Antar Ajung[1]. Pesta adat tahunan yang sangat ditunggu-tunggu. Setiap-rumah warga sibuk menghias kapal-kapal mini berbagai ukuran dan rupa untuk dilarung di pantai.
Awal malam sebelum acara puncak, seorang laki-laki setengah baya yang kesehariannya di panggil Udin itu tiba-tiba melompat keluar melalui sebuah lubang jendela. Ia lari terbirit-birit kencang. Ia dibuntuti oleh beberapa laki-laki dewasa dibelakangnya.
Semuanya berlari menuju belakang rumah berdinding papan dimana sawah berlumpur terbentang luas ditengah temaram malam bermandikan cahaya rembulan.
Tidak berapa lama kemudian, laki-laki kesurupan tadi yang tingkahnya menyerupai monyet muncul kembali di beranda rumah. Orang-orang yang menonton seperti berdecak kagum dengan kecepatan berlarinya. Sedang bau kemenyan yang berasal dari dalam rumah mungil ditengah sawah itu terasa menusuk –nusuk hidung. Asapnya terlihat memenuhi ruangan.
Sesaat kemudian, Udin dengan gerakan refleknya kembali melompat pembatas teras rumah yang tingginya selutut dewasa untuk memanjat pohon rambutan yang tinggi dan tumbuh subur.
Gerakan memanjat pohonnya seperti seekor hewan salamander dengan cengkeraman jari kaki dan tangan tertempel lem super kuat. Ia kemudian bergelantungan sampai keujung-ujung dahan pohon.
Daun-daun lebat tampak berayun dari satu titik ke titik lainnya. Semua yang menonton tampak menahan nafas. Sementara beberapa laki-laki yang sejak tadi selalu membuntutinya terus berjaga-jaga dibawah rindangnya pohon rambutan itu.
Terlihat Udin masih bersemangat melompat dan bergelantungan dari ujung dahan yang satu keujung dahan yang lain. Malam beranjak dingin. Untung ada cahaya rembulan yang telah membantu kami melihat atraksi yang selalu ditunggu-tunggu tersebut.
Prak...prakk..prakkkk...,dahan pohon rambutan itu akhirnya tidak bisa bisa menahan beban pemuda berperawakan gendut dan sedikit pendek yang masih kesurupan malam itu.
Pria itu jatuh seperti bunyi buah nangka besar matang yang jatuh ketanah. Aku tidak tahu apakah itu bagian dari atraksi atau memang murni sebuah kecelakaan.
Semakin malam terasa semakin sulit untuk mencari tempat agar dapat melihat dengan jelas seluruh atraksi yang dipertontonkan. Anak-anak kecil sedari awal malam telah berjejer berdesakan paling depan untuk memastikan mereka dapat melihat dengan jelas. Sedang aku bisanya berdiri dibelakang barisan anak-anak tersebut.
“Sakinah berdiri disini!” aku meminta adikku berdiri persis didepanku agar penglihatannya tidak dihalangi oleh kepala anak-anak lainnya.
Adikku Sakinah yang baru saja naik kelas dua sekolah menengah pertama itu kubawa serta pergi menonton malam itu. Aku ingin atraksi malam itu dapat menghiburnya.
Kami baru saja kehilangan emak yang oleh dokter puskesmas ia divonis kanker payudara stadium empat yang tidak mampu diobatinya. Obat herbal dan dukun kampung saja yang bisa dilakukannya.
Beberapa helai daun sirih segar yang dililit benang dengan paku terselip diantaranya serta uang terimakasih alakadarnya sudah cukup membuat emak tampak tenang di setiap selesai pengobatan oleh seorang dukun di kampung kami..
Sedangkan ayahku meninggal setahun sebelumnya saat bekerja di sebuah perusahaan kayu dipulau Sumatera. Hal itu juga sepertinya mempercepat kepergian emak untuk selamanya.
Saat emak meninggal, aku baru saja menyelesaikan ujian akhir sekolah tingkat SMP. Tidak banyak yang bisa kuperbuat saat meninggalnya emak. Aku hanya melihat orang-orang datang melayat dan membawa beras dalam plastik-plastik kresek hitam dan merah.
Sepertinya beras itu cukup bertahun-tahun bagi kami berdua untuk menghabiskannya bersama adikku perempuanku satu-satunya yang bernama Sakinah.
Setelah kematian emak, kami diminta bibi dari adik emak untuk tinggal bersama mereka yang kebetulan masih sekampung. Tetapi karena rumahnyanya yang juga hanya punya satu kamar tidurl ditambah 5 anaknya yang juga masih kecil sehingga aku memutuskan untuk tetap tinggal saja dirumah kami. Apalagi anak perempuannya yang sebaya dengan adikku Sakinah sering terlibat perkelahian yang tak terelakkan.
Untuk alasan-alasan itulah kami masih bertahan dirumah kecil yang berdinding dan berlantai papan serta beratap daun sagu yang setiap 3 tahun harus diganti.
Beberapa hal masih kuingat. “Kalung dan mahkota ubi[2] telah diputus Wati,” suatu ketika dulu Sakinah pernah menangis pulang kerumah.
Sebelumnya ia bermain dengan salah satu anak perempuan bibiku tersebut. Terkadang juga iya menangis hebat karena rumah-rumahan dari ayaman atap daun sagu yang telah susah payah dibangunnya tiba-tiba dirusak oleh Wati.
Emak paling berusaha menenangkannya sambil mengelus-elus kepala Sakinah. Emak juga tidak mengambil hati dengan apa yang terjadi dengan anak-anak kecil itu karena setelah itu mereka akan selalu pergi bermain bersama kembali.
Dengan apa yang terjadi dengan keluargaku, saat ini yang ada didalam fiiranku adalah bagaimana menyambung hidup kami berdua. Dua minggu pertama setelah meninggalnya emak, aku mencoba mencari uang dengan mengambil upah menjajakan kue-kue milik tetangga. Tetapi seringnya kue-kue tersebut tidak laku dan basi. Seringnya kami malahan dituduh anak-anak yang malas bekerja.
Sudah kuputuskan kami berdua tidak lagi melanjutkan sekolah. Paling tidak kami telah tahu baca tulis fikirku. Sebulan tepat setelah kematian emak datanglah seorang yang kupanggil Pak Fendi yang umurnya tampak sebaya dengan almarhumah emak. Ia termasuk orang berada yang tinggal dikampung sebelah. Ia ayah dari 3 orang anak yang telah beranjak dewasa.
Suatu kali pernah kudengar cerita bahwa selagi muda ia sangat menyukai emak. Tetapi emak lebih memilih ayahku. Saat ini Ia datang untuk menawariku bekerja di pete[3].
Fikirku pucuk dicinta ulampun tiba. Kapan lagi aku bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari aku dan adikku. Tambahan ia juga menawarkan kepada adikku untuk ikut turut beserta rombongan kami.
Kulihat banyak dari tetanggaku juga putus sekolah sejak sekolah dasar karena harus membantu ekonomi kedua orang tuanya. Pilihan mereka dikampung biasanya hanya dua yaitu pergi menjadi pembantu rumah tangga atau buruh kasar dinegeri jiran Sarawak Malaysia atau pergi bekerja di perusahaan kayu ke pete-pete di pulau Sumatera.
“ Sakinah sudah bisa masak?” tanya Fendi ramah langsung dengan Sakinah
“Bisa Pak” jawab singkat gadis itu dan ia kembali bermain lompat tali dengan teman sebayanya diluar. Sedang Fendi tampak mengangguk-angguk puas. Kusampaikan pekerjaan masak memasak didapur telah di lakukan Sakinah sejak kecil. Ia telah dilatih emak untuk bertanggungawab terhadap urusan dapur disaat kedua orangtuaku sibuk kesawah.
Tawaran pekerjaan itu sepertinya akan dapat merealisasikan keinginanku nantinya. Sepulang dari pete sebelum lebaran nanti, kami akan bisa mengganti kursi kayu tamu yang sudah reot, membeli pakaian baru serta menyiapkan hidangan kue bagi tamu disaat hari raya nanti. Karena beberapa tahun terakhir lebaran kami terlalu sibuk dengan keadaan emak yang sakitnya bertambah parah.
Sejarah sepertinya kembali berulang. Ayahku sebelumnya adalah seorang yang menghidupi keluarganya dengan bolak balik ke pete. Sampai berita duka itu datang kepada kami. Ia diberitakan oleh kepala rombongannya yang secara kebetulan juga Pak Fendi. Disampaikannya bahwa kemalangan telah menimpa ayahku karena telah tertimpa pohon gergajiannya sendiri.
Tidak ada yang dipersiapkan untuk pergi berangkat kerja ke pete, kecuali beberapa helai baju kerja dan tenaga fisik yang prima saja. Tetapi bibiku masih meminta adikku untuk tetap tinggal saja dikampung meski akhirnya kami putuskan bersama Sakinah yang ia juga tetap pergi.
Uang pinjaman sebelum keberangkatan sejumlah Rp.500.000,-telah diberikan. Serasa aku telah menjadi orang kaya meski aku tahu nanti harus kami lunaskan.
Sebagian uang kugunakan untuk memperbaiki sepeda almarhum ayah yang akan dibawa bersama ke pete karena bisa membantu meringankan pekerjaanku nantinya. Sepeda itu akan digunakan untuk membawa beban balok-balok kayu hasil gergajian.
Menurut cerita ayahku sebelumnya gelondongan kayu olahan itu harus dibawa dengan sepeda disepanjang jalan hutan dengan hanya 1 lantai papan titian diatas tanah gambut yang saat dilintasi seperti berayun.
Hampir setiap hari Pak Fendi menyambangi rumah kami, meski hanya sekadar untuk menanyakan hal remeh temeh terkait persiapan kami. Aku senang merasa diperhatikan.
Terlebih lagi Sakinah yang terlihat paling bersemangat menunggu hari keberangkatan kami. Itu merupakan pengalaman pertama dan perjalanan terjauh yang akan kami lakukan.
Perjalanan panjang dimulai tepat setelah sebulan lebaran yaitu pada pertengahan April 1995. Sebuah kapal lintas pulau akan membawa rombongan-rombongan kerja ke pete dengan tujuan yang berbeda, termasuk rombongan kami yang berjumlah 15 orang itu. Petualangan pertamaku bermula dari pelabuhan laut Sintete Pemangkat Sambas.
Diperkirakan dalam waktu 36 jam setelah singgah di beberapa pulau di kepulauan Natuna kapal akan sampai dipelabuhan utama Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang.
Malangnya disepanjang perjalanan aku termasuk orang yang selalu memuntahkan seluruh isi perutku. Tetapi aku juga sekaligus merasa lega karena Sakinah tampak biasa-biasa saja dan wajahnya tampak selalu tersenyum. Mungkin karena semangatnya yang begitu kuat untuk menjadi seorang yang mandiri.
Tiba di Tanjung Pinang fajar mulai menyingsing, kembali kami diperintahkan untuk segera meneruskan perjalanan menuju ibukota propinsi Pekanbaru dengan menaiki taksi air.
Perjalanan hampir seharian penuh dan berlabuh di pelabuhan Sungai Duku kota Pekanbaru. Disana sebuah bis antar kota telah menunggu untuk segera membawa kami menuju kem[4].
Besok pagi-pagi setelah sarapan kami langsung diantar dilokasi kerja dengan naik motor air sampai ditempatnya menjelang sore. Pondok kerja harus sudah berdiri sebelum maghrib. Sampai dititik ini Sakinah terlihat gelisah melihat kondisi kerja yang akan dihadapinya. Tidak ada kata mundur lagi.
“ Kita akan terus dan tetap bekerja dengan semangat, Dek!” aku berusaha menguatkannya dengan kondisi badan yang terasa remuk karena perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan.
“Aku akan selalu bekerja rajin, Bang!” Sakinah kemudian memelukku dengan air mata yang tampak menggenang diujung kedua kelopak matanya. Ia kemudian segera masuk ke pondok khusus yang dibuatkan untuknya sebagai koki rimba. Tempat yang hanya cukup untuk dia berbaring disaat istirahatnya. Aku berharap ia tidak menyesal akan keputusannya untuk ikut bekerja di usianya yang masih sangat belia.
Hari pertama dipondok kerja. Pukul 11.00 malam aku telah mendengar suara orang menumbuk bumbu masak dilesung batu diantara lengkingan bunyi jangkrik hutan yang seperti tidak pernah letih. Bunyi suara lesung didapur yang rasanya sering kudengar saat di kampung. Tetapi karena fisikku yang sangat lelah aku memutuskan kembali melanjutkan tidur nyenyakku.
“Bangun..., sudah pukul 1 dinihari!” teriak Pak Fendi berulangkali membangunkan kami. Aku masih terasa bermimpi tetapi suara yang terdengar keras ditelinga itu terasa sangat dekat. Bunyi piring-piring seng disusun dilantai pondok menambah keributan suasana awal dinihari tersebut.
Tepat pukul 01.00 dinihari yang masih dingin menusuk aku harus bangun dengan badan yang masih terasa pegal-pegal dan dibeberapa bagian otot kakiku terasa kram karena perjalanan panjang disertai berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai pondok hari sebelumnya.
Kulihat Sakinah sangat sibuk mempersiapkan makan perdana dinihari yang dingin menggigit itu. Awal dinihari yang masih berselimut kabut putih tebal.
Beberapa kali kulihat ia mengusap keningnya yang mengucur deras. Terlihat bajunya tampak basah oleh keringat karena mungkin harus menghadap tungku panas di beberapa jam sebelumnya.
Aku langsung berusaha membantunya untuk mengangkat beberapa makanan yang telah siap untuk disantap. Dapat kusebut sebagai perjamuan tengah malam.
Pekerjaan berat buat Sakinah karena harus menyiapkan makanan untuk 15 orang sekaligus. Sebuah aktifitas rutin yang akan dihadapinya sampai dengan setahun kedepan. Tapi aku percaya Sakinah dapat melewatinya.
Meskipun menu yang dihidangkan sederhana tetapi tetap memerlukan persiapan tenaga dan waktu yang besar. Nantinya lauk pauk yang sering terlihat olehku dan akan diselang seling oleh Sakinah sehari-hari adalah gorang ikan asin biawan, ikan teri kacang sambal goreng dan ikan kaleng sarden seperti telah menjadi menu harian kami. Sesekali ada tambahan menu lainnya yaitu kacang hijau sambal goreng pedas dengan tujuan untuk menambah pundi-pundi baru tenaga kami.
“Cepat makannya!” Fendi masih berusaha membuat kami sadar bahwa situasi saat ini kami sedang bekerja. Perintah seorang kepala rombongan yang harus kami patuhi.
Hari terus berganti. Seperti hari-hari sebelumnya, kami memulai aktifitas tepat pukul 1 malam yang didahului dengan makan malam bersama. Waktu disaat sebagian orang-orang baru akan masuk keperaduannya. Sedangkan serombongan pencari remah-remah rezeki dari sang pemilik alam baru saja akan melangkahkan kaki-kakinya untuk menjemput rezeki.
Setelah perut-perut yang lapar terisi semua, kembali Sakinah berjalan cepat membawa ceret seng putih besar dimana bau kopi hangat langsung menguar kedalam pondok sempit kami. Masing-masing kami menuang kedalam gelas untuk melawan hawa dingin menusuk yang kadang membuat badan terasa menggigil.
Menyeruput kopi hangat sejenak sebelum berangkat kerja adalah pilihan terbaik untuk melawan kantuk yang masih menyerang. Jarak antara pondok dan tempat kerja sekitar 5 kilometer.
