Mohon tunggu...
Edbert Yan
Edbert Yan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Menyukai topik seputar olahraga dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

25 Tahun Era Reformasi: Praktik Politik Uang Masih Menghambat Demokratisasi

9 Mei 2023   15:39 Diperbarui: 9 Mei 2023   15:44 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki 25 tahun era reformasi, upaya penerapan dan konsolidasi demokrasi masih terus berlangsung. Keberadaan pemilu yang bebas, adil, dan berkala menjadi salah satu pilar penting dalam proses konsolidasi demokrasi. Namun, sayangnya hal tersebut sering kali ternodai oleh praktik politik uang. Praktik politik uang sendiri masih terus mewarnai dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Pelanggengan terhadap praktik tersebut menjadi suatu masalah yang dapat menghambat proses konsolidasi demokrasi. Hal ini dikarenakan praktik politik uang dapat mendorong berbagai tindakan koruptif para pejabat terpilih di kemudian hari.

Berdasarkan temuan dari Indonesia Corruption Watch (2014), pada Pileg 2014 ditemukan 313 kasus politik uang, berupa pemberian uang 104 kasus, pemberian barang 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara 54 kasus. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding pemilu 2009 yang berjumlah 150 kasus. 

Kemudian, pada Pilkada serentak tahun 2020, Bawaslu menyatakan bahwa terdapat 262 dugaan pelanggaran kasus politik uang yang telah sampai tahap penyidikan (Ardianto, 2020). Fenomena tersebut menunjukan bahwa praktik politik uang kian masif dalam setiap pemilu, baik di tingkat nasional maupun daerah. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa praktik politik uang terus terjadi sedemikian masif? Apa langkah yang perlu dilakukan untuk meminimalisir praktik politik uang?

Faktor Penyebab Maraknya Praktik Uang 

            Secara garis besar, maraknya praktik politik uang di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti sistem pemilu dan kepartaian, masih adanya lubang dalam regulasi dan pengawasan pemilu, serta kurangnya pendidikan politik di masyarakat.

1. Sistem Pemilu dan Kepartaian

Indonesia sendiri menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka. Dengan sistem tersebut, masyarakat/pemilih diberikan kesempatan untuk memilih calon wakilnya sendiri secara langsung, tidak lagi ditentukan oleh partai. Para kandidat bersaing untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Adanya penerapan sistem tersebut berdampak pada  menguatnya personifikasi (candidate-centered) dan menurunnya party-ID. Masyarakat cenderung berfokus pada figur atau ketokohan calon dibandingkan partai politik.

Hal ini terbukti dalam survei yang dilakukan oleh LSI pada pemilu 2014. Pada pemilihan DPR sebanyak 44% responden hanya mencoblos nama caleg saja, dan 27,3% hanya memilih partai saja. Pada tingkat DPRD Provinsi sebanyak 47,5% responden hanya memilih nama caleg saja dan 23,7% hanya memilih partai. Terakhir, di tingkat DPRD Kab/Kota, sebanyak 52,1% responden hanya memilih nama caleg saja dan 16,8% yang memilih partai saja (Muhtadi, 2019). Kondisi tersebut menunjukan bahwa penerapan sistem proporsional terbuka mendorong pemilih untuk memilih berdasarkan kandidat bukan partai.

Party-ID dapat dilihat sebagai suatu ikatan psikologis antara masyarakat dengan partai politik, di mana ia mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu partai politik karena sejalan dengan identitas politiknya sehingga harus terus didukung (Sihidi, dkk, 2019). Party-ID pada dasarnya dapat membantu partai-partai politik agar mampu memperoleh dukungan yang cenderung stabil dan berkelanjutan. Para pemilih yang memiliki party-ID akan lebih sulit untuk diubah atau dipengaruhi agar ia berpindah haluan dari satu partai ke partai lainnya.

Keberadaan party-ID di Indonesia dapat dikatakan rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari survei LSI pada Mei 2019 yang menunjukan hanya 12% pemilih yang memiliki party-ID (Muhtadi, 2019). Rendahnya angka party-ID tersebut menjadi penanda bahwa minimnya kedekatan masyarakat dengan partai politik atau masyarakat tidak lagi merasa partai politik dapat mewakili identitas politiknya.

Kondisi menguatnya candidate-centered dapat mendorong partai politik untuk bersifat lebih pragmatis dan mengesampingkan ideologinya. Partai politik cenderung mementingkan elektabilitas suatu tokoh agar ia dapat dimajukan dalam pemilu. Hasilnya, partai politik akan mengorbankan kadernya yang dinilai kurang populer dan memiliki modal, demi calon non-kader yang lebih populer dari segi elektabilitas dan memiliki modal yang besar.

Hal ini didukung oleh data yang dikeluarkan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (2013), yang mana sebanyak 3212 dari total 6607 (sekitar 48,6%) caleg yang maju di Pemilu 2014 berasal dari non kader dan hanya 33% caleg yang merupakan kader. 

Sebagian besar caleg yang maju (49,1%) juga memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Hal itu tentunya tidak terlepas dari besarnya modal yang diperlukan untuk berkontestasi sehingga pengusaha menjadi salah satu kelompok yang dinilai lebih memiliki modal. Sifat partai yang semakin minim ideologis menyebabkan masyarakat sulit untuk membedakan posisi dari suatu partai sehingga masyarakat tidak dapat atau enggan untuk mengidentifikasikan dirinya dengan partai tertentu.

Tidak adanya stabilitas dukungan dan kondisi mayoritas pemilih yang pragmatis, sebagai floating mass, menyebabkan partai politik memanfaatkan uang sebagai cara atau metode untuk mengambil suara dari floating mass tersebut. Floating mass atau swing voters menjadi sasaran empuk bagi partai atau kandidat peserta pemilu karena dinilai jauh lebih mudah digoyah dan dipengaruhi dalam menentukan pilihan.

Berdasarkan data survei yang disampaikan Muhtadi (2018), bahwa setelah pemilu 2014, 33% pemilih pernah ditawari suap, atau sekitar 62 juta orang dari total 187 juta pemilih. Hal itu juga menempatkan Indonesia pada posisi ketiga negara-negara yang melakukan praktik jual beli suara di dunia, di bawah Uganda dan Benin. Hal itu menunjukan bahwa politik uang menjadi salah satu strategi yang banyak dimanfaatkan peserta pemilu untuk memperoleh suara. Apalagi, diterapkannya sistem multipartai juga menyebabkan semakin ketatnya tingkat persaingan antarpartai sehingga menuntut partai untuk memberikan nilai tambah bagi pemilihnya.      

Diterapkannya sistem proporsional terbuka juga menyebabkan semakin ketatnya persaingan antar calon karena ia tidak hanya bersaing dengan calon dari partai lainnya, tetapi juga dari partainya sendiri. Tingkat persaingan yang ketat tersebut juga akan mendorong para calon untuk memanfaatkan politik uang agar peluang keterpilihan mereka lebih besar.

Menurut Aspinal (2019), operasi “serangan fajar” sebagai salah satu bentuk politik uang ampuh dalam memobilisasi suara. Sekitar 60-80% pemilih memberikan suaranya pada kandidat DPRD yang memberi uang atau barang kepada mereka. Selain itu, sebanyak 40-60% pemilih mengizinkan suara mereka ditukar dengan uang atau barang dalam pemilihan kepala daerah.

Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun oleh Muhtadi (2018), praktik jual beli suara memiliki pengaruh yang tergolong rendah sekitar 11% dari total hasil suara. Tetapi, dengan rata-rata margin kemenangan seorang calon yang lolos dengan tidak hanya 1,65%, maka tidak mengherankan mengapa praktik jual beli suara masih digunakan para calon untuk memenangkan mereka.

2. Masih Terdapat Lubang Dalam Regulasi dan Pengawasan Pemilu 

Keberadaan UU No. 10 Tahun 2016 dan UU No. 7 Tahun 2017 pada dasarnya telah memberikan ruang yang lebih luas dalam upaya pengawasan praktik politik uang. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki dalam regulasi dan pengawasan pemilu. Misalnya, dalam UU No 7 tahun 2017, pada pasal 93 ayat (d) dikatakan bahwa kewenangan Bawaslu terbatas pada tahap pencalonan sampai dengan penetapan calon. Artinya segala tindakan politik uang sebelum tahap pencalonan bukan kewenangan dari Bawaslu. 

Padahal, praktik politik uang seperti mahar politik dalam tahap pencarian rekomendasi partai merupakan hal yang marak terjadi. Bawaslu sendiri mengakui sulit untuk menindak tegas politik uang jelang Pilkada 2020 karena dibatasi oleh Undang-Undang yang mengatur. Padahal banyak calon kepala daerah (terutama calon incumbent/ petahana) dari berbagai wilayah yang melakukan penyelewengan wewenang seperti melalui bansos yang dibungkus dengan label kepala daerahnya, logo, jargon politik, dan sebagainya yang mengatasnamakan pribadinya (Nua, 2020).

Dari segi pengawasan, pada pasal 486 UU No 17 Tahun 2017 dikatakan bahwa untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk Gakkumdu. Penyidik berasal dari kepolisian, sementara penuntut berasal dari kejaksaan. Namun, keberadaan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) justru dinilai dapat menghambat atau memperlambat proses penindakan serta membatasi keleluasaan Bawaslu. 

Menurut anggota KPU, I Dewa Kade Rak Sandi, seringkali tindak pidana pemilu sudah terhenti di tahap penyelidikan. Misalnya dalam kasus caleg yang tidak ada penerimaan dan pengeluaran dalam LPPDKnya. Saat KPU telah melakukan upaya klarifikasi seharusnya kepolisian dan jaksa menindaklanjuti kasus tersebut, namun yang terjadi justru kepolisian dan jaksa menyatakan tidak ada unsur pidana (Adilah, 2020). Hal itu justru membingungkan mengingat hampir tidak mungkin ada calon yang tidak mengeluarkan biaya kampanye sama sekali. 

Selain itu, misalnya pada 2020, Bawaslu mengungkapkan dari 3.814 dugaan pelanggaran pilkada, baru 112 kasus yang sudah masuk tahap penyidikan (Hendru, 2020). Hal itu menunjukan lambatnya penanganan laporan tindak pelanggaran pemilu.  

3. Masih Rendahnya Kesadaran Masyarakat

Terakhir, salah satu penyebab maraknya politik uang adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk dari politik uang. Masyarakat masih cenderung permisif terhadap praktik politik uang.

Hal itu bisa dilihat dari  survei yang dilakukan oleh Charta Politika, dari dua ribu responden pada 19-25 Maret 2019, sebanyak 45,6% masyarakat masih menganggap wajar dan dapat memaklumi praktik politik uang. Sementara, 39,1% berpendapat politik uang salah dan tidak dapat dimaklumi dan sebanyak 15,4% tidak menjawab (Octaviyani, 2019). Sebelumnya, Founding Father House (FFH) juga pernah melakukan riset pada kurun waktu 2010-2016 yang menunjukan tingkat permisif masyarakat pada politik uang berada di kisaran 50-60% (Sihidi, dkk, 2019).

Perilaku masyarakat yang cenderung permisif dan pragmatis dapat dipengaruhi oleh sikap pesimisme dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (politik secara keseluruhan). Kalimat “mau siapapun pemimpinnya, kita mah begini-begini saja” tentunya tidak asing di telinga kita. Hal itu menunjukan pesimisme masyarakat terhadap perubahan yang ada.

Oleh karena itu, mereka lebih mementingkan hasil nyata atau dampak langsung secara jangka pendek yang bisa bermanfaat bagi mereka, salah satunya pemberian uang atau barang. Belum lagi, banyaknya kondisi ekonomi masyarakat yang belum memadai menyebabkan masyarakat akan semakin tergoda dengan praktik politik uang.

Langkah yang Perlu Dilakukan

Partai politik perlu melakukan reformasi atau memperbaiki diri agar dapat meningkatkan kinerjanya sehingga kepercayaan masyarakat terhadap partai politik juga dapat meningkat. Peran rekrutmen dan kaderisasi partai politik juga harus dijalankan dengan standar yang jelas serta mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Melalui program kaderisasi dan rekrutmen yang baik, partai politik dapat meningkatkan kompetensi dari calon peserta pemilu yang diusungnya agar mampu menghasilkan calon yang memiliki ideologi, visi, misi, dan program kerja yang jelas sehingga dalam berkampanye para kandidat dapat menjual gagasan dan program kerja masing-masing, bukan malah menggunakan uang sebagai nilai jual.

Partai politik juga harus melakukan rekrutmen (penyeleksian calon peserta pemilu) secara transparan dan akuntabilitas. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik mahar politik yang melanggar nilai-nilai demokrasi dan membuat biaya politik semakin mahal. Selain itu, juga berdampak pada terpilihnya kandidat-kandidat terbaik dan kompeten, bukan hanya berdasarkan kedekatan atau sumber daya material yang dimiliki.

Selain itu, partai politik juga harus lebih berani dalam menunjukan ideologi, posisi, serta kebijakan yang dipegang agar masyarakat dapat melihat dengan jelas sikap dari suatu partai politik. Dengan begitu, masyarakat dapat menilai dan mengidentifikasikan diri dengan partai politik yang dinilai sejalan dengan identitas politiknya sehingga party-ID dari masyarakat dapat meningkat. 

Meningkatnya party-ID akan membuat partai politik memiliki dukungan yang lebih stabil sehingga diharapkan biaya politik dapat lebih kecil karena partai politik tidak perlu mengeluarkan dana ekstra untuk menarik dukungan. Party-ID yang semakin menguat dapat berdampak pada sikap atau perilaku masyarakat dari floating mass yang bersifat transaksional menjadi loyalis partai.

Selanjutnya, juga diperlukan adanya evaluasi dan perbaikan regulasi terkait pelaksanaan pemilu. Misalnya terkait keberadaan Gakkumdu yang justru dapat menghambat proses penindakan tindak pidana pemilu. Keberadaan Gakkumdu justru dapat memperpanjang birokrasi dan memungkinkan terjadinya konflik ego sektoral antara lembaga tersebut. Oleh karena itu, akan lebih efektif apabila Bawaslu diberikan keleluasaan dan kewenangan lebih untuk menangani penyelidikan hingga penuntutan dalam proses penanganan tindak pelanggaran pemilu.

Terkait dengan peningkatan pengawasan, diperlukan penyediaan posko atau media pelaporan tindak kecurangan atau pelanggaran pemilu yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dengan dimudahkannya cara dan proses pelaporan diharapkan akan mendorong masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dalam memberantas praktik kecurangan dan pelanggaran pemilu.

Kemudian, juga perlu ditambahkan aturan yang jelas terkait sanksi bagi penerima imbalan (politik uang). Hal tersebut perlu dilakukan agar adanya efek jera bagi penerima politik uang sehingga diharapkan masyarakat enggan untuk menerima politik uang.

Selain itu, penguatan regulasi juga dapat dilakukan dengan memberikan sanksi tegas bagi partai politik ataupun calon peserta pemilu. Misalnya berupa larangan untuk mengajukan calon pada periode berikutnya serta sanksi berupa pembatalan penetapan calon terpilih atau pemimpin yang telah dilantik apabila terbukti melakukan praktik politik uang atau tindak kecurangan pemilu lainnya. Dengan begitu, pada kandidat maupun partai politik akan berpikir dua kali dalam melakukan kecurangan mengingat ia dapat merasakan dampaknya secara langsung walaupun sudah terpilih dan dilantik. 

Selanjutnya, diperlukan aturan yang lebih ketat dalam membatasi pengeluaran kampanye peserta pemilu. Menurut data yang dikeluarkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), rata-rata pengeluaran caleg DPR untuk kampanye sebesar Rp787 juta - Rp4,6 miliar agar ia dapat menduduki kursi legislatif. 

Sementara, untuk caleg DPRD mengeluarkan biaya sebesar Rp320 juta - Rp1,55 miliar (Ramadhan, 2014). Sejalan dengan itu, Litbang Kemendagri (2018) juga menyatakan biaya rata-rata yang dikeluarkan caleg DPR RI sebesar Rp1-2 miliar, caleg DPRD Provinsi sebesar Rp500 juta- Rp1 miliar, dan DPRD kabupaten/kota: Rp250-300 juta.

Oleh karena itu, diperlukan adanya pembatasan dana kampanye agar dapat mencegah dominasi partai atau calon tertentu yang memiliki sumber daya yang besar sehingga persaingan yang tercipta lebih adil. Selain itu, pembatasan dana kampanye juga dapat mencegah peserta pemilu untuk mengeluarkan uang secara berlebihan sehingga diharapkan biaya politik tidak semakin meninggi.

Terakhir, salah satu upaya yang tak kalah penting adalah pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan politik kepada masyarakat menjadi hal yang penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait dampak buruk dari praktik politik uang. Hal ini menjadi penting mengingat masih cenderung permisifnya pemilih di Indonesia terhadap praktik politik uang. Banyak masyarakat yang masih menilai politik uang sebagai suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Padahal politik uang memiliki dampak yang negatif bagi pemerintahan dan kehidupan kita, seperti maraknya kasus korupsi dan minimnya kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Maka dari itu, diperlukan sinergi baik dari partai politik, masyarakat sipil (LSM, NGO, mahasiswa), dan lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) untuk melakukan pendidikan kepada masyarakat terkait dampak negatif dari politik uang dan sosialisasi terkait bentuk-bentuk pelanggaran, mekanisme pelaporan, serta aturan atau sanksi yang dapat menjerat penerima politik uang. Dengan begitu, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami dan bertindak lebih bijak dalam memanfaatkan hak pilihnya, serta dapat membantu menegakan keadilan pemilu di Indonesia.

Beberapa faktor yang disebutkan sebelumnya hanya sebagian dari penyebab masifnya praktik politik uang di Indonesia. Maraknya praktik politik uang yang dapat menghambat dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi menjadi suatu masalah yang perlu diselesaikan sesegera mungkin agar terciptanya pemilu dan pemerintahan yang lebih demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aspinal, Edward. (2019). Democracy For Sale: Pemilihan Umum. Klientelisme, dan Negara di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Jurnal

Muhtadi, Burhanuddin. (2019). Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru. Jurnal Antikorupsi Integritas, Vol 5(1), hal 55-74.

Sihidi, Iradhad T, dkk. (2019). Relasi Politik Uang dan Party-ID di Indonesia. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol 5(2), hal 204-220.

Internet

Adilah, Rifa Y. (2020). Pakar Sebut Sentra Gakkumdu Hambat Penyidikan Tindak Pidana Pemilu. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/pakar-sebut-sentra-gakkumdu-hambat-penyidikan-tindak-pidana-pemilu.html pada 4 Juni 2022.

Ardianto, Robi.  (2020)Partisipasi Masyarakat Tinggi, Dari 262 Kasus Politik Uang 197 Laporan Masyarakat. Diakses dari  https://www.bawaslu.go.id/id/berita/partisipasi-masyarakat-tinggi-dari-262-kasus-politik-uang-197-laporan-masyarakat pada 4 Juni 2022.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia. (2013). Anatomi Caleg Pemilu 2014. Diakses dari https://parlemenindonesia.org/wp-content/uploads/2014/02/ANATOMI-CALEG-PEMILU-2014.pdf pada 4 Juni 2022.

Hendru. (2020). Dari 3.814 Dugaan Pelanggaran Pilkada, 112 Dugaan Tindak Pidana Masuk Tahap Penyidikan. Diakses dari https://bawaslu.go.id/id/berita/dari-3814-dugaan-pelanggaran-pilkada-112-dugaan-tindak-pidana-masuk-tahap-penyidikan pada 4 Juni 2022.

Indonesia Corruption Watch. (2014). 313 Kasus Politik Uang Ditemukan dalam Pileg 2014. Diakses dari https://antikorupsi.org/id/article/313-kasus-politik-uang-ditemukan-dalam-pileg-2014 pada 4 Juni 2022.

Litbang Kemendagri. (2018). Biaya yang Dikeluarkan untuk Nyaleg Menurut Riset. Diakses dari https://litbang.kemendagri.go.id/website/biaya-yang-dikeluarkan-untuk-nyaleg-menurut-riset/ pada 4 Juni 2022.

Muhtadi, Burhanuddin. (2018). Riset Tunjukkan Sepertiga Pemilih Indonesia Terima Suap Saat Pemilu. Diakses dari https://theconversation.com/riset-tunjukkan-sepertiga-pemilih-indonesia-terima-suap-saat-pemilu-100317 pada 4 Juni 2022.

Nua, Faustinus. (2020). Dibatasi Regulasi, Bawaslu Sulit Menindak Politik Uang. Diakses dari https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/310384/dibatasi-regulasi-bawaslu-sulit-menindak-politik-uang pada 4 Juni 2022.

Octaviyani, Putri R. (2019). Politik Uang Masih Dianggap Wajar. Diakses dari  https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/227551/politik-uang-masih-dianggap-wajar pada 4 Juni 2022.

Ramadhan, Bilal. (2014). Hasil Riset, Ini Jumlah Rata-Rata Dana Kampanye Caleg DPR. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/n2o11c/hasil-riset-ini-jumlah-ratarata-dana-kampanye-caleg-dpr pada 4 Juni 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun