Rupanya kejadian kemarin tak juga membuat kawan lamaku jera. Betapa puber keduanya memberikan motivasi tersendiri baginya untuk lebih baik dan lebih baik lagi di hari hari berikutnya.Â
Sempat ketahuan sang istri tercinta, Zal dikurung beberapa hari di rumah. Tak boleh menginjakkan kakinya ke tanah. Bukan karena telinganya sakit karena jeweran maut istrinya, tapi lebih pada meredam amarah sang istri yang membara.
"Awas, ya! Kalau sampai turun tanah, kukutuk kau menjadi ikan asin di dunia," ucap Kurniati murka sambil mengunyah ikan asin di menu sarapan pagi mereka.
Zal hanya bisa mengurung diri di kamarnya saja. Kalau lihat tanah, dia jadi teringat kutukan maut istrinya. Pantang baginya melanggar karena doa orang teraniyaya katanya sangatlah manjur tuk dikabulkan Tuhan. Jadi untuk sementara ini,Â
Zal tak berangkat kerja. Dalam surat izinnya, dia bilang sakit. Tapi ketika aku jenguk ke rumahnya, Zal segar bugar. Hanya telinganya saja yang sedikit sakit habis mendengar ceramah instan istrinya.
Setelah sebulan lebih Zal tak lagi pergi ke luar rumah, kecuali jika berangkat kerja, Â wajah maut istrinya pun sirna. Hati Zal mulai merasa lega. Sang istri tak lagi teriak teriak marah kalau melihat Zal turun ke tanah.Â
Bahkan sang istri senang melihat Zal kangen kangenan mesra dengan ayam ayam di kandangnya yang memang sudah lama tak pernah ditengoknya. Merasa sudah berada di zona aman, akal bulusnya kawanku ini mulai merajalela.
"Lak, besok pagi kita olah raga di taman kota, ya!" Zal menelponku tengah malam agar tak ketahuan istrinya yang sudah lelap mendengkur dipelupuk malam minggu.
"Istrimu nggak marah?"
"Nggak. Kutukan itu sudah dicabutnya setelah kemarin kuberi dia sekilo ikan asin Telang kesukaannya yang kupesan dari keluargamu di Banjar itu."