Perjalanan sambil membawa lori[5] paling tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam. Api obor yang menyala-nyala selalu menemani kami meniti jalan yang menyerupai rel kereta api sehingga memerlukan konsentrasi penuh untuk dapat melaluinya.
Ditengah rimba. Pohon-pohon berdiameter diatas 40 sentimeter dan terkadang ada juga yang diatas 1 meter ditebang dengan gergaji mesin yang kami sebut dengan sinso[6].
Bunyi mesinnya sangat gaduh meraung-raung. Sinso dioperasikan oleh seseorang yang ahli tidak saja dalam teknik menebang pohon-pohon raksasa yang menjadi target, tetapi juga harus ahli dalam memperkirakan kemana arah tumbangnya pohon-pohon tersebut. agar tidak membahayakan orang-orang yang berada dibawahnya.
Almarhum ayahku adalah salah satu barisan tenaga ahli yang disebut sebagai tukang sinso. Menjadi sangat berbahaya jika hal tersebut dilakukan saat hujan deras dan angin kencang. Dikarenakan bekerja disaat alam mengirim sinyal bahaya itulah akhirnya ayahku tidak dapat menyelamatkan nyawanya sendiri.
***
Pohon-pohon besar seperti drum-drum minyak dipotong sepanjang 8 meter. Diperlukan kerjasama dan tenaga manusia bak kuda untuk dapat memindahkannya.
Biasanya diperlukan 6 orang untuk memindahkan onggokan kayu-kayu besar tersebut keatas lori agar segera didorong ke tepi sungai. Diatas air itulah kumpulan pohon-pohon besar kemudian dibuat rakit dan dialirkan melalui sungai menuju logpond [7].
Dalam sehari kami harus bisa menargetkan 3 rit[8], sebelum kembali kepondok kerja untuk beristirahat. Paling tidak pukul 5 sore atau sebelum keadaan hutan kembali menjadi gelap.
Entah berapa banyak galon air dihutan yang kami minum langsung tanpa dimasak. Paling tidak untuk menggantikan dahaga serta keringat tubuh yang keluar sebesar biji jagung disaat mendorong kayu-kayu raksasa itu.
Airnya terlihat berwarna sangat merah karena berada diatas tanah gambut.meskipun airnya berwarna tetap terasa manis saat berada di indera pencecap perasa lidah.Mungkin karena sudah sangat hausnya seluruh sel tubuh kami.
Sebuah pekerjaan yang maha berat dan tidak perlu difikirkan tetapi cukup dikerjakan. Tenaga yang tersimpan dibadan hanya melalui berpiring-piring nasi yang selalu kami habiskan dengan lauk seadanya.
Itulah yang menyebabkan rata-rata kami menjadi pria-pria berotot seperti seorang binaraga meski tubuh kami rata-rata pendek atau dibawah 160 sentimeter.
Dulu pernah diceitakan saat aku masih dikampung. Beberapa pekerja kayu sebelumnya itu hilang disaat mereka bekerja didalam hutan karena diterkam harimau buas yang merasa rumahnya diganggu. Ternyata saat ini akupun menyaksikan sendiri, bahkan didepan mataku langsung.
Pada saat kejadian, malam itu terasa sangat hening setelah hujan ringan di awal malam. Pardi teman sebayaku satu kampung keluar sendirian untuk buang air kecil. Ia turun sendirian dengan membawa sebuah senter untuk penerang.
Setengah jam kemudian Pardi belum juga kembali. Sebenarnya tidak lama ia melangkahkan kaki di luar pondok aku mendengar suara orang berteriak minta tolong ditengah lengkingan derik jangkrik malam yang juga seperti terasa memekakkan telinga.
Ditambah cuaca dingin menyebabkan kami semua seperti malas menanggapi tanda-tanda bahaya yang sedang dihadapi oleh teman rombongan kami.
Setelah tahu Pardi lama belum kembali hampir semua kami terbangun dan keluar untuk menemui nya. Tetapi yang ada disana hanya tertinggal senter dan sarung lusuhnya yang penuh berlumuran darah.
Darahku terasa berdesir melihat pemandangan yang ada didepanku saat itu. Aku langsung teringat adikku dan langsung mendekat ke pondok tempatnya beristirahat dan semua terlihat aman sehingga membuat hatiku kembali lega. Aku kemudian kembali ketempat kerumunan teman-teman sepondokku.
Ditempat kejadian yang memilukan itu, hanya tertinggal jejak telapak kaki seperti telapak kucing raksasa sebesar genggaman jari tangan manusia. Tentu itu adalah harimau Sumatera yang terkenal buas dan ganas jika ia merasa rumah tempat tinggalnya terganggu.
Kami semua langsung bergegas kembali ke pondok karena takut harimau tersebut kembali lagi. Mungkin juga akan muncul dengan sekawanana harimau lapar lainnya yang ingin memangsa apa saja yang ada didepannya.
Malam panjang yang membuat kami semua cemas sampai terang matahari pagi masuk di antara celah pondok yang beratap terpal itu. Jumat pagi itu kami putuskan hanya untuk mengemaskan barang-barang pribadi Pardi untuk dibawa saat nanti kembali ke kampung dan diserahkan kepada keluarganya.
Ada kejadian yang memberikan pelajaran bagi semua. Terkait kehati-hatian dalam pemilihan lokasi pondok kerja. Kejadiannya pada waktu selepas makan malam.
Terdengar hujan rintik menetes jatuh diatas terpal tenda kami. Beberapa teman lainnya tampak asyik mengobrol sambil menghisap rokok untuk menikmati awal malam. Sedang yang lain tampak tengah sibuk menajamkan alat kerjanya masing-masing seperti kampak, parang dan mata gergaji sinso.
Sekitar 1 jam lewat setelah bunyi tetes hujan pertama yang terdengar tidak begitu lebat, tiba tiba saja kami dikejutkan dengan bunyi gemuruh air yang datang dari hulu mengarah ke tenda kami yang berada di lembah terendah sebuah perbukitan.
Tidak menunggu lama. Bunyi deru air semakin jelas terdengar dan segera saja menerjang langsung pondok kami. Semua panik.
Aku segera menghampiri pondok Sakinah yang sepertinya telah tidur untuk persiapan bangun jam 11 malam nanti. Sedang yang lainnya semuanya sigap menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terutama peralatan kerja masing-masing.
Air pasang yang terjadi sangat cepat. Dalam hitungan kurang 5 menit air sudah setinggi lutut dan 10 menit berikutnya sepinggang. Beberapa teman bahkan memanjat kayu yang ada dikiri kanan pondok dan beberapa sisanya mencari tempat dataran yang lebih tinggi secepat mungkin. Banyak barang hanyut dan hilang tak berbekas. Tetapi kami semua ikhlas.
Malam itu juga kami menyepakati pindah ke tempat yang lebih tinggi dan aman tanpa was-was lagi jika ada hujan turun.
***
Setelah beberapa bulan bekerja. Dibeberapa bagian otot lengan dan perut telah terlihat seperti seorang atlet binaraga sejati. Pada bulan kedelapan ini atas permintaan Pak Fendi pekerjaanku berpindah dari pondok ditengah hutan ke daerah dekat sungai yang mendekati kampung. Meskipun Sakinah pada awalnya menolak karena meninggalkannya berjuang sendiri ditengah hutan rimba.
“Aku takut Bang Nurdin!” ungkapnya saat aku mengatakan diminta kepala rombongan untuk melanjutkan pekerjaan di logpond.
“Semua akan baik-baik saja, Dek!” aku menatap wajahnya yang tampak murung karena aku tidak disampingnya lagi,”kita harus mengumpulkan uang yang banyak untuk balik kampung nanti,” pungkasku kembali. Ia pun kemudian hanya mengangguk lemah.
Tugasku di logpond saat ini adalah membawa kayu gergajian berbentuk balok-balok sepanjang 4 meter sebanyak mungkin diatas sepeda yang sudah dimodifikasi.
Pada sisi kiri dan kanan sepeda akan diikatkan kuat-kuat kayu balok yang siap meluncur diatas jalan yang masih berupa tanah kuning tersebut. Perlu tenaga ekstra untuk dapat mengayuh sepeda dan mengendalikannya sampai ditempat tujuan. Jika dilihat sepeda yang membawa kayu gergajian itu persis seperti sebuah pesawat, tetapi tidak bisa terbang.
Sampai akhirnya sebulan menjelang lebaran. Hati siapa yang tidak berbunga-bunga karena hampir setahun bekerja keras megumpulkan uang dengan memeras keringat, kini saatnya menjemput bahagia merayakan lebaran dikampung.
Di kem aku menunggu dengan tidak sabar kembalinya rombongan yang masih berada di pondok tengah hutan termasuklah Sakinah adikku. Semua persiapan untuk kepulangan telah kukemaskan termasuk membawa kembali sarana kerjaku sepeda modifikasi.
Sampai saatnya begitu rombongan datang di kem. Sakinah langsung menyergap dan memelukku sambil menangis tersedu-sedu. Wajahnya memang terlihat pucat. Perasaanku gundah. Disaat itu juga gadis belia itu seperti tidak bisa menahan hasrat muntahnya..
“Bang aku...!” ungkap Sakinah yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Terasa badannya yang lemah seperti bergetar menahan tangis.
“Kita akan segera kembali ke kampung Dek!” ungkapku pelan serta selesailah tugas-tugas beratnya selama ini yang telah dijalaninya dengan sabar tanpa mengeluh sedikitpun. Seorang adik yang sangat bertanggungjawab. Tetapi mendengar kata kampung ternyata Sakinah kembali menangis sejadi-jadinya.
“Aku malu, Bang!” Tubuhku langsung gemetar mendengarnya. Sakinah yang biasanya begitu bersemangat saat ini seperti hilang keceriaan dan semangat hidupnya,”aku malu dengan orang kampung karena aku sedang hamil,” suaranya tambah melemah dan hampir tidak terdengar karena tertahan oleh isak tangisnya.
“Siapa yang melakukannya..siapa?” kuguncang tubuh ringkihnya berkali-kali dan tanganku terasa bergetar menahan emosi. Sambil aku memperhatikan setiap anggota rombongan kerjaku sebelumnya satu persatu.
“Pak Fendi” jawab Sakinah lirih. Tanpa fikir panjang dan segera kulepas pegangan tanganku dari pundaknya Aku langsung menyambangi orang tua paruh baya tersebut dan memberikannya bogem mentah berkali-kali dengan sekuat tenaga. Orang tua bejad itu sedikitpun tidak melawan. Tampak darah mengucur dikening dan bibirnya.
“Maafkan aku..Nurdin.”, sambil dia menahan sakit dan menutup kucuran darah dikeningnya dengan tangan kirinya,“aku akan bertanggungjawab Nurdin!” jawab Pak Fendi dengan terbata-bata. Tubuhku masih gemetaran dan ingin kembali menghajarnya kembali. Tetapi Sakinah yang berurai air mata berusaha menahanku sambil memegang perutnya dan ia menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan lemah.
Aku kalah dan merasa dibohongi. Pak Fendi memindahkan tempatku bekerja ternyata mempunyai maksud lain. Aku tidak bisa menjadi abang yang bertugas menjaga dan melindungi adikku dengan baik.
Akhirnya kusadari titik kebodohanku yaitu disaat aku mau saja dipindahkan dilokasi kerja yang baru. Itu berarti akan memisahkan pengawasanku langsung terhadap Sakinah seperti yang kulakukan sebelumnya selama dipondok ditengah hutan rimba sana.
Nasi telah menjadi bubur. Saat ini juga aku memutuskan untuk tidak kembali ke kampung halaman karena kecewa dengan apa yang terjadi terhadap diri dan adikku.
Sambas, 24 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H