"Tio sekarang sudah besar, ya."
 Ucap Ibu sambil megelus-elus pipiku yang tirus ini. Aku duduk disamping kasur Ibu, melihat Ibu yang berbaring di kasur dengan rasa sakit yang sedang dia sembunyikan dalam senyuman hangatnya.
"Ibu kenapa?"
Selama ini memang aku dekat dengan Ibu, tapi aku merasa perlakuan Ibu kali ini terlihat aneh. Tatapan matanya penuh dengan hal-hal ajaib yang dia sembunyikan pula. Ibu memang berbakat menyembunyikan sesuatu.
"Ibu tidak apa. Ibu senang lihat Tio tumbuh jadi laki-laki yang tampan."
"Bu, sebenarnya Ibu sakit apa?" tanyaku penasaran.
"Tio anakku, Ibu tak apa, sebentar lagi sakit ini juga akan hilang. Tio tenang saja. Yang Tio perlu lakukan hanya belajar yang betul. Buat bangga Ibu dan Bapak ya."
Benar saja yang Ibu katakan, rasa sakit yang dia alami selama ini memang akan hilang. Hilang bersama jiwa Ibu yang meninggalkan raganya. Hilang seperti aku kehilangan sosok terindah dalam hidupku. Hilang seperti aku kehilangan arah dan kehilangan pundak untuk bersandar.
Bahkan, di saat-saat genting seperti ini, Bapak tidak dirumah. Entah bagaimana cara dia menghidupi keluarga dengan "banting tulang"-nya ini. Tapi Ibu tetap sabar, Ibu tak pernah menuntut Bapak. Bahkan, kopi pahit kesayangan Bapak selalu dihidangkan Ibu dengan tulus untuknya setelah dia pulang kerja.
Tak ada handphone saat itu, aku harus berlari menemui Bapak di pangkalan ojek tempat biasa Bapak mangkal untuk mengabarkan berita duka ini kepadanya. Tapi dia tidak ada disana. Kata temannya, Bapak  tidak berangkat mangkal pada hari itu. Padahal tadi pagi Bapak  mengantarku ke sekolah lalu pergi untuk mangkal. Kebohongan seperti apa lagi yang bapakku buat?
Aku berlari sekencang mungkin untuk kembali kerumah, di rumah sudah banyak orang, Pak RT, Bu Haji, Pak Soleh guru SD ku, dan beberapa tetangga lain yang memadati rumahku. Aku berlari tanpa sadar sandal swallowku lepas satu.