Kami perlahan melepas sepatu, dan kemudian menyalami Pak Sarekso, sang juru kunci. Dengan ringan beliau berjalan di depan kami ke arah bangunan Joglo. Setelah melewati gerbang bertuliskan aksara Hanacaraka, kami melambatkan jalan, karena mulai terasa sesuatu yang sulit dijelaskan. Namun yang jelas, semacam ketentraman dan kehangatan mulai menyambut. Pak Sarekso berhenti di depan sebuah pintu kecil berambang rendah dan kemudian membuka perlahan daun pintunya. Terlihat sebuah nisan berbalut kain putih di dalam bilik. Dua payung keraton menaungi nisan di ujung kanan kirinya.
"Monggo, punika makamipun Ki Ageng Giring."
"Injih, matur nuwun, Pak."
Pak George membungkukkan badan dan merambat setengah jongkok memasuki bilik makam. Saya mengikuti. Setelahnya, kami diam. Hening. Entah berapa lama. Harum mawar menyerbak lembut. Gemersik daun kelapa dan aren, dan juga jati, terdengar halus.
"Tentram sekali di sini. Sangat tentram."
"Ya, Pak George. Desa kami di Ngawi tidak bisa tentram seperti ini, karena dekat jalan tol. Bus, truk tiada habis. Bising. Asap juga. Mengapa harus ada jalan tol di tempat yang tadinya hening itu .."
"Di dalam antologi cerita cekak basa Jawi "She Wanted to be a Beauty Queen", ada sebuah cerkak yang sangat misterius. Dikisahkan di dalamnya .. ada sepasang suami istri yang memperoleh sebuah degan. Mereka menaruh degan tersebut di depan pintu rumah. Kemudian hujan turun deras sekali. Setelah hujan reda, mereka dapati .. degan mereka telah hilang! Dan anehnya, seolah-olah sang istri tidak terkejut dengan hilangnya degan tersebut. Cerita berakhir dengan hilangnya degan tersebut. Begitu saja. Pembaca tidak tahu, ke mana hilangnya degan tersebut. Terbawa air hujan? Ataukah dicuri orang? Tidak jelas. Sangat misterius."
"Degan sangat melekat dalam kehidupan Ki Ageng Giring. Konon dia bersama Ki Ageng Pemanahan diberi amanah oleh Sunan Kalijogo, guru mereka berdua, untuk mencari wahyu di pegunungan selatan di Jawa. Maka mereka mengembara di Gunung Kidul dan menjalani kehidupan dan laku tirakat di tlatah tempat kita berada sekarang ini. Ki Ageng Giring menjalani laku di desa Sodo, Paliyan. Ki Ageng Pemanahan di Kembang Lampir, Panggang.
Sesuai perintah Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring menanam sepotong sepet atau kulit kelapa yang sudah kering. Betapa sebuah hal yang sama sekali tidak bisa dinalar: menanam sepet. Namun, ternyata muncul tunas dari sepet tersebut, yang kemudian tumbuh subur hingga menjadi pohon kelapa yang sehat dan tinggi. Namun pohon tersebut lama sekali tidak berbuah hingga pada akhirnya muncullah satu buah -- hanya satu buah."
"Waah berarti kisah dalam cerkak tadi sudah tidak misterius lagi. Ternyata kisah tersebut mengacu pada kisah degan Ki Ageng Giring!"
"Saat buah kelapa tadi siap dipetik, Ki Ageng Giring bermimpi ditemui Sunan Kalijaga, yang memberinya petunjuk, "Giring, petiklah degan yang hanya satu itu. Barangsiapa meminum airnya hingga habis, anak turunnya akan memimpin tanah Jawa." Maka Ki Ageng Giring memetik degan tersebut. Namun, dia meminumnya hanya setenggak, tidak sampai habis, dan kemudian melanjutkan bekerja di ladang aren. "Akan aku habiskan nanti setelah benar-benar haus," pikirnya."