Mohon tunggu...
EDHIVIRGI
EDHIVIRGI Mohon Tunggu... Wiraswasta - kreatif adalah salah satu motivasi hidup saya

EVENT CONSULTANT - OWNER VIRGI INDONESIA - OWNER VIPTRIPNESIA - AUTHOR Bergelut di bidang Event Organizer dari 2001 hingga saat ini, memiliki brand Identity Virgi Indonesia yang bergerak di bidang garap MICE dan Event Organizer serta Viptripnesia yang bergerak di bidang Incentive Planner dan Tour Planner. Disamping itu menulis menjadi bagian kesibukan yang memenuhi hari harinya, ditambah dengan kesibukannya sebagai Event Consultant di beberapa perusahaan . Dalam menulis 2 buah buku sudah di terbitkan Mahapralaya Airlangga dan Cinta separuh Waktu, saat ini sedang merampungkan beberapa tulisan fiksi dan juga edukasi seperti Menjadi Event Organizer Masa Depan dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Separuh Waktu #1

26 Desember 2020   20:14 Diperbarui: 26 Desember 2020   20:16 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CINTA  SEPARUH WAKTU

 Story by Edhivirgi

--------------

Jadilah Bidadari, Karena Bidadari adalah kebaikan, Rendalah hati dengan cinta,

Dan Menebar dunia dengan rajutan kasih, Karena cinta dan kasih itu ada di relung kisi kisi hati,

Bidadari tak harus terbang dan bersayap,

Dia bersemayam di kedalaman jiwa, Biarkan sang jiwa menggembara

Memaknai makna kehidupan, Hingga temukan bahagia

Penuh keabadian, Walau hanya separuh waktu

-----------------------------------------------------

***

Untukmu, 

seorang wanita yang selalu di panggil Dhe

semua goresan yang tertoreh di lembah ini, adalah sebuah ungkapan cerita yang pernah terungkap dari bibirmu yang merekah merah. 

Sebuah kisah kepahitan hidup yang terurai seiring waktu berlalu.

engkau bagaikan tetesan embun yang meluap diantara senja tadi, 

engkau yang kini merejam duniamu dengan kesendirian

menikmati pagi tanpa kesedihan,

Semoga bahagia, selalu ada menemani kesepianmu. 

Cintamu. 

Bhe.

(Goresan pada suatu malam yang terlalui di lembah Jurang Jero)

--------------------------------

Satu.

Waktu semu mulai meratapi kerinduanku, dan detik terlalui menyiksa hati yang mulai meradang,  hari pun tertatih menyusuri janji yang pernah terpatri, seperti daun yang merindu tetes embun di siang hari.

"Rindu rindu serindu rindunya... (Ringtone dari telepon genggam)

"Halo Dhe"

"Halo, mas ... lagi dimana?"

"Aku masih di kantor Dhe, dan sepertinya aku pulang agak larut hari ini,"

"Hhhhhhhzzzzzzz" lenguhan nafas panjang.

"Maaf ya ada kerjaan mendadak untuk merevisi proyek yang di Solo."

"Seperti hari-hari kemarinkan mas, atau sekalian ghak pulang sampai besok"

"Bukan begitu Dhe, tapi ini kan ..."

"Tapi apa! tapi kerjaan ini ghak bisa ditunda, lantas aku kecapean dan tidak sengaja ketiduran di kantor dan blablablablaaa" diam menarik nafas panjang.

"Aku capek mas, terserahlah, kamu mau pulang atau tidak, aku sudah tak peduli,"

 "Masa bodoh!" teriaknya penuh emosi.

Dhe mematikan telepon genggamnya, menghela nafas panjang. Tatap matanya lurus tertuju ke meja makan yang di atasnya sudah tersaji beberapa makanan hasil masakannya tadi sore.

 Sengaja sore tadi dia memasak makanan spesial kesukaan Rian suaminya, Ayam panggang dan sayur lodeh, berharap bila Rian datang akan senang menikmati masakannya, berharap senyum dan pujian hinggap diantara lelahnya, namun kenyataan yang ada semua tak seperti yang dia harapkan, dan terulang lagi seperti hari-hari kemarin. Rian suaminya tak jelas mau pulang ke rumah atau tidak. Tak jelas penantian ini akan menemaninya sampai kapan.

"Huufff bosan aku dengan semua ini"

"Ya Allah harus bagaimana aku menghadapi, haruskah aku diam saja diperlakukan seperti ini" keluhnya.

"Pernikahanku belum juga genap enam bulan, apa yang harus aku perbuat dengan keadaan ini ya Tuhanku" keluhnya lagi, perlahan ditariknya nafas dalam-dalam. Berharap beban itu ikut sirna bersama hembusannya.

"Sudah tak kuasa aku rasanya" lanjutnya bersama mengalirnya sebutir airmata terjatuh di pipinya yang putih.

Sudah beberapa bulan terakhir ini Rian suaminya selalu beralasan untuk tidak pulang seperti biasanya. Urusan kantorlah, harus ke luar kotalah dan seribu alasan yang lain, bahkan sebulan terakhir ini Rian tak pernah mau menyentuh masakannya seperti dulu, jangankan menyentuh melihat saja enggan. So, yang lebih parah lagi menyentuh dirinya sebagai seorang istri saja bisa dibilang NGGAK PERNAH.

Rian sebenarnya sosok pria ideal, bertubuh atletis, tampan meski agak sedikit hitam, punya karier yang bagus di sebuah perusahaan property, dan juga seorang dosen muda di universitas yang menjadi almamaternya dulu. Dosen yang mampu merenggut hatinya kala itu, yang mampu pula membuatnya meninggalkan Faisal kekasih yang tak pernah bisa memberinya kepastian tentang masa depan.

 Semua hal tentang Rian memang serba perfeks, serba terlihat istimewa di matanya. Rian adalah dosen pembimbing, saat skripsi harus di kejakannya sebagai salah satu persyaratan untuk menyandang title sarjananya, disaat itulah dia mengenal sosok Rian lebih dalam. Waktu berjalan terasa begitu cepat, perkenalan yang begitu singkat itu terasa sangat berkesan baginya, sosok Rian tak tergantikan mengisi kedalaman hatinya, segala tentang Rian terlalu sempurna, hingga tak menyisakan secuilpun rongga di hatinya yang tidak terisi oleh nama Rian.

Namun perasaan itu ditahannya, Rian terlalu dingin untuk hal-hal semacam itu. Perkenalannya dengan Rian hanya di isi dengan urusan skripsi, tak lebih dari itu, meskipun dia sengaja memperlihatkan secara terang-terangan kepada dosen muda pembimbingnya itu bahwa dia suka, Rian tetap menanggapi diam, sekali lagi terlalu dingin untuk bicara tentang perasaan.

Hari-hari perkenalannya dengan Rian pun terhenti ketika skripsinya telah selesai, dan waktupun berlanjut hingga dia lulus dengan pencapaian terbaik, cumlaude. Hinga suatu malam, malam selepas wisuda yang dilakukan tadi pagi, Rian muncul di depan rumahnya. Sosok lelaki yang selalu mengisi hati dan jiwanya itu tiba-tiba hadir dan berdiri di depannya dengan setangkai bunga mawar di tangannya, menjadi subuah malam yang tak akan terlupakan olehnya.

"Selamat ya, maaf tadi aku tidak bisa hadir pada saat wisudamu" kata Rian ketika mereka telah berdua di teras depan rumahnya. "Dan maaf atas kehadiranku yang mendadak tanpa memberitahumu lebih dulu malam ini, ku harap hal ini tidak mengganggu hari bahagiamu ini"

"Tidak apa-apa pak" jawabnya sambil tersenyum bahagia, dan masih memanggil Rian dengan sebutan yang biasa digunakannya di kampus. Diam menggelayuti suasana malam itu.

"Jangan panggil saya pak, panggil saja Rian kan kita tidak sedang di kampus" kata Rian memecah kesunyian.

"Mas aja ya, kualat nanti aku"

"Hehehe, terserah kamulah Dhe, eh kamu kog senyum-senyum begitu sih ada apa"

"Enggak apa-apa mas senang aja, aku senang kamu datang dan dikasih bunga lagi"

"Bisa aja kamu. Namun Dhe kedatanganku malam ini memang sengaja karena aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu"

"Ada apa mas, serius amat, mau nawarin aku kerjaan di proyek ya"

"Iya, tetapi proyek kehidupan kita berdua"

"Maksutnya"

Rian diam sejenak seakan-akan tengah mencoba menghapal skrip kata-kata yang ingin diungkapkan.

"Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku Dhe, maukah kamu?"

Kalau ada petir yang menyambarnya malam itu, tak akan pernah bisa membuatnya sekaget apa yang barusan didengarnya dari lelaki pujaannya ini, hingga membuatnya terpaku bisu tak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Kalau kamu bersedia, dua bulan lagi kita langsungkan pernikahan" kata Rian menatap lekat ke arahnya. "Waktu dua bulan kurasa sudah cukup untuk kita melalui proses sebelum pernikahan, segala sesuatunya sudah aku persiapkan, tinggal aku meminta restu pada kedua orangtuamu saja yang belum aku lakukan"

"Hah, dua bulan lagi, apakah tidak terlalu cepat mas" katanya sedikit kaget, "apakah kita juga tidak melalui masa perkenalan atau pa ..."

"Kita sudah tak butuh waktu pacaran sebelum menikah Dhe, nanti saja setelah menikah kita nikmati pacaran sebebas-bebasnya, kamu mau kan" kata Rian waktu itu.

Dhe yang tak pernah mengira lelaki idamannya itu melamarnya secara tiba-tiba. Diapun tak perlu banyak waktu untuk menjawabnya, Dia Mengangguk tanda bersedia. Segalanya berjalan seperti sebuah skrip sinetron yang tersusun rapi dan tinggal dijalaninya. Semua terasa indah saat itu, hingga tiba saat mereka menikah, semua serba sempurna rasanya. Bayang-bayang indahnya kehidupan yang akan diarunginya bersama Rian tergambar diraut wajahnya tanpa cela.

"Cinta memang bisa membuat kita beranggapan bahwa segala hal tentang pasangan kita adalah sesuatu yang paling berharga di dunia ini yang kita miliki, perlahan tapi pasti rasa memiliki itu akan berubah menjadi keindahan yang tak terungkap melalui kata-kata."

***

 Namun, kebahagiaan itu ternyata tak menghampirinya terlalu lama, seakan-akan perlahan merayap meninggalkan angan dan harapan yang tumbuh subur dikehidupannya. Hari ke hari terasa tidak adil bagi Dhe, tak ada lagi kasih sayang yang ia dapat dari suaminya seperti waktu awal pernikahan dulu, semua tentang Rian berubah total seratus delapan puluh derajat. Rian sekarang bukan lagi seperti yang dia kenal dulu, kalau saja Rian pulang ke rumah yang mereka kontrak setelah menikah, paling hanya ganti baju lalu pergi lagi dan hanya basa-basi yang tak perlu.

Hanya sebulan dua bulan, atau enam puluh delapan hari tujuh jam tepatnya, Dhe benar-benar merasakan mahligai kasih bersama Rian, merasakan indahnya kehidupan rumah tangga yang dijalaninya, setelah itu, semua terasa bagai neraka. Ghak jelas, ghak tahu arahnya. Mimpi indah yang bersemi di hatinya memudar, Dhe merasa terpenjara.

"Kenapa ya..... bingung aku" Dhe menarik nafas sambil geleng-geleng kepala, memikirkan perubahan drastis yang terjadi pada suaminya, dari membanding-bandingkan dirinya dengan si A atau si B mantan Rian si penyanyi yang suaranya merdu seperti Raisa itu, atau bahkan yang lebih menyakitkan ketika Rian mengatakan mulai bosan dengan hidup yang serba teratur dan perfeksionis. Dia dianggap terlalu banyak maunya, terlalu cerewet sebagai seorang istri dan terlalu ingin mengatur.

Huuuuufffttt so funny,

Waktu awal menikah kenapa tidak bosan, kenapa tidak protes ketika semua serba teratur. Memangnya salah dengan orang yang suka hidup dengan hal-hal serba teratur, Wajarkan, toh tidak perfect-perfect amat, bahkan lebih kepada hal-hal kecil yang dilakukan sehari hari kog yang harus teratur. Misalnya kalo habis baca majalah atau koran, ya harus dikembalikan pada tempatnya dan bukan diletakkan sembarangan di meja makan atau meja tamu dong,

Wajarkan,

Atau pakaian kotor harus diletakkan di tempat pakaian kotor bukannya dibuang sembarangan di lantai kamar atau kasur, juga hal yang wajarkan, lalu kenapa semua itu tiba-tiba jadi masalah???

Toh selama ini tidak pernah juga dia minta sesuatu yang lebih, tidak juga meminta barang-barang mewah, malahan untuk memenuhi dekorasi rumah kontrakan aja harus merogoh koceknya sendiri dan tak pernah meminta ke Rian, atau minta mobil baru, ihhh amit-amit, cukup bersyukur kog istrinya ini pakai mobil lama, yang dibelikan ortu waktu masih kuliah dulu, terus salahnya dimanaaaaaaa.

Kalo ghak pernah dandan cantik, pakai lipstick tebal, atau pakai bedak yang norak dengan maskara menor, emang iya, lha wong sejak dulu memang ghak suka dandan, kalo pergi-pergi ya cukup pakai celana jeans, pakai kaos, lalu sepatu ala converse, udah. Yah kadang-kadang sih pakai rok atau pakai-pakaian ala ibu-ibu muda. Semuanya wajar-wajar saja dan ghak ada masalah.

"Lalu apanya yang salaaaaaahhh, bukankah cinta itu dibangun atas dasar saling mengerti, mendengar dan saling mau belajar untuk bisa saling memahami"

Sedih, sakit di hati yang dirasakannya tertumpuk bagai sekam bergunung-gunung, menunggu kapan akan terbakar dan meluapkan asap panasnya ke segala arah. Rasa curiga terhadap perilaku suaminya semakin menggebu, namun dia tak mengerti kemana harus mencari jalan untuk menuntaskan kecurigaannya. Semua berusaha di pendam, karena kalah oleh rasa cintanya pada Rian. Cintanya terhadap Rian mampu membuatnya untuk tetap bertahan dan menerima perlakuan suaminya terhadap dirinya. Tapi entah sampai kapan.

Terkadang merenda satu persatu masalah dengan berdiam diri di kamar tak juga meretas akar masalah yang tengah dihadapinya. Melamunkan semua kenangan pertama dia kenal Rian, berikut hari-hari indah yang mereka lalui hingga menuju mahligai pernikahan, tak juga mampu menepis kegelisahan hatinya. Instrospeksi diri juga, sudah dilakukannya.

"Mungkin memang aku yang bodoh" keluhnya,

"Tak bisa menjadi seorang istri yang baik, tak bisa masak enak, tak bisa berdandan cantik buat suami"

"Aahhh itu mah klise," kata Kei salah satu sahabat yang selalu menjadi tempatnya menumpahkan semua perasaannya yang gundah.

"Kamu tidak bodoh dan kamu itu kalo masak uuuenaknya ngalah-ngalahin chef Juna tahu enggak"

"Buktinya kalo kamu masak pasti aku makan dengan lahap, jadi kalo kamu bilang masakanmu ghak enak, pasti orang itu yang bodoh dan tidak punya taste yang baguslah" ucap Kei dengan gaya songongnya.

"Lalu apa kesalahanku sampai-sampai mas Rian tak betah di rumah"

"Eehhhhhmmm menurutku sih dasar suamimu yang ghak bener Nyet" kata Kei yang selalu memanggil Nyet pada Dhe dengan ekspresi tak berdosa ngebodoh-bodohin suami orang.

"Ghak bener gimana maksutmu, atau ..."

"Atau punya selingkuhan maksutmu Nyet" seloroh Kei.

Dhe diam saja tak bisa menjawab.

"Mungkin saja Nyet, semua serba mungkin kog, lha wong punya istri cantik, pinter masak kog ya ndak betah di rumah, itu kan ndak bener namanya. Dan pasti ada sesuatu di balik tingkahnya itu, tanyalah pada hatimu. Biasanya mereka yang sudah menikah itu punya perasaan nyambung ketika terjadi sesuatu terhadap pasangannya. Lha kamu gimana"

"Entahlah, aku bener-bener ghak habis pikir dengan sikapnya akhir-akhir ini"

"Pakai kepekaan perasaanmu dong, jangan dipikir, emang matematika pakai dipikir" kata Kei, Dhe hanya diam mendengar celoteh sahabatnya itu.

"Yaaaaaa kamu harus mulai waspada Nyet, biasanya perasaan seorang istri ketika si suami itu serong banyak benernya lho, itu yang aku baca di mbah Google bu" ujar Kei sok tahu, meskipun dia sendiri sampai usianya seperti sekarang ini belum juga menikah.

Sahabatnya satu ini memang selalu ceplas ceplos kalo ngomong, ghak pandang bulu ama siapa saja. Tapi dia jujur, itu yang Dhe suka dari Kei, dan kali ini apa yang dikatakan sahabatnya satu ini tertanam di benaknya, mampu merasuki kepalanya. 

Kei yang benama lengkap kayak orang jepang, Keisa Marini adalah sahabatnya dari kecil, teman satu komplek, dulu waktu mereka masih kecil kemana-mana selalu saja berdua, konyol, jahil, dan tomboy itulah Kei. Yang selalu jadi bahan ejekan karena namanya kayak orang jepang, tapi memang sih, melihat penampilan Kei memang mirip dengan tokoh kartun jepang Nobita, kurus, agak ceking malahan, pakai kacamata pula, yang sedikit membedakan ama Nobita adalah rambutnya yang sedikit keriting, hehehehe. Namun semenjak mereka lulus SMA, mereka berpisah, karena orang tua Kei pindah dari komplek perumahan, dan sejak saat itu mereka jarang sekali bertemu, hanya sesekali saja, itupun bisa terhitung dengan jari tangan di tambah satu atau dua jari kaki deh, baru setelah Dhe selesai kuliah dan menikah mereka kembali sering bertemu, bahkan bercita-cita bisa buka restoran bareng.

"Aku yakin kalau kita bisa membuka sebuah restoran suatu saat nanti, pasti tiap hari orang akan antri datang untuk menikmati masakanmu Nyet" suatu ketika Kei nyeletuk sambil menikmati bakpao pandan buatan Dhe.

"Hahaha bisa aja kamu, yang ada orang ngantri untuk hutang kaleee"

"Beneran nih, aku serius lho, gini-gini aku ini adalah penikmat kuliner di seantero jagat dan setiap kali aku menikmati masakanmu heeeeemmm luaaaar biasaaa, terasa lain dari yang lain, always yummy lah pokoknya Nyet" kata Kei sambil tangannya mengambil satu bakpao lagi.

"Alaaahhh bilang aja kalo kamu itu cuma cari gratisankan, makanya bisa ngomong begitu" jawab Dhe sambil tertawa melihat tingkah Kei.

"Eehh dasar kamu bakul kubis, ini serius, coba deh mulai dipikirin, jangan cuma suka masak ini dan itu aja, tapi harus berani juga berbisnis. Ingat lho bisnis yang sukses itu berawal dari hobi dan hobi yang baik adalah hobi yang bisa dinikmati orang lain dan menghasilkan keuntungan."

"Iya sih tapi terus terang aku belum kepikiran ke sana Kei"

"Ya harus, sekarang kamu harus mulai berpikir ke arah sana, nanti biarlah aku yang jadi manajernya, tanggung semuanya beres, asal jangan suruh aku cuci piring ya hiii alergi bok"

"Hahahaha wuuueeekk maunya" kata Dhe,

"Ok ok aku pikirin itu Kei, ayo kita mulai nabung, dan sapa tau suatu saat chef yang ganteng selangit itu, chef Juna mau datang ke restoran kita hahahaha" lanjutnya.

"Huuuuuaaaa ngarep lu ah dasar" seloroh Kei sambil menjulurkan lidahnya. 

Konyol dan lucu selalu saja ada ketika ngobrol dengan Kei, ada-ada saja ulahnya yang bisa membuat Dhe tertawa dan tersenyum. Dia bisa sejenak melupakan masalah-masalahnya ketika permasalahan makin bertumpukmemenuhi pikirannya, hanya kalau ngobrol dengan sahabatnya itu. Sering dia tersenyum-senyum sendiri bila ingat ulah Kei. Kei yang selalu ceria, yang selalu mampu memberinya semangat, dan Kei yang seolah tak pernah punya masalah di dunia ini.

***

Malam makin larut dalam ketinggian sunyinya,

Kenyakinan kalau suaminya tidak akan pulang malam ini, membuat dada Dhe terasa semakin bertambah sesak. Ini adalah malam ke tujuh berturut-turut Rian tidak pulang. Jam weker mungil di samping tempat tidur sudah menunjukkan jam 23.37 Wib. Besok pagi dia sudah membuat janji dengan Dokter Anisah, dokter tua yang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarganya, benjolan kecil di seputar payudara kiri membuatnya sedikit takut dan risih.

Beberapa hari yang lalu tanpa sengaja ketika mandi dia menemukan benjolan kecil di seputar payudara kirinya. Buru-buru dia telpon Rian, namun sekali lagi tanggapan Rian yang dingin dan biasa-biasa saja membuatnya kecewa,

"Aahh itu hanya perasaanmu saja Dhe, jangan di besar-besarkanlah, aku lagi suntuk banyak kerjaan neh" jawab Rian.

Lalu segera diteleponnya dokter Anisah untuk membuat janji dan disarankan oleh dokter itu untuk segera datang memeriksakan dirinya, karena dikawatirkan jika memang itu adalah kanker maka penyakit itu dapat terdeteksi sejak dini.

"Duh semoga bukan kanker" keluhnya sambil mulai mencoba untuk tertidur.

Meninggalkan sejenak permasalahan yang selalu menghingapi kepalanya, memberi sedikit ruang angan untuk menari-nari dipikirannya yang berjubel seolah akan meluap keluar karena penuhnya.

Kenangan mengenai indahnya malam yang telah berlalu, bersama desiran anginnya yang membuai asmara, saat tangan-tangan cinta menyatu dalam peluh kebahagiaan melayang-layang di alam mimpinya, membuainya hingga terlelap bersama kidung keheningan yang tengah melantunkan syair-syair kerinduan.

Terkadang perasaan ingin di cintai, ingin di peluk, keinginan untuk di perhatikan membuat kita tidak sadar, bahwa cinta bukan sekedar keinginan kita terhadap apa yang kita inginkan itu terpenuhi, tetapi cinta lebih kepada bagaimana kita menyempurnakan diri kita untuk memenuhi keinginan pasangan kita.

Cinta juga bukan sekedar bagaimana rasa itu muncul memenuhi hati kita, bukan pula sekedar bagaimana kita melalui semua rintangannya, cinta juga bukan sebatas kenangan indah yang terlalui bersama, namun cinta lebih kepada kepercayaan untuk saling mengisi, saling memberi satu sama lain, dan saling berbagi agar senantiasa terjaga hingga akhir nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun