"Dita, kamu gak salah mau sama aku?"
"Kalau perempuan sudah punya rasa dan nyaman, tidak penting wajahmu seperti apa, aku nyaman kok saat jalan sama kamu, Lur."
"Wih, jadi besar kepala aku. Kamu itu sudah cantik, manis, gigi gingsul, pintar dan orangnya baik pula."
"Duh, duh, duh mujinya jangan kelebihan begitu, Lur, aku nanti jadi melayang nanti."
"Hahaha, nggak apa-apa... khan kenyataan, kamu memang punya anugerah itu semua."
"Ah... sudah ngomong yang lain saja, nanti aku jadi pulang cepat-cepat ngaca nih..."
Dita kembali tersenyum. Kamu beradu pandang. Aku menemukan mata air segar saat menatap matanya, betap teduh dan sejuknya matanya saat memandangku. Kami mendekat, spontan ia memejamkan matanya. Aku mendaratkan ciuman di dahinya, sambil mengelus dagunya. Selanjutnya kami seperti berlayar dalam khayalan merasakan betapa manisnya sebuah cinta. Padahal itu hanya cinta remaja tanggung yang masih belum mengerti bahwa mencintai itu butuh tanggungjawab yang besar. Bukan hanya senang-senang, bisa jalan-jalan, bisa bergandengan tangan atau saling memandang dengan penuh rasa sayang.
Ada kalanya ada sepasang kekasih harus bertengkar karena ada rasa cemburu, rasa kehilangan dan berbagai perbedaan prinsip yang membuat pada akhirnya harus bisa kompromi, bisa memaklumi kekurangan dan kelebihan yang lain. Waktu itu kami tidak pernah berpikir ada selalu duri dan jalan terjal bagi sebuah hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan.
"Dit, aku benar-benar tidak nyaman kamu ngobrol sama Didit, beraninya ia nyolek-nyolek kamu."
"Kami khan berteman sudah cukup lama, Lur."
"Iya tapi aku nggak suka kamu terlalu dekat dengan dia."