Besok pagi-pagi setelah sarapan kami langsung diantar dilokasi kerja dengan naik motor air sampai ditempatnya menjelang sore. Pondok kerja harus sudah berdiri sebelum maghrib. Sampai dititik ini Sakinah terlihat gelisah melihat kondisi kerja yang akan dihadapinya. Tidak ada kata mundur lagi.
“ Kita akan terus dan tetap bekerja dengan semangat, Dek!” aku berusaha menguatkannya dengan kondisi badan yang terasa remuk karena perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan.
“Aku akan selalu bekerja rajin, Bang!” Sakinah kemudian memelukku dengan air mata yang tampak menggenang diujung kedua kelopak matanya. Ia kemudian segera masuk ke pondok khusus yang dibuatkan untuknya sebagai koki rimba. Tempat yang hanya cukup untuk dia berbaring disaat istirahatnya. Aku berharap ia tidak menyesal akan keputusannya untuk ikut bekerja di usianya yang masih sangat belia.
Hari pertama dipondok kerja. Pukul 11.00 malam aku telah mendengar suara orang menumbuk bumbu masak dilesung batu diantara lengkingan bunyi jangkrik hutan yang seperti tidak pernah letih. Bunyi suara lesung didapur yang rasanya sering kudengar saat di kampung. Tetapi karena fisikku yang sangat lelah aku memutuskan kembali melanjutkan tidur nyenyakku.
“Bangun..., sudah pukul 1 dinihari!” teriak Pak Fendi berulangkali membangunkan kami. Aku masih terasa bermimpi tetapi suara yang terdengar keras ditelinga itu terasa sangat dekat. Bunyi piring-piring seng disusun dilantai pondok menambah keributan suasana awal dinihari tersebut.
Tepat pukul 01.00 dinihari yang masih dingin menusuk aku harus bangun dengan badan yang masih terasa pegal-pegal dan dibeberapa bagian otot kakiku terasa kram karena perjalanan panjang disertai berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai pondok hari sebelumnya.
Kulihat Sakinah sangat sibuk mempersiapkan makan perdana dinihari yang dingin menggigit itu. Awal dinihari yang masih berselimut kabut putih tebal.
Beberapa kali kulihat ia mengusap keningnya yang mengucur deras. Terlihat bajunya tampak basah oleh keringat karena mungkin harus menghadap tungku panas di beberapa jam sebelumnya.
Aku langsung berusaha membantunya untuk mengangkat beberapa makanan yang telah siap untuk disantap. Dapat kusebut sebagai perjamuan tengah malam.
Pekerjaan berat buat Sakinah karena harus menyiapkan makanan untuk 15 orang sekaligus. Sebuah aktifitas rutin yang akan dihadapinya sampai dengan setahun kedepan. Tapi aku percaya Sakinah dapat melewatinya.
Meskipun menu yang dihidangkan sederhana tetapi tetap memerlukan persiapan tenaga dan waktu yang besar. Nantinya lauk pauk yang sering terlihat olehku dan akan diselang seling oleh Sakinah sehari-hari adalah gorang ikan asin biawan, ikan teri kacang sambal goreng dan ikan kaleng sarden seperti telah menjadi menu harian kami. Sesekali ada tambahan menu lainnya yaitu kacang hijau sambal goreng pedas dengan tujuan untuk menambah pundi-pundi baru tenaga kami.