Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kru Suay Mak (25)

13 September 2015   23:20 Diperbarui: 13 September 2015   23:20 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kru Suay Mak (24) bisa dibaca di SINI

Ragu-ragu Mirza berdiri dan menyeka kakinya dengan kedua tangan sampai kering. Perlahan ia melangkah ke wat. Benar, seseorang telah menantinya di dalam wat; seorang lelaki. Orang itu tengah bersimpuh menghadap figur Buddha, dengan kedua tangan tertangkup . Mirza segera tahu itu Chon. Lega rasanya.

“Chon,” ujar Mirza.

Chon melakukan sembah pamungkas dan menoleh pada Mirza.

“Syukurlah kau selamat, pemuda Indo,” Chon beringsut mendekati Mirza. “Kamu sudah bikin heboh. Pemilik hotel Tuptim ketakutan diancam preman-preman Madam Lawan, paspormu mereka curi, pemilik raparasi motor digampar, dan barusan kudengar di radio lokal sejumlah Farang melapor ke polisi soal perusakan sepeda motor yang mereka sewa, yang dilakukan seorang perempuan Thai dan seorang pemuda yang diduga turis Asia”

“Kalau kau di posisiku, kau pasti melakukan hal yang sama. Aku hanya mencoba melindungi Ratana alias Nut dari kejaran centeng-centeng Madam Lawan dan kejahatan seksual yang dilakukan para bule edan itu,” jawab Chon.

“Yup. Tapi, memangnya kenapa Ratana musti lari dan tak kembali ke Madam Lawan sehabis semalam bersamamu di hotel itu? Lagian, bukan begitu skenario kita, kan?” ucap Chon datar.

“Semua di luar dugaan. Ratana ingin lepas dari Madam Lawan. Kisah Ratana lebih rumit daripada yang kita duga. Pearl, putri Ratana, alias Nut ada di tangan bos besar, bosnya Madam Lawan. Gadis mungil itu ditahan sebagai jaminan agar Nut tidak lari dari Madam Lawan. Nut adalah aset  penting penyedia jasa perempuan escort di Madam Lawan. Nut punya hutang pada bos Madam Lawan, 900.000 baht,” kata Mirza.

“900.000 baht? Ui, banyak sekali. Dan kenapa kau rela membantunya lari, merisikokan dirimu sendiri?” tanya Chon. Mirza terdiam sesaat, dan menatap Chon..

“Terus terang aku jatuh cinta padanya, Chon. Kamu mungkin tak pernah tahu, Ratana adalah Nut, perempuan yang aku kenal sebagai guru bahasa Thailand di kursus Rapid Thai. Aku menyukainya sejak aku jadi muridnya…”

“Ah, ini menarik…..,” sela Chon. “Pastinya surprise buat kamu ketika  perempuan penghibur yang kupesankan untukmu ternyata adalah perempuan yang kau sukai?”

“Surprise menyenangkan, sekaligus menegangkan, dan sekarang ini….membuatku cemas. Nut ada pada mereka, Madam Lawan dan bosnya. Menurut centeng-centeng Madam Lawan, rumah orangtua Nut di Pang Mapha mereka bakar, dan nyawa Pearl terancam. Nut terpaksa ikut mereka,” kata Mirza.

“Dan kau sendiri? Bagaimana bisa lolos dari mereka?” tanya Chon.

“Dengan susah payah; ini aku dapat sabetan parang di lengan kiri. Sudah mendingan, diobati secara tradisional oleh biksu di luar itu tadi”

“Ya, itu salah satu biksu temanku.  Tadi pagi aku sampai di sini, setelah ditelepon biksu bahwa ia mendapatkan petunjuk hasil penerawangan bahwa aku akan menemukan orang yang kucari. Pastilah biksu muda itu yang secara diam-diam, dengan kemampuannya, mengarahkan langkahmu ke wat ini.”

Mirza meraih secawan teh hangat yang baru dituang oleh seorang biksu cilik. “Aku harus mencari Nut, Chon. Sekarang juga, di Pang Mapha,” kata Mirza. “Aku kuatir keselamatannya”

“Hm. Berani juga kau rupanya. Kau pikir kau bisa melawan bos besar dan anak buahnya, seorang diri?” tanya Chon.

“Sudah terlanjur basah,” kata Mirza.

Chon menepuk bahu Mirza. “Nong, aku turut andil menceburkan diri mu dalam bahaya ini. Aku tidak bisa membiarkanmu masuk lebih dalam. Jiwamu terancam. Jadi, sebaiknya kau segera balik ke Bangkok. Pergilah ke Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok untuk minta pengganti paspor.  Aku sediakan uang cukup untuk mengurus ini itu dan beli  tiket pesawat ke Indonesia. Biarlah Nut mengatasi sendiri urusannya. Kalau ia balik dan kerja lagi buat bosnya Madam Lawan, masalah selesai,” kata Chon.

Mirza menatap Chon. “Tidak, pi! Aku tak tega mendapati Nut dalam bahaya. Aku akan mencarinya, aku tak gentar!” ucap Mirza. Chon menarik nafas.

“Ah, cinta rupanya telah membuat pemuda tengil macam kamu jadi kelewat berani,” Chon berhenti bicara, meneguk habis secawan teh.

“Asal tahu, nong! Bisnis pelacuran itu nikmat sekaligus keras dan kejam. Kau telah mengacaukan aset bisnis si bos besar. Si bos pasti akan mengembalikan Nut jadi Ratana di Madam Lawan’s house; kau tak akan mendapatkan dan memiliki Nut tanpa mengacaukan hidupmu,” kata Chon.

Mirza menatap tajam mata Chon.

“Sudahlah, Nong,” kembali Chon menepuk bahu Mirza. Ia kemudian merogoh setumpuk pecahan 1000 baht dari tasnya, dan menyodorkan pada Mirza.

“Ini cukup uang untuk urusan seperti yang kubilang tadi,” Kuantar kau naik motor ke Chiang Mai, beli pakaian bersih, terus ke bandara Chiang Mai untuk terbang ke Bangkok sebelum Polisi di sini memenjarakan kamu. Percayalah, kamu tak akan suka penjara di sini”

Mirza tak bersuara.

Chon meraih uang itu dan menaruhnya dalam genggaman Mirza. “Kalau sudah tenang di Indonesia, kau ketik semua yang Ratana ceritakan padamu, lalu kirimkan melalui e-mail ke aku”

Mirza menggenggam uang itu, dan mengangguk. “Okaylah!” kata Mirza.

Chon bangkit, “Ayo jalan!”

Ia menangkupkan kedua telapak tangan ke hadapan biksu dan berpamiitan. Mirza melangkah bersama Chon ke luar dari wat. Chon kemudian menghampiri sebuah motor  besar yang ia parkir di bawah sebuah pohon. Sebentar kemudian sepeda motor menderu meninggalkan wat; dengan Mirza di boncengan Chon.

***.

Motor melaju melalui jalan setapak di antara perbukitan beberapa saat. Mirza tahu jalan itu mengarah ke jalan besar yang pasti selanjutnya mengarah balik ke Chiang Mai. Mirza mengamati sekeliling. Ia seperti mendengar suara Nut memanggil-manggil.

Setelah setengah jam melintasi jalan hutan, Mirza menepuk bahu Chon.

“Chon, berhenti! Aku lupa sesuatu!”

“Lupa apa?” teriak Chon tanpa berhenti.

“Ini penting. Berhenti dulu! Kalau tidak berhenti, aku loncat dari motor!” Mirza balas teriak.

Chon menghentikan motor. “Ada apa lagi, sih?”

Mirza turun dari motor, dan langsung lari meninggalkan Chon. Chon terhenyak. “Oi, pai nai?” Chon meneriaki. Mirza lari terus  menuruni perbukitan.

“Terimakasih tumpangannya, brother. Tapi aku tak bisa balik ke Chiang Mai, Bangkok atau Indonesia sekarang. Nut perlu aku. Aku akan cari Nut. Uangmu aku pinjam dulu. Nanti kukembalikan!” Mirza menoleh sesaat. Chon bisa melihat pemuda itu jauh di bawah, suaranya terdengar naik turun ditelan angin.

“Pemuda sinting!” gerutu Chon.

 Ia membelokkan motor ke menuruni perbukitan, mengikuti arah lari Mirza.

“Stop! Stop kataku!” Chon berteriak.

“Nggak akan!”

Mirza membuat gerakan zig-zag dan memilih permukaan tanah yang ia perkirakan tak akan bisa dilewati sepeda motor Chon. Chon enggan mengalah. Ia tetap mengikuti Mirza.

“Chon! Kalau kau ikuti aku terus dengan motormu, kau akan meluncur jatuh ke lembah sana. Kamu yang stop di situ kalau mau selamat,” teriak Mirza sekuat tenaga.

Tapi Chon seperti tak mau diingatkan. Ia memacu motor menuruni perbukitan, tak memperdulikan motor itu bergerak seperti perahu diterjang mbak, dan motor itu makin dekat dengan Mirza. Begitu tahu Chon makin dekat, Mirza mengubah arah lari, berbalik ke tanjakan. Chon mengikuti arah Mirza, namun sebuah gundukan membuat ban motor terganjal dan mengolengkan motor. Chon terpental dari mtor sementara motor dengan mesin yang masih menderu meluncur deras ke arah lembah.

Chon sendiri terguling-guling beberapa saat mengikuti dataran miring sebelum akhirnya tubuhnya terhenti oleh batang pohon. Chon tidak bergerak.

Mirza melihat ke bawah.

“Chon, are you alright?” Mirza meneriaki Chon dengan membuat corong dari kedua belah tangan di depan mulurnya.

Tidak ada jawaban dari Chon. Chon meringkuk persis di bawah pohon yang baru saja menghentikan hempasan tubuhnya.

“Uh, sial!” Mirza bergegas menuruni bukit menghampiri Chon. Kini ia kuatir. Ia baru saja bikin masalah baru!

 

BERSAMBUNG

Nong – panggilan untuk orang yang lebih muda

Pi – panggilan untuk orang yang lebih tua

Pai nai? –  (mau ke mana?)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun