Mohon tunggu...
Dyana Ulfach
Dyana Ulfach Mohon Tunggu... -

pelajar di SMK N 11 Semarang, Hobi menulis, suka kebebasan, musik, menyukai semua yang berhubungan dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Ibu

14 Januari 2019   15:23 Diperbarui: 14 Januari 2019   15:25 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pak Soleh, Bapak mboten mangkal."

Hanya itu yang bisa aku ucapkan ke Pak Soleh yang menghadangku di dekat pintu utama. Aku hanya memegang tangan kanannya sejenak, lalu ku teruskan masuk kerumah menemui jasad Ibu yang ternyata sedang dimandikan di samping rumah. Aku melihat jasad Ibu dimandikan dari jendela tengah. Tubuhku lemas, air mataku meronta meminta keluar dari sarangnya.

"Ibuuu."

Teriakanku cukup membuat beberapa orang kaget. Bu Hajah Sulis mendekatiku dan merangkulku. Membawaku duduk di kursi kesayangan Ibu dan mencoba menenangkanku. Bu Hajah meminta mbak Prapti mengambilkan air putih untukku. Tangisku makin menjadi-jadi. Bu Hajah mengelus-elus rambutku. Diluar sana mulai dipasang tratak. Tapi Bapak tak juga datang.

"Sudah nggak usah nangis, kasian ibumu, le. Pak Soleh sama mas Parjo lagi nyari bapakmu. Kamu disini saja sama Ibu ya."

Tangisku mereda setelah minum air hangat dari mbak Prapti. Terlebih karena dekapan Bu Hajah yang hangat. Jasad Ibu dibawa masuk kembali dan perlahan Ibu dibungkus dengan kain putih. Beberapa balutan kain yang membuat tubuh kurus ibuku menjadi sedikit lebih berisi.

Bu Hajah masih mengelus-elus rambutku. Aku terdiam dalam pangkuannya saat melihat Ibu tak berkutik lagi di lantai. Badannya mulai ditutup kain batik, Bu Hajah terus mengelus-elusku dan menenangkanku. Entah dia sadar atau tidak kalau air mataku masih saja meluncur dengan deras. Tapi mulutku bungkam.

Setiap aku melihat Ibu, memori kebersamaanku dengannya muncul. Ketika kali pertama aku menginjakkan kaki di bangku sekolah, Ibu mengantarkanku dan melepasku dengan senyuman terindahnya, menungguiku di depan kelas sampai kelas usai. Ibu, sosok yang tak pernah marah ketika aku bermain sampai sore dengan basah kuyup karena hujan, bahkan Ibu selalu mengajakku bermain hujan bersama di depan rumah. Selepas bermain hujan, aku dimandikannya dengan air hangat. Segelas susu cokelat hangat siap aku minum usai ganti baju. Ibu yang selalu bertanya minta dimasakkan apa setiap harinya. Ibu yang menjadi penyemangat hidupku, menjadi alasan kenapa aku hidup dan masih bernafas hari ini.

Ketika semua memori bersama Ibu datang menghampiriku, saat itu pula ingatanku tentang bapak yang tak kunjung datang pun kembali hadir. Perasaanku tak karuan. Sedih melihat keadaan Ibu, dan marah karena Bapak yang minggat entah kemana.

Perlahan, alunan yasin menggema di ruang tamu. Aku masih duduk di pangkuan Bu Hajah. Aromanya seperti nenekku yang sudah pergi ke surga setahun yang lalu. Dan kini ibuku menyusulnya. Kepalaku semakin berat. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi di rumah sederhana ini.

Mataku sulit sekali terbuka, bekas air mata yang sempat membasahi pipiku sudah mengering. Gelap sekali kamar berukuran 3x4 meter ini. Perlahan aku benarkan kembali pandanganku setelah aku sadar bahwa aku sedang bangun dari tidurku. Ingatanku kembali pada Ibu. Aku buka tirai penutup pintu kamar. Bukan Ibu lagi yang aku temukan di ruang tamu. Melainkan beberapa Ibu-ibu yang berkumpul membacakan yasin. Seperti tadi siang. Tapi kali ini tanpa jasad ibuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun