"Naah itu, Mas Fandi!"
Orang-orang di depan lobby lagi-lagi memberi hormat, "Monggo, silakan, Pak George. Monggo, Bapak."
"Mas Fandi, hari ini yang akan kita kunjungi adalah Makam Ki Ageng Giring di Sodo, Paliyan, Gunungkidul; sebuah toko buku kecil di Pleret; dan kantor Majalah Djaka Lodang di Patehan Tengah, dekat Alun-Alun Kidul. Bagaimana saran, Mas Fandi, enaknya kita ke mana dulu?"
"Lebih baik yang jauh dulu, Pak. Kita ke Ki Ageng Giring dulu. Kemudian ke Pleret. Dan terakhir Djaka Lodang."
Perbukitan Gunungkidul terlihat indah, berombak hijau, diselingi awan tipis. Kadingaren hawanya sejuk. Kotagede, Pleret, Kerto semakin jauh di belakang. Mobil Mas Fandi melaju meliuk ke tenggara menyapa Sunan Bayat dan Ki Ageng Kajoran di timur. Konon makam Ki Ageng Giring sempat 'menghilang' ratusan tahun tertutup hutan sebelum akhirnya ditemukan setelah dilakukan laku batin dan penelusuran terhadap data-data sejarah yang terkait dengan Sunan Bayat. Dua di antara data sejarah tersebut adalah fakta bahwa ayah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Giring II, dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Bayat, di Klaten, dan bahwa Ki Ageng Giring adalah salah seorang menantu Sunan Bayat.
"Di dalam buku Pak George "Wali Berandal Tanah Jawa", Pak George menceritakan betapa Pak George pernah mengalami dan merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan nalar. Pak George waktu itu berada sendirian di tengah-tengah persawahan di antara Petilasan Joyoboyo, Kediri, dan perkampungan terdekat, di tengah keheningan malam menjelang pagi. Tiba-tiba ribuan kunang-kunang mengerubungi Pak George, berpendar di atas dan sekeliling Pak George. Ribuan pendaran di tengah-tengah heningnya malam ..."
"Oh iya, saya tidak tahu apa itu. Saya tidak bisa menjelaskan. Tapi memang terkadang kita tidak bisa menjelaskan apa yang kita alami dalam kehidupan ini."
Dari kota Wonosari, kami berbelok ke barat daya, ke wilayah Paliyan.
"Kelihatannya sudah hampir sampai ini."
"Lho Pak Dwi sudah pernah ke Ki Ageng?", tanya Mas Andi.
"Belum, Mas. Cuma feeling."