," Kemala yang sebelumnya duduk tenang disampingnya menambahkan.

Dewi yang duduk dihaluan juga memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Angin bertiup dari depan menyebabkan rambutnya tersibak sampai dengan  sesekali menyembunyikan wajahnya. Wajah cantiknya menjadi tampak sangat misterius. Dewi tidak mengucapkan sepatah katapun kepadaku saat dia tahu aku menawarkan jas hujan tersebut. Hanya saja yang membuatku cukup berbahagia diperjalanan ini adalah saat Amarilis Dewi memandangku sambil tetap melemparkan senyumannya yang khusus buatku saja. Rasanya sulit berpaling dari wajahnya yang justru tampak berenergi dan ayu dibawah siraman hujan panas sore itu. Sesekali aku tetap mencuri pandang sambil berpura-pura fokus dan berkonsentrasi dengan arah haluan perahu dikarenakan perasaan malu dengan lawan jenis yang belum dapat kutaklukkan.

Memang terasa aneh bagiku. Biasanya tamuku akan segera menanyakan jas hujan ketika hujan turun. Justru saat ini sepertinya mereka semua menyenangi dan menikmati turunnya hujan panas yang turun ringan di sore hari itu. Dewi bahkan terlihat sesekali seperti merentangkan tangannya, seperti ingin menyerap semua energi alam yang ada disekitarnya dengan rasa sangat bersyukur. Kemala dan Fithar juga seperti terlihat  sering mendongakkan kepala keatas, seolah mereka sangat berbahagia dengan datangnya hujan panas. Mereka tampak membiarkan hujan yang jatuh perlahan ditubuhnya masing-masing. Dugaanku yaitu orang kota jarang mendapatkan suasana hujan rintik ringan ditengah terik panas matahari dialam terbuka yang masih alami ini.

Sampai dengan tikungan sungai tajam ketujuh atau terakhir, kembali aku dikejutkan dengan kedatangan segerombolan bekantan dari dua sisi dimana ancak juga terpasang ditepian sungai dengan gagahnya. Pekikan demi pekikan terdengar bersahutan diantara bekantan itu. Terasa sepertinya kami diberikan sorak sorai karena telah masuk kedalam jebakan alam semula jadi yang menyebabkan kami tidak bisa lagi kembali. Anehnya mereka hanya bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain tanpa mau turun lebih rendah, jika tujuannya hanya sekedar untuk memperebutkan makanan di ancak yang terikat rapi di pohon bakau paling besar berjenis Sonneratia Alba.

Aku segara memacu gas mesin dalam posisi maksimum. Tujuannya agar bisa secepatnya keluar dari tikungan terakhir tersebut. Terus terang gerombolan bekantan itu membuatku gentar. Tidak sampai 5 menit kemudian perahu motor sampai ke muara sungai. Kami segera menyebrang sungai besar berair payau menuju ke Pulau Penyu dengan kecepatan penuh. Tampak kelegaan dirasakan sepertinya oleh ketiga tamuku tersebut.

Ombak terasa mengguncang kapal motor kami. Angin sore berhembus sangat kencang seakan juga tidak merestui kepergian kami. Padahal terlihat langit biru dan matahari cerah menyinari kami tanpa terhalang sedikitpun awan gelap. Kadang ada ombak besar yang menghempas perahu kami yang mengakibatkan perahu menjadi oleng. Air gelombang tidak terelakkan lagi sebagian memasuki perahu kami yang kecil. Percikan air yang menghempas badan motor air pastinya mengenai semua penumpang yang ada. Basah kuyup tidak terelakkan. Tetapi pulau yang akan kami tuju sebenarnya nampak samar dari kejauhan dan perkiraan akan sampai ditujuan 30 menit kedepan.

"Pindah kebawah duduknya, Dewi!"aku minta Dewi yang sebelumnya duduk dianjungan agar segera berpindah agak kebawah. Ia langsung mengikuti perintahku untuk pindah duduk mendekat ke Fithar dan Kemala dibawah kondisi perahu yang terus oleng dipermainkan gelombang.

Sepanjang perjalanan sore itu, tidak ada satu nelayanpun yang kami jumpai. Biasanya sungai besar ini sangat ramai dikunjungi oleh nelayan yang sibuk menjaring ikan baik ditepian maupun ditengah aliran deras sungai besar ini. Hanya ada sekelompok burung bangau putih (Ciconiidae) yang nampak bercengkrama asyik di dahan-dahan hutan mangrove yang daunnya berwarna hijau tua. Sesekali burung elang (Haliastur indus) melintas silang menyilang diatas perahu kami dan kemudian menukik tajam untuk menangkap ikan yang telah diincarnya.

Beberapa jenis alat tangkap nelayan terlihat ditepian sungai yang kami lewati ini banyak terbiar tanpa penghuni seperti togo'[1] yang letaknya ditepian sungai. Demikian juga bangunan jermal[2] yang lokasinya agak ketengah sungai besar dengan bangunan pondok kecil diatasnya. Dengan tampaknya bangunan jermal, artinya sebentar lagi kami akan mendarat ke Pulau Penyu. 

 

Ada yang menarik perhatianku serta ketiga tamuku ini yaitu di bangunan jermal, , tidak seperti biasanya bagiku,terlihat banyak sekali burung gagak hitam. Ada yang terbang berkelompok melayang-layang diudara, hingga yang hinggap berdiri di lantai jemur ikannya seperti lagi sibuk mematuk-matuk sesuatu. Bangunan jermal itu, bangunan eksotis ditengah arus deras itu juga masuk dalam daftar agenda utama kami.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun