“Eli, itu kamu? Ngapain kamu di rumah uwaku? Ooh..aku tahu, rupanya kamu
abis mbrondol bawang ya?” Ucap Anita beruntun dalam satu tarikan nafas. Anita anak orang kaya sombong yang akan menindas siapa saja anak miskin yang dikenalnya. Eli bungkam tak mampu menjawab, karena semua perkataan Anita adalah fakta “Baiklah, maaf, ya, aku menabrakmu emang disengaja sih. Maklum motor baru, biar kamu kenal” Antita pun tertawa sinis, sambil melenggang pergi. Eli dengan susah payah mencoba berdiri. Kaki kirinya terasa perih, ternyata ada luka di lututnya. Mengingat sang ibu tengah menunggu di rumah, Eli pun segera menaiki sepedanya pulang.
Dia mengayuh sepeda dengan perlahan, tertahan oleh rasa perih yang hinggap di lututnya. Tiba-tiba suara sumbang mirip bunyi kodok terdengar dari dalam perutnya.
“Aduh, perutku sudah protes nih!” ujarnya.
Tangan kirinya menekan perut, berusaha mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Tapi Eli adalah gadis yang tabah. Dia sudah terbiasa bergelut dengan rasa sakit. Sejak kecil dia sudah ditinggal oleh ayahnya yang telah terlebih dahulu menghadap-Nya. Kini dia tinggal berdua saja dengan ibunya di sebuah gubuk kecil yang sudah tak layak untuk ditempati. Ibu Eli adalah seorang wanita tua yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Untuk memenuhi kebutuhan, ibu berjualan rujak di depan gubuk mereka. Meski hidup dalam kesederhanaan, namun Eli merasa cukup berbahagia.
Dalam urusan sekolah, Eli hanya mengandalkan sekolah gratis dari pemerintah dan dalam hal buku pelajaran dia harus rela tidak jajan untuk mendapatkannya. Terkadang, dia merasa iba menyaksikan ibu yang rela membanting tulang untuk menafkahinya.
“Bu, mendingan Eli nggak usah sekolah saja ya? Biar ibu nggak usah pusing mikirin kebutuhan sekolah”, pinta Eli tiga hari yang lalu.
“Apa? Sekali lagi kamu minta seperti itu lagi ibu akan marah besar. Kamu
harus terus sekolah Nak, sampai tercapai apa yang kamu cita-citakan. Cukup
ibu saja yang merasakan hidup susah karena dulu ibu tidak pernah sekolah.” Tatapan duka ibu bagai sembilu yang menikam jantung Eli. Sungguh dia tak kuasa melihat wajah ibu berkabut.
Sejak itu Eli pun tersadar. Takkan pernah lagi dia mempermasalahkan pendidikannya. Justru kesulitan yang dihadapinya ia jadikan cambuk untuk memacu semangat belajar. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Eli bertekad untuk terus belajar demi ibu, hanya demi ibunya.