Mohon tunggu...
Dwi Widowati
Dwi Widowati Mohon Tunggu... Guru - Pendidik di SMPN 2 Losari Cirebon

Long life education

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bidadari Bersepeda Butut

22 September 2022   20:11 Diperbarui: 22 September 2022   20:27 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Go isun bawange!!!”, teriak seorang perempuan separuh baya.

“Aja rebutan, tenang ...kabeh gen kebagian!”, balas seorang lelaki berkulit legam dari atas truk pengangkut bawang merah.  Terdengar suara riuh para ibu tengah berebutan beberapa karung yang berisi bawang merah, hanya beberapa saat setelah sebuah truk yang mengangkutnya berhenti di depan halaman rumah besar milik bu haji Warniah, seorang juragan bawang. 

Mereka adalah para pengupas kulit bawang yang biasa disebut dengan pembutik. Tubuh Eli yang kecil pun ikut terdorong ke sana kemari di tengah luapan gairah para pengais rejeki itu. Bau keringat yang menyengat membaur jadi satu dan  membuatnya mual. 

Meski ia sudah terbiasa dengan situasi demikian, namun hidung dan perutnya belum juga mau berkompromi.Tapi sedikit pun ia tak menghiraukan kemanjaan yang ditunjukkan oleh organ tubuhnya itu, ia tetap semangat 45 ikut berjuang bersama pembutik yang lain. 

Akhirnya perjuangannya tidak sia-sia, karena ia berhasil menarik sekarung besar bawang merah. Senyum lebar pun terkembang di wajah manis milik Eli. Dia mengusap peluh yang mengalir di kening dengan ujung jilbabnya. 

Duduk berkelompok dengan tiga ibu yang lain, dia pun langsung bekerja dengan sigap. Sebuah gunting terselip di antara jemari mungilnya yang lincah memotong dan membuang kulit terluar bawang merah. 

Pekerjaan membutik atau masyarakat lebih suka menyebutnya dengan istilah mbrondol itu merupakan pekerjaan sampingan bagi sebagian besar ibu rumah tangga di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Maklum saja daerah tersebut merupakan salah satu penghasil bawang merah terbanyak di Jawa Barat.

*****

Tidak terasa hari hampir senja. Sudah hampir 3 jam bekerja, Eli pun memutuskan untuk pulang.

“Alhamdulillah upahku hari ini lumayan, dua puluh ribu rupiah. Pasti ibu merasa senang”, kata Eli dalam hati. Setelah menyimpan uangnya di saku roknya, Eli berjalan menuju pojok halaman untuk mengambil sepedanya. Walaupun butut, tapi sepeda tuanya amat berjasa mengantarnya ke sekolah dan mencari rejeki seperti saat ini.

BRAAAAKK !!! Eli terjatuh dari sepeda tuanya. Sebuah sepeda motor yang tak sengaja menyenggolnya berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya seorang gadis, memandangnya tanpa berkedip. Kedua bola matanya membulat.

“Eli, itu kamu? Ngapain kamu di rumah uwaku? Ooh..aku tahu, rupanya kamu

abis mbrondol bawang ya?” Ucap Anita beruntun dalam  satu tarikan nafas. Anita  anak orang kaya sombong yang akan menindas siapa saja anak miskin yang dikenalnya. Eli  bungkam tak mampu menjawab, karena semua perkataan Anita adalah fakta “Baiklah, maaf, ya, aku menabrakmu emang disengaja sih. Maklum motor baru, biar kamu kenal” Antita pun tertawa sinis, sambil melenggang pergi.  Eli dengan susah payah mencoba berdiri. Kaki kirinya terasa perih, ternyata ada luka di lututnya. Mengingat sang ibu tengah menunggu di rumah, Eli pun segera menaiki sepedanya pulang.

Dia mengayuh sepeda dengan perlahan, tertahan oleh rasa perih yang hinggap di lututnya. Tiba-tiba suara sumbang mirip bunyi kodok terdengar dari dalam perutnya.

“Aduh, perutku sudah protes nih!” ujarnya.

Tangan kirinya menekan perut, berusaha mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Tapi Eli adalah gadis yang tabah. Dia sudah terbiasa bergelut dengan rasa sakit. Sejak kecil dia sudah ditinggal oleh ayahnya yang telah terlebih dahulu menghadap-Nya. Kini dia tinggal berdua saja dengan ibunya di sebuah gubuk kecil yang sudah tak layak untuk ditempati.  Ibu Eli adalah seorang wanita tua yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Untuk memenuhi kebutuhan, ibu berjualan rujak di depan gubuk mereka. Meski hidup dalam kesederhanaan, namun Eli merasa cukup berbahagia.

Dalam urusan sekolah, Eli hanya mengandalkan sekolah gratis dari pemerintah dan dalam hal buku pelajaran dia harus rela tidak jajan untuk mendapatkannya. Terkadang, dia merasa iba menyaksikan ibu yang rela membanting tulang untuk menafkahinya.

“Bu, mendingan Eli nggak usah sekolah saja ya? Biar ibu nggak usah pusing mikirin kebutuhan sekolah”, pinta Eli tiga hari yang lalu.

“Apa? Sekali lagi kamu minta seperti itu lagi ibu akan marah besar. Kamu

 harus terus sekolah Nak, sampai tercapai apa yang kamu cita-citakan. Cukup

 ibu saja yang merasakan hidup susah karena dulu ibu tidak pernah sekolah.” Tatapan duka ibu bagai sembilu yang menikam jantung Eli. Sungguh dia tak kuasa melihat wajah ibu berkabut.

Sejak itu Eli pun tersadar. Takkan pernah lagi dia mempermasalahkan pendidikannya. Justru kesulitan yang dihadapinya ia jadikan cambuk untuk memacu semangat belajar. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Eli bertekad untuk terus belajar demi ibu, hanya demi ibunya.

****

“Ibu, ini uang hasil membutik hari ini”

Diserahkannya hasil keringat Eli kepada ibunya. Dia langsung menuju ke dapur. Sebuah ruangan yang terletak di belakang rumah, berbilik bambu dan hanya beralaskan tanah liat. Dia menyendok nasi dari atas dandang yang masih bertengger di atas pawon. Diraihnya seiris ikan asin jambal dari atas piring seng. Eli pun makan dengan lahap di sisi ibunya yang tengah menjahit rok seragamnya yang robek.

“Nok, lututmu kenapa kok luka?” Pandangan ibu tertuju ke arah lututnya. Padahal Eli sudah berusaha menutupinya tapi firasat seorang ibu terlalu kuat.

“Eh, ini tidak apa-apa ko Bu. Tadi Eli terjatuh dari sepeda karena terburu-

buru. Maklum perut sudah keroncongan.”

Sebuah kebohongan terpaksa ia ciptakan demi menjaga perasaan ibu. Senyum tersungging di bibir Eli untuk mengurangi rasa khawatir ibunya.

“Ibu obati dengan daun binahong supaya tidak infeksi.”

Kemudian ibu bergegas mengambil beberapa helai daun binahong yang merembet di pagar bambu rumah mereka. Daun itu mengandung zat antiseptik yang mampu menyembuhkan luka. Binahong yang telah dihancurkan itu lalu ditempelkan di atas luka anaknya. Cess.. terasa sejuk ketika daun itu menempel di kulitnya. Sesejuk hati Eli yang merasakan kasih sayang ibu begitu besar kepadanya.

****

Pagi datang terlalu cepat. Eli gelisah memikirkan perundungan yang akan dia dapatkan dari Anita dan ganknya. Pasti mereka akan menghinaku setelah tahu pekerjaanku setiap sore. Tidak seperti biasanya hari itu Eli mencuci piring dengan lamban. Dia berharap ibu membolehkannya tidak masuk sekolah hari ini dengan alasan terlambat. Dia sengaja mengulur-ulur waktu.

“Nok, sudah tinggalkan saja cuciannya. Biar ibu saja nanti yang mencuci

 piring. Sekarang lebih baik kamu segera mandi dan bersiap ke sekolah. Hari

 sudah mulai siang!” Seru ibu seakan memahami isi hati anak semata wayangnya itu.

Dengan berat hati dia pun bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sebuah tas kumal diraihnya dari meja. Tas itu sudah setia menemaninya belajar sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ibu belum mampu membelikannya tas yang baru. Tapi Eli tidak pernah mempermasalahkannya. Eli mengeluarkan sepeda dan mulai mengayuhnya dengan semangat pagi.

****

Tatapan aneh dan senyuman mengejek warga sekolah menyambutnya. Apa yang dikhawatirkan Eli kini terjadi. Eli merasa tersiksa dengan keadaan seperti saat ini. Dengan kepala tertunduk dia menyusuri halaman sekolah menuju kelasnya yang terletak jauh di dalam gedung sekolah.

“Hai, pembrondol bawang!”

Sapa seseorang di sambut gelak tawa orang-orang di sekitar.

“Awas tutup hidungnya, bau bawang!”

Wajah Eli bersemu merah, dengan cepat kakinya melangkah menemui tempat duduknya di pojok paling depan. Kesabarannya harus dilatih sebelum Ibu Dwi guru Bahasa Indonesia datang untuk menghentikan suara gaduh yang membuat telinganya panas. Dan, hal itu berlangsung cukup lama menjelang bel masuk yang akan berbunyi lima belas menit lagi.

****

Begitulah, sejak saat itu Eli terkenal dengan julukan gadis pembrondol. Awalnya Eli merasa jengah, namun lama-kelamaan dia tidak perduli. Ia menganggapnya itu sebagai angin lalu saja. Ketegaran yang dimiliki oleh ibunya telah menurun padanya.

****

            Siang itu matahari bersembunyi di balik awan hitam. Udara sejuk berhembus. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Sekolah telah usai. Eli bergegas mengayuh sepedanya, ingin segera sampai di rumah. Dia tidak mau kehujanan, selain juga karena perutnya sudah lapar dari tadi. Sepiring rujak kangkung bumbu petis buatan ibunya yang super lezat sudah menari-nari di pelupuk matanya. Dia menahan agar air liurnya tidak menetes.

BRAAKKKK !!!!

Sebuah sepeda motor yang melaju kencang di depannya tiba-tiba slip dan terjatuh.

Pengendaranya tidak sadarkan diri. Kepalanya menghantam aspal yang keras, karena dia tidak mengenakan helm. Bergegas Eli menghampirinya.

“A..a..a..Anita?!”

Betapa terkejutnya ketika melihat wajah korban itu, ternyata dia adalah si sombong. Darah segar merembes di antara helai rambut Anita. Tanpa berpikir panjang, Eli segera mencari bantuan. Dipanggilnya tukang becak yang sedang mangkal tak jauh dari lokasi kejadian. Tubuh Anita segera diangkut dengan kendaraan beroda tiga itu menuju puskesmas.

****

Para tim medis bergerak cepat menolong Anita. Luka terparah ada di bagian kepalanya, mereka membuat lima jahitan di sana. Untungnya tidak sampai gegar otak. Anita masih belum siuman dan berada di ruang perawatan. Eli dengan setia menjaganya, duduk di samping ranjang pasien. Mulutnya tak henti memanjatkan doa untuk kesembuhan Anita. Tiba-tiba pintu terbuka. Masuklah sepasang suami isteri dengan tergopoh-gopoh.

            “Anita anakkuuu..!!!” Tangis ibu Anita pun pecah. Sementara ayah Anita pun tidak kalah sedihnya. Kedua orang itu terlihat amat kalut dan panik. Beberapa saat suasana seperti dalam sinetron. Eli menggigit bibirnya, menahan tangis agar tidak ikut tumpah. Tiba-tiba, “Mama....papa...” terdengar suara Anita. Meski terdengar lirih karena masih sangat lemah namun mampu membuat semua orang yang hadir di ruangan itu terkejut, Anita siuman !

            Betapa gembiranya mereka, terlebih mama dan papa Anita. Mereka memeluk anak kesayangannya bergantian. Perlahan ingatan Anita kembali pulih. Dia ingat ketika itu dia agak ngebut, tiba-tiba motornya terpeleset dan.....

“Ma, siapa telah yang menolongku?”

Anita baru menyadari bahwa seseorang telah menolongnya pada saat yang tepat. Jika tidak, mungkin nyawanya tidak akan terselamatkan lagi.

“Dia yang telah menyelamatkanmu, sayang.”

Mama menengok ke arah Eli. Dipeluknya Eli dengan hangat, “Terima kasih banyak, Nak.”

“E..e..Eli?!” ucapnya hampir tak percaya.  Anita terkejut. Wajahnya menjadi semakin pias. Betapa tidak, seseorang yang dibenci setengah mati itu justru menjadi dewi penolongnya.

“Ya, Anita...saya Eli,” jawab Eli disertai senyum yang tulus.

“Jadi kamu yang telah menolongku?”

“Hmmm...Allah yang telah menolongmu. Aku cuma kebetulan saja berada di tempat kejadian,” ujar Eli merendah.

“Tapi El, kenapa kau sudi menolongku, padahal aku sudah jahat sama kamu”

“Ah, jangan kau pikirkan itu. Kita teman, bukan? Jadi sudah jadi kewajibanku

 untuk menolongmu.” Diusapnya lengan Anita. Anita memegang tangan Eli dan berkata,”Maafkan aku, Eli. Aku sungguh menyesal telah menyakitimu selama ini.”

“Sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Lebih baik kamu beristirahat saja supaya

 cepat pulih lagi.”

“Betapa mulia hatimu, Eli.” Sebutir mutiara bening mengalir dari kedua mata Anita.

Eli tersenyum, diusapnya air mata Anita dengan lembut.

“Aku permisi dulu ya? Sudah ada papa dan mama yang menemani Anita di

 sini.”

“Terima kasih Nak Eli. Saya antar pulang, boleh?” kata Papa Anita.

Eli berpikir sejenak. Kebetulan sepedanya sudah aman, karena dia titipkan pada pemilik warung dekat  kecelakaan tadi. “Lebih baik aku menerima tawaran papa Anita, karena ibu pasti sudah sangat khawatir menungguku,” pikirnya. Sebentar kemudian Eli sudah berada di dalam Alphard yang mewah, melaju ke rumahnya.

****

Pak Novanto, papa Anita memandang ke sekeliling ruangan tamu rumah Eli. Hanya ada 2 buah kursi kayu yang sudah kusam catnya, menemani sebuah meja yang salah satu kakinya diikat dengan tali rafia. Sudah, hanya itu saja perabotan berharga yang dimiliki keluarga itu. Sementara dindingnya yang terbuat dari bilik bambu itupun sudah banyak yang keropos sehingga membentuk lubang di mana-mana. Lantai rumah yang masih asli dari tanah itu nampak agak becek, mungkin karena atapnya bocor. Benar-benar mengenaskan.

“Silakan diminum, Pak. Maaf hanya segelas air putih yang kami miliki.”

“Oh, terima kasih .. tidak usah repot-repot, Nak Eli. Ibumu mana?”

“Ada di dalam, Pak. Sebentar saya panggilkan.”

Ibu keluar dari balik gorden lusuh yang menjadi pembatas ruangan tamu dengan ruang tengah. Hari itu ibu kurang enak badan, sehingga tidak berjualan.

Sekilas saja Pak Novanto sudah bisa mengambil kesimpulan bagaimana kehidupan Eli dan ibunya.

“Perkenalkan Bu, saya Pak Novanto, ayah Anita. Maksud kedatangan saya

kemari, karena ada 2 hal penting yang ingin saya sampaikan kepada ibu.”

“Apa itu pak? Apakah anak saya telah menyusahkan Bapak?” tanya ibu khawatir. Pak Novanto tersenyum.

“Tidak bu, sama sekali tidak! Justru putri ibu ini adalah gadis berhati mulia

 yang telah menyelamatkan nyawa anak kami satu-satunya.”

Ibu melongo. Kemudian Pak Novanto bercerita sekilas tentang kecelakaan tunggal yang dialami oleh Anita.

“Oleh karena itu yang pertama, saya dan keluarga mengucapkan terima kasih

 yang sebesar-besarnya kepada Eli dan juga ibu. Karena tidak mungkin Eli

 bisa tumbuh menjadi anak yang baik jika tidak dididik oleh ibu yang luar

biasa seperti ibu.”

Eli tertunduk malu, pipinya memerah dipuji oleh papa Anita.

“Oh, syukurlah pak kalau anak saya ini tidak berbuat salah terhadap bapak.”

“Nah, yang ingin saya sampaikan berikutnya adalah kami ingin mengangkat

 Eli sebagai anak angkat kami. Itupun atas seizin dari ibu tentunya.”

“Aduh, jangan Pak. Kalau Eli diambil oleh Bapak lalu saya tinggal sama

 siapa? Siapa yang menemani saya nanti Pak?” Tangis ibu Eli pun meledak. Bahunya sampai turun naik.

Pak Novanto terkejut, ”Tidak Bu, saya tidak akan mengambil Eli dari sisi ibu.”

“Lalu gimana maksud Bapak?” Kening ibu berkerut .

Pak Novanto  pun menjelaskan lagi sambil tersenyum sabar, “Jadi, nanti semua biaya sekolah maupun kebutuhan Eli yang lain akan kami tanggung sepenuhnya, sampai tercapai apa yang dicita-citakan Eli”.

“Alhamdulillah”.

Mendung yang sempat hinggap di wajah tua itu kini berganti dengan senyum bahagia. Eli memeluk ibunya. Mereka menangis, tapi kali ini tangis bahagia.

@Horison Grand Serong Hotel, 24 November 2020

Dwi Widowati, S.Pd

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun