Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Orang-orang di Perjamuan Tengah Malam

25 Januari 2022   06:48 Diperbarui: 25 Januari 2022   06:55 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari canva app

 Semakin malam terasa semakin sulit untuk mencari tempat agar dapat melihat dengan jelas seluruh atraksi yang dipertontonkan. Anak-anak kecil sedari awal malam telah berjejer berdesakan paling depan untuk memastikan mereka dapat melihat dengan jelas. Sedang aku bisanya berdiri dibelakang barisan anak-anak tersebut.

 “Sakinah berdiri disini!” aku meminta adikku berdiri persis didepanku agar penglihatannya tidak dihalangi oleh kepala anak-anak lainnya.

Adikku Sakinah yang baru saja naik kelas dua sekolah menengah pertama itu kubawa serta pergi menonton malam itu. Aku ingin atraksi malam itu dapat menghiburnya. 

Kami baru saja kehilangan emak yang oleh dokter puskesmas ia divonis kanker payudara stadium empat yang tidak mampu diobatinya. Obat herbal dan dukun kampung saja yang bisa dilakukannya. 

Beberapa helai daun sirih segar yang dililit benang dengan paku terselip diantaranya serta uang terimakasih alakadarnya sudah cukup membuat emak tampak tenang di setiap selesai pengobatan oleh seorang dukun di kampung kami..

 Sedangkan ayahku meninggal setahun sebelumnya saat bekerja di sebuah perusahaan kayu dipulau Sumatera. Hal itu juga sepertinya mempercepat kepergian emak untuk selamanya. 

Saat emak meninggal, aku baru saja menyelesaikan ujian akhir sekolah tingkat SMP. Tidak banyak yang bisa kuperbuat saat meninggalnya emak.  Aku hanya melihat orang-orang datang melayat dan membawa beras dalam plastik-plastik kresek hitam dan merah. 

Sepertinya beras itu cukup bertahun-tahun bagi kami berdua untuk menghabiskannya bersama adikku perempuanku satu-satunya yang bernama Sakinah.

 Setelah kematian emak, kami diminta bibi dari adik emak untuk tinggal bersama mereka yang kebetulan masih sekampung. Tetapi karena rumahnyanya yang juga hanya punya satu kamar tidurl ditambah 5 anaknya yang juga masih kecil sehingga aku memutuskan untuk tetap tinggal saja dirumah kami. Apalagi anak perempuannya yang sebaya dengan adikku Sakinah sering terlibat perkelahian yang tak terelakkan. 

Untuk alasan-alasan itulah kami masih bertahan dirumah kecil yang berdinding dan berlantai papan serta beratap daun sagu yang setiap 3 tahun harus diganti.

Beberapa hal masih kuingat. “Kalung dan mahkota ubi[2] telah diputus Wati,” suatu ketika dulu Sakinah pernah menangis pulang kerumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun