"Saya teringat ini, Dwi, "Ojo turu nek ora ngantuk tenan. Ojo mangan nek ora luwih tenan. Ojo ngombe nek ora ngelak tenan."
"Iya, Prof. Hanya orang-orang waskita yang bisa menjalaninya."
"Ojo nyuara nek ora butuh nyuara tenan -- nek memang butuh nyuara, nyuarane ojo nemen-nemen."
"Sak niki, malah saingan, banter-banteran, Pak George.
"Lho? Lak budeg no."
"Ndilala, Ki Ageng Pemanahan, sahabat seperguruan Ki Ageng Gereng, mampir di gubug Ki Ageng Giring setelah berjalan kaki jauh sekali dari tempat tirakatnya di Kembang Lampir. Saking ngelaknya, begitu dia melihat degan yang sudah terperes, dia tenggak hingga habis airnya. Klempoken banyu degan, beliau terduduk terengah melihat ke ladang aren, di mana terlihat Ki Ageng Giring yang kumus-kumus kepanasan bergegas kembali ke gubug. Dia senang melihat Ki Ageng Pemanahan ujug-ujug duduk di gubugnya, tapi terkejut begitu melihat air degan sudah habis. "Maaf, Mas Giring, ini tadi degannya saya minum habis. Lha saya ngelak banget e," kata Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring semakin lemas begitu mendengar perkataan Ki Ageng Pemanahan. Namun, dia berusaha tenang, menahan rasa yang ingin meledak."
"Degan itu lambang penyembuhan, lambang sumber kekuatan, lambang dari tiada menjadi ada."
"Ki Ageng Giring adalah penerima wahyu Mataram. Namun, yang menjalankan laku sebagai raja Mataram adalah keturunan Ki Ageng Pemanahan hingga keturunan ketujuh, mulai dari saat Mataram masih beribukota di Kotagede, Kerto, Pleret, hingga Kartasura, hingga ... Setelahnya, pemerintahan Mataram ~ di Yogyakarta ~ dipegang oleh keturunan Ki Ageng Giring, melalui keluarga besar Sunan Bayat dan Ki Ageng Kajoran yang tinggal di wilayah Bayat dan Wedi, di Klaten."
"Kapan itu Dwi pernah bilang teringat Ganjar Pranowo saat saya menyampaikan bahwa kita akan mengunjungi makam Ki Ageng Giring."
"Saya membayangkan Mas Ganjar itu bermimpi didatangi Sunan Bayat. Sunan Bayat memberinya petunjuk, "Petiklah degan yang hanya satu itu. Minumlah hingga habis airnya." Ganjar kemudian memetiknya dan dia taruh di lincak di depan gubuknya. Namun, kemudian tidak ada lesus tidak ada lindu, tiba-tiba datang banjir bandang yang begitu dahsyat, hingga dalam sekejap degan yang belum dia minum hilang kintir entah ke mana."
"Hmm .. itu mirip kisah degan yang ditaruh oleh sepasang suami istri di depan pintu rumah itu."