Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 7

13 Mei 2011   00:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:47 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ujung belati itu berkilat dan menghunjam deras mencari sasaran mematikan. Adakah kemungkinan bagi Candi untuk menyelamatkan diri? Ah, kalau saja dari awal ia tahu ancaman itu bakal benar-benar dijalankan.

EPISODE 7

SEMUT HITAM

Candi menepuk-nepuk bantal untuk membersihkan debu dan mengembalikan keempukannya. Bantal dan guling terasa dingin ketika tersentuh tangan. Udara dingin pasti telah pula menyusupi kamar ini, dan merasuki bantal.

Bagi Candi, meski kadang menyiksa, suhu sejuk desa ini merupakan berkah tersendiri. Malam sebelumnya, ia tidur nyenyak sekali dengan sejuk alamiah udara pegunungan di Kemiren. Malam ini ia yakin akan tidur senyenyak malam sebelumnya. Sejuk AC di kantor Candi di Jakarta yang gerah, sama sekali tak menandingi sejuk di Kemiren.

Setelah yakin semua jendela telah terkunci, gadis itu melepas dompet dari saku celana dan menyelipkannya di bawah bantal. Sejak kecil Candi memang punya kebiasaan ini; selalu menyimpan dompet di bawah bantal ketika ia sedang dalam perjalanan. Dompet yang tersimpan di bawah bantal itu juga merupakan pertanda ia sudah menyelesaikan persiapan kewaspadaan tahap akhir. Artinya, ia sudah merasa aman seratus persen untuk tidur.

Memang benar dari mulut Candi tadi terlontar ia sama sekali tak gentar ancaman itu. Tapi ketika memasuki kamar, ia tiba-tiba merasa perlu meningkatkan kewaspadaan. Bukan apa-apa, manakala ia memandangi dinding-dinding kamar berkeliling, sekonyong-konyong ada getar-getar yang membuat kuduknya meremang. Selama ini Candi tak pernah pula mempergunakan firasat sebagai alasan untuk takut. Dalam keadaan seperti ini, hal yang terbaik adalah memompa semangat dan memacu ketenangan.

Ketika masuk rumah sejam lalu, Bu Parmi sudah lelap, masih dalam posisi ngeloni tole. Tole memang selalu minta dikeloni sebelum berangkat tidur. Lampu di ruang tamu sudah diredupkan. Tak ada penerangan lain kecuali sebuah lampu tempel yang menyala suram di ruang belakang. Semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat.

Candi merebahkan diri. Lampu tempel di kamarnya menyala agak terang. Di dinding lampu tempel, poster Nia Daniaty tersenyum. Sayang, bagian dada Nia sudah tercabik entah kemana.

Candi memandang berkeliling. Lampu baterai tergantung pada sebuah paku sekitar satu meter jauhnya dari tangan kanan Candi. Dalam keadaan darurat dan butuh penerangan, hanya sekali gerakan, lampu baterai sudah bisa tergenggam.

Kini semuanya terlihat beres. Semuanya kelihatan terjaga baik. Bahkan sehelai anginpun tak mampu menerobos celah terbuka. Candi tak khawatir. Lagipula, ia sudah sampaikan pada Rio bahwa ia tak perlu khawatir. Sama sekali ia tak percaya ancaman itu dilaksanakan. Kata 'mati' di surat itu toh bisa saja digunakan untuk bahan jenaka bagi orang-orang iseng. Para Hansip yang berjaga di luar menambah rasa aman itu.

Sebentar kemudian Candi lelap. Tak ia dengar jam tua di kamar tengah mendentangkan bunyi satu kali. Tak ia dengar juga berikutnya jam berdentang dua kali.

Malam demikian senyap. Bunyi gesekan daun terdengar cukup keras. Kemudian sunyi untuk beberapa lama. Cuma sesekali tersimak suara para petugas hansip bertukar informasi keamanan. Para setugas hansip itu, berpencar pada posisi pagar betis. Jadi, mustahi; terjadi gangguan keamanan lingkungan malam itu, kecuali tamu tak diundang yang benar-benar punya keahlian menyelinap.

Tapi kadang-kadang, walaupun peluangnya kecil, semua perkucualian punya kesempatan yang sama untuk hadir. Dini hari itu, siapa nyana kalau menjelang dentang oukul tiga, sesosok hitam tiba-tiba muncul dari gelap tanpa diketahui siapapun. Bayangan itu bergerak ringan di antara pepohonan di sekeliling rumah Bu Parmi. Lincah sekali ia berpindah, dari balik pohon satu ke pohon lain, tanpa meninggalkan secuil gemerisikpun.

Hamper seluruh tubuh sosok itu berbalut pakaian serba hitam. Ikat rambutnya hitam, wajahnya bertopeng hitam. Kedua belah tangannya berbalut sarung tangan hitam. Warna bayangan itu benar-benar kelihatan sempurna menyatu dengan kelam kalau saja matanya tak berkilat cepat ke kanan dan ke kiri.

Gerakan berpindah sosok itu benar-benar menakjubkan, meski tak sebuah peneranganpun di tangan. Ia juga demikian lincah berlari di antara pepohonan dan tonggak-tonggak tali jemuran tanpa menabraknya. Sempurna sekali cara ia berkelebat dalam gelap malam.

Mengendap bayangan itu menyelinapi perdu-perdu liar. Langkahnya mantap dan sangat terlatih untuk menghindarkan suara sekecil teriakan semutpun. Semakin dekat ia ke rumah Bu Parmi, semakin cekatan ia menapaki tanah. Dan semakin sedikit bunyi tapak yang tersisa.

Dua petugas hansip yang berdiri dengan lampu baterai di tangan, tak jauh dari bagian belakang rumah Bu Parmi sama sekali tak mampu mengindera kelebat hitam itu. Mereka asyik menguliti kacang dan minum kopi. Keheningan dibiarkan lewat begitu saja.

Tiba-tiba malam terasa semakin sirep. Demikian sirepnya, sampai tak mampu membangkitkan kekuatan firasat orang sekecil apapun, yang biasanya dimiliki budaya bathin Jawa. Yang betul-betul terasa, hanyalah angin dingin pembangkit gigil dan geletuk gigi.

Sosok hitam, tanpa rintangan, berhasil merapat ke sebuah jendela di samping rumah. Jelas sekali yang dituju adalah jendela kamar Candi. Amat terampil tangan berbalut hitam itu menelusuri tepian jendela. Cekatan pula ia memastikan di bagian mana gerendel jendela terletak.

Tenang, tanpa suara, dari balik saku, tangan sosok hitam mengeluarkan selempeng benda terbuat dari logam pipih memanjang, seperti sebuah obeng. Ia telusupkan obeng pipih itu ke sela sempit antara pinggiran kusen dan daun jendela. Ia menggunakan kepalan tangannya untuk memukul masuk obeng itu, dan tangan berfungsi sebagai tenaga pengungkit.

Hanya keletak kecil yang terdengar dari gerakannya yang mengungkit jendela. Setiap gerakan yang diperkirakan akan menimbulkan bunyi, sengaja ia barengkan dengan suara angin yang menerpa dedaunan. Itulah sebabnya, acap terlihat ia menunggu beberapa saat angin berdesir, agar derak obengnya bisa tersamar.

Setelah beberapa ungkit, daun jendela terkuak sedikit. Dengan mudah, jendela itu kemudian dibentang lebar. Beruntung nyala lampu di dalam kamar teramat redup, sehingga tak ada sinar bocor keluar yang bisa menarik perhatian.

Kemudian, dengan genjotan ringan, terasa terbang sosok hitam terkirim masuk kamar. Mudah sekali kaki si hitam melangkah ke dalam kamar yang redup. Demikian redup sehingga tubuh yang teronggok di ranjang itu cuma kelihatan seperti gundukan hitam. Perlahan ia menutup rapat-rapat kembali jendela. Tak sedikitpun penyusupan itu disimak orang lain.

Sosok hitam itu menatap lurus ke arah gundukan tubuh di tempat tidur. Ia menarik nafas. Dan bersamaan dengan itu tangan kanan menyelinap ke balik baju.

Sebuah belati mengkilat terhunus. Ujungnya runcing, pinggirnya sangat tajam. Tanpa berpikir panjang, segera kedua tangannya mengayun ke atas, menyiapkan sebuah tikaman. Tak ragu, ia meluncurkan deras moncong belati ke gundukan di tempat tidur. Tak puas sekali, ia menarik belati itu dan menusuk sekali lagi. Dan sekali lagi, sekuat tenaga.

Tapi tak sebuah jeritpun terdengar. Tak ada darah muncrat.

Sosok hitam gusar. Ia menoleh lampu dinding dan membesarkan ulir lampu. Cahaya menebari kamar. Di tempat tidur, ia melihat kapuk menghambur ke segala arah. Ia juga melihat selimut terkoyak-koyak dibabat. Tak ada jerit, tak ada orang terluka. Cepat ia menyingkap selimut. Dua buah guling dan dua bantal menghamburkan kapuk. Tak ada orang di situ. Mana gadis itu?

Kalap si hitam menoleh ke kanan dan ke kiri. Matanya melotot dan kelihatan penuh amarah. Ia terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba dari arah belakang sebuah benda keras menghantam punggung. Ketika ia menoleh, ia sempat melihat Candi berusaha keluar dari kamar dari sebuah persembunyian berhimpit almari besar. Baru saja gadis itu menghantamkan potongan kayu.

Tanpa menghiraukan nyeri di punggung, dengan belati terhunus, si hitam mengejar Candi keluar ruangan. Jelalatan matanya melacak arah lari Candi. Nafasnya memburu.

Tak sulit bagi si hitam menemukan posisi Candi. Gadis itu berdiri dengan sorot waspada tak jauh di depannya, di seberang sebuah meja bundar. Tangan sang gadis berada di belakang, berusaha mencari-cari benda yang dapat digunakan sebagai senjata. Ketika si sosok hitam berkelebat memutari meja, Candi meraih sebuah dingklik kayu dan menggunakannya sebagai pelindung.

Si hitam kini sibuk menentukan ancang-ancang untuk menancapkan belati secara tepat pada sasaran yang terlindung kursi kayu. Candi tahu persis orang ini sudah terlatih untuk membunuh dan terlatih pula untuk bekerja sendirian. Itulah sebabnya, ketika si hitam berkelebat ke kanan, Candi segera memindahkan kursinya ke kanan.

Tapi, ini justru fatal. Ketika kursi itu berada di kanan, segera si hitam menerobos pertahanan kiri yang terbuka. Candi menjerit saat belati lewat dengan deras beberapa milimeter dari tangan kanan. Refleks kursi itu terkirim kembali ke kiri.

Candi menjerit ngeri tatkala sekali lagi orang itu mengayun belati ke arahnya. Sekuat tenaga ia menyabetkan kursi. Tapi sabetan itu telampau kencang. Kursi terlepas dari pegangan dan menghantam pot bunga yang diletakkan pada sebuah meja pot yang cukup tinggi. Suara berderak membahana dalam rumah. Gagal sudah si hitam memelihara keheningan. Sebentar lagi akan banyak orang menyerbu ke ruang itu.

Candi sedikit lega mendengar keributan. Tapi Candi tak sempat berpikir lebih panjang. Sosok hitam yang mahir sekali menggunakan belati itu mulai kelihatan tak sabar. Tanpa diduga-duga, ia melompat ringan melintasi meja. Ujung belati menyongsong Candi dengan cepat. Gadis itu berteriak sekuat tenaga. Dengan sisa kewaspadaan ia berkelit ke kanan. Suara belati menancap di dinding kayu berbareng dengan gedebuk tubuh hitam menghantam dinding. Ajaib sekali Candi bisa lolos dari serangan gencar itu.

Geram si hitam mencabut belati. Bagaimana mungkin seorang gadis begitu punya keberanian menghadapi seorang lelaki bersenjata tajam, dan membuat belatinya menghantam angin?

Candi memanfaatkan kesempatan untuk berlari sekuat tenaga ke arah pintu belakang. Si hitam mengejar. Pada saat tinggal cuma beberapa desimeter si hitam berada di belakang Candi, ia berhasil mencabut palang pintu.

Segera Candi mengayun palang itu ke belakang, meski ia tak tahu pasti di mana si hitam berada. Tapi usahanya tak sia-sia. Ujung palang membabat belati yang terhunus di tangan si hitam. Terkejut ia tatkala belati terpelanting dan lepas dari tangan.

Candi bernafas lega. Menurut perkiraannya, kalau si hitam ini sibuk mencari belatinya yang terlempar, ia akan menghambur ke luar rumah.

Tapi, di luar dugaan Candi, si hitam sama sekali tak tertarik mendapatkan belatinya kembali. Dengan hentakan mantap, ia mencekal ujung palang pintu yang hendak diayunkan Candi. Dengan dua tangan kuat didorongnya palang pintu itu. Candi terjermbab ke belakang dan punggungnya menghantam daun pintu. Untung. Kalau tak ada daun pintu, ia pasti telah jatuh terlentang.

Tapi, daun pintu yang tertutup inipun tak memberinya banyak pilihan. Kini daun pintu di belakangnya malah menjadi benda padat yang turut ambil peranan dalam memepet dirinya.

Dada Candi mulai terasa sakit. Orang ini punya tenaga badak yang amat kuat; terlalu kuat untuk mendorong seorang gadis yang sama sekali tidak terlatih untuk urusan ini. Dan Candi mulai ngeri. Sudah bisa dipastikan, palang pintu ini perlahan akan naik dari dada ke leher. Dan si hitam dengan mudah akan mematahkan leher Candi.

Sekuat tenaga Candi menahan dorongan kayu. Tapi celaka, tangan kiri Candi tak bisa turut mencegah kayu. Dadanya mulai sesak dan nafasnya tersengal-sengal. Sulit sekali mengeluarkan suara. Sama sekali ia tak menduga malam itu ia akan punya problem besar dengan lehernya, problem yang mungkin akan membuat ia lenyap selama-lamanya.

Namun Candi mencoba bertahan. Diam-diam dia punya gagasan alternatif. Ia ingin sekali memanfaatkan tangan kirinya yang masih bebas untuk mencakar muka si hitam. Minimal ia bisa membuka kedok hitamnya. Kalau ia selamat, siapa tahu ia bisa mengenali pembokong gelap ini. Kalau toh ia jadi tercekik, ia sudah berusaha mencabik wajahnya.

Serta merta Candi meraih kedok hitam di wajah sosok itu. Si hitam tak menyadari Candi akan melakukan ini. Seraut wajah jebah berkumis lebar melotot di hadapannya. Setengah sibuk orang itu membenahi kedoknya dengan tangan kanan. Benar-benar ia tak suka bekerja dengan wajah terbuka. Ini membuat dorongan di dada Candi mengendor.

Mengerahkan sisa tenaga, Candi berteriak dan mendorong tubuh si hitam. Sosok itu terhuyung beberapa meter ke belakang. Cepat Candi membuka pintu dan menghambur keluar. Teriakannya mulai mendapat sambutan. Tiga orang anggota Hansip menyongsong dengan kelewang dan pentungan. Halaman belakang rumah Bu Parmi disimbahi bersorot-sorot sinar lampu baterai.

Si sosok hitam berwajah jebah gusar beberapa saat. Ia menyambar belati di lantai dan segera melompat keluar. Bersamaan dengan itu sorot lampu baterai diarahkan padanya.

"Bajingan!" teriak salah satu anggota hansip itu. Kelewang berkelebat. Tapi si baju hitam sigap. Ia melompat ringan ke samping. Kelewang cuma menerabas angin. Ketika seorang petugas hansip maju dengan pentungan besar, iapun dengan mudah dapat mematahkan serangan pentungan dan menggebuki balik penyerangnya. Petugas yang membawa kelewang sekarang gusar, dan tak yakin apakah ia akan meneruskan pertarungan dengan kelewang itu atau tidak. Buntutnya, ia mengayun kelewang terlalu keras dan kelewang itu membabat pohon serta menancap di situ untuk kemudian sulit dicabut kembali.

Candi terus berteriak, maksudnya mencari bantuan sebanyak-banyaknya karena seorang anggota hansip sudah duduk tertelungkup dengan kepala didekap akibat dihajar pentungannya sendiri.

Lima anggota hansip lain datang mengejar teriakan itu. Si sosok hitam mulai gentar. Ia rupanya hendak cepat-cepat saja mengakhiri pertarungan. Ketika seorang hansip terdekat maju dengan gobang di tangan, ia berkelit dan balas menyerang. Benar-benar ia memanfaatkan kelihaiannya bermain belati. Tusukan demi tusukan telak dilancarkan. Anggota hansip itu melolong-lolong, tak sempat lagi memainkan gobang. Dari dadanya darah membuncah. Ia roboh mendekap dada.

"Saidun kena! Saidun kena! Tangkap bajingan itu!" orang-orang yang lain berteriak mengejar. Sosok hitam sadar ia bakal terpepet. Secepat kilat ia melesat meninggalkan calon lawan-lawannya yang jumlahnya terlalu besar itu. Rupanya, ia memilih lari.

"Jangan kabur, bangsat! Jangan lari!" sejumlah orang bergedebuk mengejar. Tapi sosok hitam lenyap begitu saja dalam gelap. Orang-orang yang gigih mengejar, hanya menangkap hawa dingin dan gesekan daun. Musuh begitu cepat menghilang.

"Kemana dia?"

"Kabur. Hilang entah kemana!"

"Lampu! Sorotkan lampu. Ke semak-semak!"

Ke segala sudut lampu baterai menyebar. Tak ada gerakan, selain tumbuhan liar yang tertiup angin.

"Benar-benar kita kehilangan jejak. Lihai sekali bajingan itu menghilang!" seseorang menggerutu. Pada saat itu, Rio dan Wolfgang berlarian kecil menyongsong.

"Candi. Kau dimana?" panggil Rio.

"Aku di sini," sahut Candi terengah-engah, muncul dari gelap. Tangan kanan Candi mengurut-urut dadanya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Rio.

"Tidak, cuma sedikit kaget. Tapi dadaku sesak"

Orang-orang segera mengerumuni Saidun yang tergeletak di tanah. Darah melumuri dadanya.

"Saidun masih bernafas. Tapi ia musti segera dirawat di rumah sakit di kota kecamatan. Cari mobil!," seseorang mengusulkan.

"Kelamaan, pakai sepeda motor saja"

Dini hari itu bagian belakang rumah Bu Parmi sibuk sekali. Bu Parmi mendekap tole di dekat pintu dengan pandangan cemas.

"Orang itu masuk kamarmu dengan sebuah belati? Bagaimana kau bisa selamat?" tanay Rio yang baru saja melongok tempat tidur Candi yang kacau balau dengan kapuk terhambur ke mana-mana.

"Aku diselemattkan oleh seekor semut hitam," kata Candi.

"Semut hitam?"

"Ya, seekor semut hitam merambat di hidungku. Aku terjaga. Saat itu aku mendengar suara jendela dicongkel. Aku terbangun, dan sadar ancaman itu tidak main-main. Aku menyingkir perlahan dari tempat tidur. Kuselimuti dua bantan dan sebuah guling. Lalu aku redupkan lampu," ujar Candi.

"Orang itu mengjahar gantal guling samaran itu denga belatinya?" tukas Rio.

"Ya, aku sendiri sembunyi berhimpit ke dekat lemari. Beruntung ia tak melihatku," Candi menerima segelas air putih dari Bu Parmi.

"Rupanya kau prioritas utama ancaman itu. Kau bisa kenali penyerangmu itu?" kata Rio.

"Tak jelas benar. Ia berkumis, kulitnya hitam dan mukanya jebah"

"Apa itu 'jebah'?"

"Mendekati bulat"

"Kau pernah lihat orang itu sebelumnya?" desak Rio.

Candi menggeleng dan meneguk habis air putih itu. Ia mendekap dadanya, meringis.

"Kenapa dadamu?" tanay Rio.

"Aku didorong pakai palang pintu, pas dada," kata Candi.

"Astaga. Harus diperiksa. Jangan-jangan cedera serius," kata Rio.

mengisyaratkan agar mereka masuk ke ruang tengah rumah. Rio kemudian mencari Bu Parmi untuk mendapatkan air panas.

Candi masih mendekat dadanya ketiga duduk di kursi rotan di ruang tamu. Ia menaikkan kaosnya ke atas.

"Sorotkan sini lampu bateraimu," kata Candi pada Rio,

"Sorotkan kemana?" ulang Rio.

"Ke sini, dadaku!"

"Kau membiarkan aku melihat dadamu?" Rio tak segera menyorotkan lampu baterainya.

"Aku tak perduli. Aku cuma mau kau periksa, bukan pamer dada"

Rio menyorotkan lampu ke dada Candi. Ada guratan-guratan merah pada bagian dada atas.

"Huh, untung tidak terlalu ke bawah," gumam Candi sendiri.

Rio mematikan lampu.

"Aku tahu Wolfgang punya obak gosok pelepas nyeri yang ia bawa dari negerinya. Tunggu di sini, aku pinjam obat gosok itu," kata Rio.

Sebentar kemudian Rio kembali dengan obat gosok itu. Bu Parmi datang dengan sebaskom air panas.

"Bu Parmi bisa tolong mengompres dada Candi. Setelahnya, balurkan obat gosok ini di seputaran dada," pinta Rio pada Bu Parmi. Bu Parmi mengangguk dan minta agar Candi rebahan di kursi panjang itu.

"Aku menunggu di luar," kata Rio.

Candi menggigit bibir. Telaten Bu Parmi menyeka dada Candi dengan lap dan air hangat. Candi memejamkan mata, merekonstruksi wajah penyerangnya. Ingatan ini pasti akan banyak gunanya.

Rio bergabung dengan orang-orang yang masih berkerumum di luar rumah Bu Parmi. Rio menjelaskan keadaan Candi pada Wolfgang.

"Dia gadis yang kelewat berani. Benar-benar kagum aku dibuatnya," tutur Wolfgang.

"Ia nyaris mati konyol dikoyak-koyak belati. Dadanya didorong palang pintu. Mudah-mudahan ia tidak cedera serius," kata Rio, mengais sebatang rokok dari saku jaket dan menyalakannya. Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan. Dari kejauhan terlihat cahaya lampu sepeda motor mendekat. Itu pasti Pak Lurah yang baru saja dijemput seorang Hansip.

Wolfgang mendekati Rio. Ia berbisik perlahan, "Sepertinya kita sendiri harus hati-hati. Mereka gagal menghabisi Candi. Tak lama lagi giliran kita," kata Wolfgang.

Rio menatap Wolfgang. Benar juga. Kapan giliran itu datang?

Rio menghisap rokok dalam-dalam dan menghempaskannya keras-keras. Dia tahu dia harus lebih berjaga-jaga. Giliran itu bisa datang kapan saja.

(bersambung)

catatan :

sirep = bahasa Jawa untuk 'sunyi senyap', 'tak ada suara'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun