Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (3. Tikungan Sungai dan Bekantan)

29 Januari 2022   17:24 Diperbarui: 29 Januari 2022   17:26 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dewi yang duduk dianjungan menghadapku kulihat sangat tenang. Ia seperti tersihir oleh alam sungai berliku yang tampak lebat menghijau. Sorot matanya seolah-olah bisa langsung menembus sampai kedalam hutan bakau yang gelap.

Ketiga tamuku sepertinya sudah menemukan dunianya masing-masing. Aku tidak ingin mengusik kenyamanan mereka. Menurutku disanalah dimulainya pengalaman petualangannya. Mereka sedang berusaha menangkap memori lanskap yang ada langsung dari panca indranya. Ingatan yang akan tersimpan dengan baik didalam memori otaknya, sehingga menjadi sebuah cerita pengalaman penjelajahan alam yang sangat menakjubkan untuk diceritakan kepada anak cucu mereka nantinya. Sesekali aku mencuri pandang ke Dewi yang seolah membiarkan dirinya untuk kukagumi dari jauh sepuas-puasnya.

            Sampailah kami ditikungan kelima yang sangat tajam. Kupelankan kecepatan perahu motor agar keseimbangan terjaga. Secara keseluruhan total ada tujuh tikungan sebelum sampai kemuara sungai yang lebih lebar. Ditikungan kelima tersebut terlihat ancak. Bentuk sajen saat sedekah laut yang isi didalam ayaman besar daun kelapa tersebut diletakkan dengan rapi seperti lilin, retih yaitu :padi yang disangrai tanpa minyak sampai meletup-letup menjadi seperti bunga melati putih atau popcorn, rokok, tembakau, sirih pinang, telur ayam, kemiri dan paku. Sesajen yang tentunya juga telah diberikan mantra-mantra oleh tetua adat di kampung.

Tiba-tiba diatas sana terlihat sekawanan hewan bekantan (Nasalis larvatus), sejenis kera endemik dikampung kami yang hidup bebas liar. Kampung kami termasuk beruntung menjadi tempat tinggal hidupnya. Ia sejenis monyet besar dengan ciri khas hidung besar yang seperti menggantung, bulu-bulunya lebat panjang dan berwarna kuning kemerahan diseluruh tubuhnya. Terdapat belasan ekor bergelantungan di dahan pohon bakau yang tinggi. Sekawanan bekantan itu seperti sangat ketakutan melihat kami. Sangat tidak biasa, seperti yang kutemui dialam bebas sebelumnya. Kami terlihat olehnya seperti musuh besar. Kemudian secara serentak bekantan tersebut mengeluarkan suara pekikan keras bersahutan yang berulang-ulang. Secara serempak mereka menggoncang-goncang dahan pohon bakau tempat mereka bertengger. Tampak mereka sangat emosi sampai beberapa dahan tiba-tiba patah karena tidak kuat menopang beban mereka yang bergelantungan.

"Plaakkk...plakk....plakkk...bruumm!"bunyi dahan-dahan bakau berpatahan dan onggokan-onggokan dahan segera meluncur serentak ketanah. Segera beberapa bekantan kemudian saling berebut menyelamatkan dirinya dengan mencari dahan baru untuk kembali bergelantungan. Begitulah seterusnya.

Syukur saja ketiga tamuku tampak tidak terpengaruh dengan ulah bekantan liar diatas sana. Mereka terlihat sangat tenang.  Dewi yang posisi duduknya tepat berhadap-hadapan denganku bahkan seolah tidak peduli dan tidak melihat kejadian barusan.

Aku menduga bahwa mereka akan memperebutkan makanan didalam ayaman kelapa di ancak tersebut. Atau mungkin saat ini mereka terganggu dengan bunyi deru mesin motor perahu kami yang seperti memecah kenyamanan mereka beristirahat.

Kemudian secara bersamaan tiba-tiba sekelompok bekantan kembali melengking dengan suara sangat keras memecah kesunyian hutan bakau.

"Astaghirullah" reflek kataku keluar dari mulut. Bunyi deru mesin perahu seperti tenggelam oleh suara keributan hewan diatas pohon sana, bersamaan dengan kulihat kembali gerimis hujan seperti debu menyelimuti sungai. Dewi terlihat memejamkan matanya dan sangat menikmati suasananya, terpancar dari aura kecantikannya yang semakin bertambah. Tampaknya ia sangat menikmati perjalanan ini. Sedang Fithar dan Kemala diam seribu bahasa tanpa kubisa melihat ekspresi kedua wajahnya saat itu.

Segera setelah hujan debu berhenti. Disebelah timur, tampak lingkaran pelangi terbentuk indah dilangit cerah. Semburat pelangi yang kedua ujung kakinya seperti menghunjam perkasa dikampung Keramat.

 Aku kembali bimbang akan keselamatan kami. Hujan panas sangat dihindari oleh masyarakat kampungku. Hujan yang bisa menyebabkan sesuatu kejadian yang tidak diinginkan. Aku tidak ingin kepergian kami justru pergi ketempat alam yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun