Kudengar tepukan keras. Telat. Kulihat Zal sudah memegangi pipi kanannya sambil meringis menahan panas akibat pendaratan mulus tangan kekar di sisi wajahnya. Dan aku hanya bisa terkesima.
Rupanya Zal pun sudah tahu kalau itu adalah tangan Abang ojek yang mangkal di dekat Nur jualan. Dengar dengar dari bisikan para tukang ojek, abang kekar itu saingannya Zal yang juga berhasrat mendekati Nur.Â
Dari bodynya saja, terus terang, Zal kalah jauh. Sejauh tingginya langit di angkasa. Nggak bisa disandingkan. Jauh beda. Apalagi dari segi usia, Zal terlalu tua. Tak pantas bersaing dengannya.
Banyak rasa yang sudah bercampur di benak Zal. Kecewa? iya. Marah? juga ada. Jengkel? pastilah. Takut? iya juga. Malu? sudah pastilah. Kulihat wajah merah padamnya Zal karena seruan ramai dari para tukang ojek di pangkalan itu.
"Laksonoooo! Ayo kita pulang." Zal setengah berteriak mengajakku dan menarik tanganku lalu berjalan tergesa gesa meninggalkan tempat itu.Â
Langkah kaki tuaku pun tergopoh gopoh untuk yang kesekian kalinya. Malu juga rasanya. Setiap berada di dekat Nur pasti ada musibah yang melanda. Dan batinku pun berkata, "Duh, aku mati rasa."
Salam hangat salam literasi
Love and peace
EcyEcy; Benuo Taka, 21 Juli 2019.