“Chon, berhenti! Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?” teriak Chon tanpa berhenti.
“Ini penting. Berhenti dulu! Kalau tidak berhenti, aku loncat dari motor!” Mirza balas teriak.
Chon menghentikan motor. “Ada apa lagi, sih?”
Mirza turun dari motor, dan langsung lari meninggalkan Chon. Chon terhenyak. “Oi, pai nai?” Chon meneriaki. Mirza lari terus menuruni perbukitan.
“Terimakasih tumpangannya, brother. Tapi aku tak bisa balik ke Chiang Mai, Bangkok atau Indonesia sekarang. Nut perlu aku. Aku akan cari Nut. Uangmu aku pinjam dulu. Nanti kukembalikan!” Mirza menoleh sesaat. Chon bisa melihat pemuda itu jauh di bawah, suaranya terdengar naik turun ditelan angin.
“Pemuda sinting!” gerutu Chon.
Ia membelokkan motor ke menuruni perbukitan, mengikuti arah lari Mirza.
“Stop! Stop kataku!” Chon berteriak.
“Nggak akan!”
Mirza membuat gerakan zig-zag dan memilih permukaan tanah yang ia perkirakan tak akan bisa dilewati sepeda motor Chon. Chon enggan mengalah. Ia tetap mengikuti Mirza.