"Ganjar membangun sebuah rumah di Sleman, Yogyakarta, dan memilih tinggal di situ daripada tinggal di pusat kekuasaan di Jakarta, sebagaimana Ki Ageng Giring yang lebih memilih tinggal di Sodo, daripada di pusat kekuasaan Kotagede, Kerto, atau Pleret. Tapi mungkin 7 generasi keturunan pada Ki Ageng Giring sebanding dengan 5 masa pada Ki Gede Ganjar Pranowo."
"Lima masa? Pleret? Kalau begitu, sesuai rencana kita, setelah ini, kita ke Pleret."
"Ke Pleret, Pak George .. tempat Amangkurat pernah berkuasa itu."
"Betul. Kita ke sana, mencari Kuncara."
Mas Fandi mengantar kami kembali ke pusat kekuasaan, ke Pleret, meninggalkan desa Sodo yang tentram dan sederhana tempat Ki Ageng Giring pernah bertirakat dan berkehidupan menderes aren. Keraton Amangkurat di Pleret sudah tidak ada lagi. Keraton Sultan Agung di Kerto juga sudah menghilang. Semuanya sirna ditelan bumi.
Kami meneruskan perjalanan ke selatan, mencari Kuncara.
Pak George, turun perlahan dari mobil, di depan sebuah toko buku sederhana. Ada sebuah plang kecil sederhana di depannya, bertuliskan KUNCARA. Tiba-tiba seorang ibu bergegas keluar, menyambut sang pengembara sejati,
"Waah ngipi apa saya? Ini .. ini .. Prof Quinn ya?"
"Lhoo .. kok Ibu tahu saya?" tanya Pak George.
Ternyata sang pemilik toko, Ibu Sri Wijayati, adalah seorang sastrawati Jawa, penulis geguritan, dan pensiunan guru SD. Dalam sekejap Pleret yang muram berubah ceria. Seorang sastrawati Jawa bertemu seorang ahli Jawa. Sang kuncara bertemu sang pengembara sejati.
Buku adalah sumber pengetahuan. Kuncara bermakna 'terpandang karena sikap dan perilaku luhur'. Kerto melambangkan keberanian melawan penindasan.