Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Beragama di Negara yang Tengah "Mabuk Agama"

13 Agustus 2019   11:15 Diperbarui: 13 Agustus 2019   11:24 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agama adalah tolok ukur manusia menyikapi dan mengagumi kebesaran Tuhan Pencipta alam semesta. Pada mulanya manusia bahkan tidak mempunyai agama. Apakah mereka pernah menyebut agamanya apa? 

Tentu tidak, yang mereka percayai dalam menjalani kehidupan adalah mengikuti aturan, taat untuk tidak membunuh sesamanya dan melakukan hubungan badan dengan rasa terpaksa. 

Hubungan manusia dan proses berkembang biak sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Maka muncul kemudian nabi dan tokoh- tokoh pemimpin yang memberi contoh bagaimana membangun relasi manusia dengan Tuhan dan juga mengatur dan memberi contoh bagaimana membangun relasi dengan sesama makhluk hidup terutama manusia dengan manusia. 

Agama terbentuk karena ada kesamaan kepercayaan dan terutama ada tokoh yang menjadi panutan untuk mengembangkan ajaran didasarkan oleh keteladanan dan kisah heroik nabi dan rasul yang akhirnya menjadi role model atau dipercayai sebagai titik sentral ajaran. Maka lahirlah agama.

Latar Belakang Munculnya Agama

Hindu terbentuk ketika bangsa Arya masuk ke India sekitar 1500 SM dan mulai menulis kitab- Weda.Hindu didasarkan oleh kepercyaan politheisme yaitu memuja banyak Dewa.

 Inti semua ajaran agama ada cerita kebaikan akan bisa mengalahkan kejahatan. Ada hukuman bagi yang tega membunuh, melakukan pencurian atau melanggar adat istiadat. Manusia tidak pernah sempurna dalam menjalankan ajaran agamanya. 

Maka ketika budaya lisan baru muncul datang belakangan maka ajaran- ajaran agama hadir ketika ada peninggalan literasi, bukan hanya serupa dongeng atau informasi dari mulut ke mulut dalam wujud wahyu atau tanda- tanda alam.

Jaman Jahiliyah di Jazirah Arab ditandai oleh betapa manusia yang paling kuatlah yang menang dan menjadi penguasa. Yang kuat akan cenderung menjadi Tuan bagi yang lemah dan mereka berhak memperlakukan yang lemah sebagai budak atau jongos. Tentu mereka yang lemah tidak berdaya dalam Hindu bisa dikatakan kasta paling rendah.

Yang tinggi adalah mereka yang berada pada tataran tertinggi spiritualitas atau dalam hal kekuatannya mempengaruhi orang lain. Maka berlakulah hukum rimba siapa kuat dialah pemenang dan rajanya. 

Tentang ajaran kasih sayang, ajaran untuk taat pada aturan dan tidak melanggar norma- norma di luar batas moralitas maka muncullah sang inpirator yang akhirnya menjadi nabi dan menjadi titik sentral pengajaran. 

Dari pengikut nabi itu mereka menyebarkan ajaran agamanya secara turun temurun, berkembang dan mengglobal dengan melakukan pengajaran (katakese) atau misi untuk mengembangkan agama.

Yang Terbalik balik dalam memahami Kehidupan Beragama Timur dan Barat

Pengaruh agama besar seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi ada yang senang mencampur adukkan kepentingan agama dan politik,  dengan kebudayaan dan kebiasaan setempat. 

Arab dengan mayoritas penduduknya beragama Islam sedang tergila-gila dengan apapun kebudayaan barat yang masuk, mereka terbuka dengan merk- merk bule yang menyerbu negaranya. 

Agama boleh jadi urat nadi mereka tetapi budaya adalah lain hal. Indonesia dimabukkan oleh baju dan sesuatu yang berbau Arab sedangkan Arab sendiri sudah sering dibaca dan ditulis media sangat menggandrungi kebudayaan berbau western, mereka tidak menganggap dunia Asia.

Anehnya  banyak bule sekarang sangat kagum dengan tradisi, kebudayaan unik yang dimiliki Indonesia dan Filsafat Timur. Dunia terbalik balik. Indonesia sebegitu terpengaruhnya dengan Timur Tengah padahal kebudayaannya sendiri sebenarnya sudah kaya tetapi mereka banyak meninggalkannya karena banyak pemuka agama sangat militan dalam mengubah persepsi jemaahnya sampai pada baju yang dikenakan.

 Apakah nilai -- nilai dan perilaku bisa tercermin saat berpakaian. Apakah dengan memakai baju yang berkesan agamis lantas bisa mengukur kadar keimanannya. Itulah yang salah kaprah dalam pemikiran banyak orang. 

Penulis bukan hendak menilai agama orang lain tetapi banyak orang hanya mendengarkan dari sumber yang dirasa populer, viral dan bisa menjadi trendsetter bagi pemahamannya tentang agama. 

Bahwa sebenarnya ada local genius ada kearifan lokal yang sangat pas diterapkan diabaikan demi kiblat agama dan dan semua pernik- perniknya.

Penulis ingat ketika relasi agama dan kebudayaan dulu seiring sejalan betapa damainya agama. Agama adalah pegangan hidup tempat menghaluskan budi pekerti, tempat mengheningkan cipta berdialog manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta.

Harmoni Tuhan , Alam dan manusia menghasilkan sosok yang sederhana dengan balutan baju lokal. Tingkah laku para penganut agama sangat menghargai harmoni. Perbedaan itu keniscayaan dan Tuhan bisa mewujud dalam lestarinya alam, dialog dengan simbol- simbol alam, menghargai hari hari baik dan menghargai manusia sebagai manusia merdeka yang berhak hidup dalam toleransi tinggi.

Sayangnya pula lahirnya agama melahirkan masalah kompleks manusia, perang saudara, perbedaan tafsir ajaran agama melahirkan konflik. Dari konflik berkembang untuk saling membunuh atas nama agama. 

Perang tidak terelakkan dan manusia seperti dipenuhi egonya untuk menunjukkan diri bahwa dirinya dan agamanyalah yang paling benar, yang berbeda berarti tidak beriman dan membangkang. Kasarnya bisa disebut kafir.Pengkhianat yang harus dihukum atau dilenyapkan. 

Bila ada manusia yang sangat menguasai pengetahuannya dalam beragama tentu akan menghormati hak orang lain, menghormati perbedaan dan tidak memaksakan diri mengikuti dirinya.

Kaum agama sejati adalah orang yang bisa menempatkan diri, dugo kiro(dapat mengukur kemampuan diri), sayangnya banyak orang merasa sok pinter lalu dengan arogan mempengaruhi paksa orang lain dengan ajaran- ajaran yang belum tentu cocok untuk tiap individu. 

Saking kerasnya ia memaksa maka perlu melakukan cuci otak yang membuat orang begitu berubah 180 derajat. Ini yang dinamakan pemahaman radikal.

Sekarang sedikit- sedikit tidak boleh, sedikit- sedikit dikaitkan dengan aturan agama, tafsir yang beda dari tiap pemimpin agamanya. Baju- baju harus tertutup,seragam, gelap yang bisa menutup kesempatan manusia berpikir jorok. Mengurangi resiko pelecehan seksual.

Di Timur Tengah baju tertutup itu karena tuntutan alam. Agama apapun merasa perlu membalut tubuhnya dengan pakaian tertutup bukan untuk membedakan agamanya apa, tetapi karena alam, ganasnya alam dan nafsu manusialah yang membuat mereka perlu menutup hampir semua bagian tubuhnya. 

Tetapi jika sudah berbaju agama tetapi tetap melakukan korupsi, aksi tipu- tipu dan membohongi calon pasangan hidupnya dengan menyembunyikan jatidirinya dengan pakaian tertutup, itu konyol namanya.

Baju itu Produk Budaya bukan Simbol Agama

Baju adalah budaya, bukan simbol agama. Bukan berarti yang berhijab itu Muslim dan yang biasa berbikini itu pasti agama lain. Antara baju dan agama mungkin banyak kemiripannya karena latar belakang filosofinya, tetapi jika berenang harus memakai baju tertutup dan supaya tidak terlihat tubuhnya itu terlalu GR. 

Namanya kolam renang bajunya juga harus menyesuaikan tentu yang sesuai dengan gerakannya yang dinamis, kalau diberati dengan baju yang gombyoh- gombyoh bagaimana fungsi olah raganya?

Semoga saja kebudayaan lokal, kesenian dan aktifitas kebudayaan Nusantara mampu mendorong masyarakat untuk lebih mencintai dan percaya pada diri sendiri. 

Kebaya bisa diselaraskan dengan hijab, dan hijabpun tidak harus mengacu pada paham- paham radikal dari Arab yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk. 

Pikiran kotor tentang tubuh, tentang keseksian, tentang khayalan yang ke mana- mana itu adalah naluri manusia. Sekuat dan sehebat apapun manusia menguasai ilmu agama amat susah mencegah hasrat alami manusia terutama hasrat sexual dan ketertarikan pada lawan jenis.

Kalau muncul pelecehan dan pemerkosaan apakah ada hubungannya dengan agama. Rasanya hampir semua penganut agama pernah terjerembap dalam kasus- kasus sexual. 

Mereka yang berhijab bisa saja masih mengundang khayalan jorok jika tetap bergoyang seronok dan diam -- diam melakukan pergaulan bebas meskipun sudah dibaluti baju bersimbol agama.

Mengenakan baju bersimbol agama itu harus dengan kesadaran, artinya hijrah pikiran itu semakin bisa mengendalikan nafsu- nafsu purbanya, bisa menempatkan diri untuk tidak mengundang pelecehan dari pihak lawan jenis. 

Lalu jika seorang wanita perenang hanya mengenakan baju seadanya yang penting menutup tubuh pentingnya lalu tiba- tiba ditentang disuruh memakai baju tertutup berarti ada yang salah dengan mata yang melihatnya. 

Yang membuat aturan itu berarti merasa terangsang oleh pikirannya yang terlalu liar. Baru -- baru ini banyak patung- patung seksi sengaja ditutupi agar tidak mengundang pikiran yang jorok. Mindset yang melihatnya lah yang dibenahi bukan  patungnya yang ditutupi. Masak patung disalahkan karena tidak sesuai norma agama.

Beragama itu hak  manusia tetapi terlalu mabuk dengan agama membuat negara menjadi runyam. Sebab manusia berhak memilih agamanya, manusia berhak menentukan warna baju dan modelnya, asal mampu menempatkan diri. Mengapa harus dibatasi oleh aturan agama? 

Agama mengatur tentang moralitas, pola pikir dan penghargaan individu untuk merunduk dan menyembah Tuhan  pencipta nya, tetapi agama tidak berhak memaksa manusia merubah kodratnya sebagai manusia. Laki - laki diciptakan tertarik pada wanita dan wanita diciptakan bertubuh indah untuk dikagumi lawan jenisnya.

Penulis tidak ingin menghakimi agama terutama agama mayoritas Indonesia, tetapi cuma menyayangkan banyak orang terjebak dalam pengkultusan simbol- simbol terutama baju sebagai ukuran beriman atau tidak.

 Ukuran beriman ada di kedalaman jiwa. Pada manusia yang sadar bahwa tunduk dan menghargai manusia lain itu utama, yang mampu mengendalikan pikiran dan hatinya untuk tidak mengobarkan kebencian kepada sesama makhluk hidup.

Introspeksi Diri

Sudahkah anda sampai ke situ. Kalau penulis tentu saja masih jauh karena prakteknya baru sampai tahap menulis dalam kenyataan sehari- hari masih sering membenci, mendendam dan marah jika diberi masukan, masih sering naik pitam bila dihina, masih sering gagal menerima perbedaan daripada menghargai keberbedaan. 

Hidup dalam negara yang sedang mabuk agama memang harus kuat menghadapi berbagai pengaruh yang bisa - bisa menjerumuskan. Salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun