Karya : Effendi Sutanja No. 103
Â
Â
KETIKA aku duduk di bangku sekolah menengah, di kelasku ada seorang gadis yang
jelita dan berasal dari keluarga pengusaha angkutan di kotaku.
Aku yang berasal dari keluarga sopir angkot tentu tidak masuk dalam jajaran untuk
menjadi teman apalagi kekasih hati, tetapi pada dasarnya sifatku yang nekad dan
berani setiap berjumpa dengan dia aku selalu menggoda dan anehnya gayung ber-
sambut, dan dia "meladeni" ulahku dengan senyum manisnya yang membuat hatiku
berbunga-bunga, sehingga tiba waktunya aku mengirimkan sepucuk surat melalui
teman sebangkunya dengan harap-harap cemas.
Â
Ketika suratku berbalas, tentu aku tambah "berbesar hati", dan demikianlah kami
saling berkirim surat setiap dua hari sekali dan lama kelamaan aku tidak menggu-
nakan jasa perantara lagi tetapi surat-surat aku kirimkan dalam buku pelajaran
dengan alasan minta tolong dicatatkan mata pelajaran yang tidak sempat aku sa-
lin.
Â
Enam bulan berselang sejak suratku yang pertama berbalas aku memberanikan
diri hari Minggu mengajak dia berjalan-jalan ke Kebun Raya Bogor dan suratku
berbalas dengan catatan yang membuat hatiku berdegub kencang, darahku men
desir-desir, mengapa ? Ya dia membalas suratku dan persis di akhir suratnya dia
menulis dalam bahasa Inggris : "Will You Give Your Lips For Me?"
Â
Tentu aku segera membalasnya, karena aku tidak boleh menyia-nyiakan kesem
patan "emas" ini dan menjawabnya dalam bahasa Indonesia (karena aku tidak
mahir berbahasa Inggris), begini balasan suratku : "Tentu aku bersedia membe
rikan bibirku untukmu nanti di Kebun Raya"
Â
Balasanya membuat kepalaku pening dan lemaslah diriku, karena dia membalas
begini : "Aku hanya iseng menulis kalimat yang aku temui dalam bacaan, selama
ini aku menganggapmu sebagai sahabat dan tidak ada perasaan apa-apa, apalagi
untuk melangkah seperti itu, maafkan aku"
Â
Aku seperti orang bodoh, kalah sebelum berperang, mengapa aku langsung me
nyambut tulisannya tanpa syak wasangka ? Padahal memang menuliskan kata
kata "Aku Cinta Padamu" dalam surat-suratku belum pernah kulakukan.
Mungkin ini pelajaran pertama untukku dalam masa puber remaja, bahwa seo-
rang perempuan susah ditebak hatinya, mulut berkata tidak tetapi dalam hati
siapa yang tahu ? Dan sejak saat itu aku tidak berani memandang wajahnya
yang cantik, karena ternyata aku hanya "bertepuk sebelah tangan" dan mak-
sud hati "memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai"
Â
Saat ini dia menjadi istri seorang bankir yang juga teman sekelas kami tempo
"doeloe". Pernah aku berjumpa dengan gadis itu yang tengah mengendarai mo
bil keluaran terakhir dengan senyum dan sapa ala kadarnya.
Mungkin aku "minder" karena aku hanya seorang sopir angkot penerus usaha
orang tuaku.Â
Â
Â
Ah, memang aku terlalu bersemangat, lupa diri dan merasa bodoh sebagai se
orang laki-laki dan sejak saat itu aku trauma dalam pergaulan, sehingga saat
aku bertemu dengan gadis yang menjadi istriku sekarang, sampai setahun hu-
bungan kami belum pernah aku berani mengungkapkan kata-kata cinta.
Â
Â
Â
Â
(Untuk membaca karya peserta lain, silakan menuju Akun Fiksiana Community
http://www.facebook.com/groups/175201439229892)
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI