Saat ini aku berumur 24 tahun, masih kuliah tahap skripsi yang entah kapan selesainya . Bekerja di salah satu media IT. Kali ini aku akan bercerita pengalamanku tentang menjadi "orang" dari ayahku. Sejak aku kecil aku selalu berdebat dengan ayahku dari tempat menaruh barangku hingga cara merawat rumah, bekerja, belajar, dll.
Aku berasal dari keluarga yang bisa di bilang berkecukupan, ayahku bekerja di salah satu perusahaan swasta. Namun masalah keuangan, ayahku tergolong keras. Teman-temanku banyak memiliki apa yang mereka inginkan dengan meminta pada orang tuanya, berbeda denganku. Di bawah ini sedikitnya menceritakan perjalananku.
Â
Pekerjaan pertamaku
Saat itu aku duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4. Setiap hari Jum'at, aku selalu shalat Jum'at di masjid dekat rumah, masjid tersebut cukup besar. Setiap aku shalat di sana aku melihat beberapa anak-anak berdiri di depan rak sepatu yang menyatu dengan pinggiran dinding masjid. Aku tak menghitung berapa jumlah ruang rak sepatu tersebut karena, sangat banyak. Ada 4 tempat di setiap pintu masuknya. Aku bertemu dengan salah satu temanku yang tinggal di luar komplek perumahanku dan ia salah satu dari anak-anak yang menjaga rak sepatu tersebut. Aku menghampirinya untuk menanyakan tentang apa yang ia kerjakan. Ia mengatakan sedang membantu jama'ah untuk menyusun sepatu dan sandal mereka pada tempatnya setelah memasukkan nomor di dalam sepatu dan sandal tersebut. Sehingga setelah selesai shalat jum'at, jamaah memberikan kertas nomor yang diberi saat mereka memberikan sepatu mereka dan temanku langsung mencarikan sepatu atau sandal mereka sesuai nomor yang diterima.
Aku tertarik dan minggu depannya aku mengutarakan keinginanku untuk ikut membantu mereka, ternyata mereka setuju untuk meringankan beban mereka. Notabene mereka yang menjadi pemberi nomor sepatu atau sendal itu dari keluarga kurang mampu dan mereka mendapatkan uang jajan dari upah mereka melakukan pekerjaan tersebut. Setiap pulang shalat jum'at aku mendapatkan Rp 5.000 - Rp 10.000. Pada awalnya aku menolak uang tersebut karena tujuanku ingin membantu mereka dan karena aku senang melakukannya, namun mereka memaksaku untuk menerimanya. Upah yang aku terima itu terasa banyak untukku, pada saat itu. Aku tidak terlalu mengerti apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Sekitar 1 bulan aku membantu mereka, ibuku mendapat kabar dari temannya yang menceritakan kalau ia melihatku memberikan nomor sepatu di masjid saat shalat Jum’at dan akhirnya aku dimarahi habis-habisan oleh ibuku. Tetapi, ayahku yang mengetahui apa yang aku lakukan tidak ikut memarahiku, melainkan mengajakku berbicara setelah aku dimarahi ibu.
Â
P = Ayahku
A = Aku
Â
PÂ :Â Kenapa kamu bekerja di sana?
AÂ : Karena aku ingin membantu temanku dan ternyata aku juga dapat uang jajan, salah ya yah?
Â
PÂ : Tidak, malah ayah bangga kamu sudah bisa bekerja seperti itu, emangnya kamu dapat berapa?
AÂ : Kadang 5 ribu kadang 10 ribu yah, tergantung berapa banyak yang masukin duitnya ke kotak dekat kami ngasih nomor
Â
PÂ : Kemarin ayah sudah nanya ke pengurus masjid, itu tidak dilarang dan tidak diwajibkan, tetapi atas kemauan anak-anak sekitar dan selama tidak menjadi masalah untuk jama'ah.
AÂ : Berarti aku masih boleh dong yah bantuin temen aku?
Â
PÂ : Boleh, asal kamu tidak meninggalkan shalat jum'at dan nilai kamu tidak menurun. Kalau menurun kamu harus berhenti. Janji?
AÂ : Janji yah, kan itu diluar sekolah hehehe
Â
Setelah itu ibuku memarahi ayahku karena membiarkan aku  bekerja, sedangkan orang tuaku masih mampu membelikan apa pun yang aku mau. Tetapi, ayahku mengatakan pada ibuku untuk membiarkanku, agar aku dapat belajar susahnya cari duit. Setelah 2 bulan bekerja, hari itu ibuku ulang tahun dan aku pergi ke pasar setelah shalat Jum'at untuk membelikan ibuku piring bergambar Mickey Mouse sebagai hadiah ulang tahunnya dengan upahku. Sesampainya di rumah aku langsung kedapur dan memberikannya pada ibuku sambil mengucapkan selamat ulang tahun. Ibuku tiba-tiba memarahiku dan setelah itu beliau  menangis, lalu memelukku.
Ayahku juga pernah saat jam istirahat kantornya, beliau datang ke masjid tempatku bekerja. Di sana ia membuka sepatu dan kaos kakinya, kemudian memanggilku untuk memberikannya nomor sepatunya. Aku ragu-ragu memberikannya nomor, tetapi ia tersenyum padaku dan pergi masuk. Saat perjalanan masuk salah satu temannya bertanya, "Mas, anaknya kok di biarin bekerja begitu, apa ga malu sama yang lain?"
Ayahku berkata pada temannya, "Ngapain malu, halalkan? Lagian ga ganggu sekolah, sekalian dia tau susahnya cari duit. Ntar juga bosan sendiri dia, namanya juga anak-anak pengen coba semuanya."
Ada satu kejadian lucu di salah satu hariku menjaga rak sepatu tersebut, seorang bule muslim yang baru selesai shalat, ia memberikanku nomornya dan saat aku memberikan sepatunya, ia memberiku uang 100 ribu rupiah, aku kaget dan menyuruhnya untuk memasukkan uang tersebut ke dalam kotak. Kemudian ia mengatakan dalam bahasa inggirs bahwa uang itu khusus untukku. Namun aku menolaknya karena aku hanya akan menerima uang dari hasil yang kami dapatkan di dalam kotak itu. Si bule pun tertawa dan memasukkan uang itu ke dalam saku bajuku, ia mengatakan kira-kira seperti ini, "I make vow to give this money to anyone who take care of my shoes"
Walaupun masih kelas 4 SD, aku lumayan mengerti bahasa inggris, karena di sekitar tempat tinggalku banyak bule juga.
Saat ujian kenaikan kelas, aku diminta untuk berhenti dan fokus belajar. Aku pun sudah merasa cukup senang saat itu dan aku mengikuti kata orang tuaku. Aku juga berpamitan pada teman-temanku untuk fokus sekolah, mereka pun mengerti dan memberikanku semangat.
Di sana aku belajar menyusun sesuatu dengan teliti dan mengingat susunan nomor-nomor urut sepatu dan tentunya merasakan duit hasil keringat sendiri.
Â
Â
Menjaga warung sepulang sekolah
Setelah sekian tahun tidak bekerja, kini aku kembali bekerja di warung pakde ku. Saat itu aku kelas 2 SMP dan tinggal bersama pakde ku. Beliau mempunyai sebuah warung kecil yang menyediakan perlengkapan dapur. Setiap pulang sekolah aku langsung menjaga warung, mengerjakan PR-PRku di warung itu. Aku mau menjaga warung itu karena keinginan ku sendiri, bukan karena di suruh. Aku sempat membicarakannya pada orang tuaku dan mereka setuju.
Jujur saja jarang ada pembeli di warung itu, namun banyak yang memesan air galon dan aku mengantarkan galon tersebut kerumah-rumah warga yang memesan. Untungnya yang memesan itu rumahnya hanya sekitaran komplek tempat tinggal pakde ku saja. Tak jarang juga aku mendapatkan tip setiap mengantarkan galon dan tip itu aku simpan di celengan ayamku.
Banyak cemo'ohan dari teman-temanku di sekolah tentang aku yang bekerja di warung, namun aku tak mengambil pusing hal tersebut karena aku suka melakukannya. Jadi kenapa harus malu? Halal toh? Bisa beli apa yang aku mau tanpa meminta pada orang tua. Hingga saatnya ujian kenaikan kelas dan lagi-lagi aku harus berhenti bekerja dan fokus untuk ujian.
Di warung itu belajar mencatat semua penjualan dan menghitung keuntungan setiap bulannya. Walaupun aku sering di marahi bude ku karena tulisanku seperti cakar ayam.
Ayahku sempat berkata, "Nanti ada kemungkinan kamu akan bekerja pada orang lain yang tidak ada hubungan darah, maka kamu harus belajar menjaga kepercayaan itu. Sekali rusak, jangan harap tuk mendapatkannya lagi."
Â
Â
Menjadi reporter
Aku pun lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan, aku juga sudah di terima di universitas swasta di ibukota. Aku pun langsung berangkat menuju Jakarta. Ternyata benar kata orang-orang, ibukota memang lebih jahat daripada ibu tiri yang jahat. Bagaimana tidak, ibu tiri yg jahat paling ngurusin 5 anak, sedangkan ibukota ngurusin jutaan manusia, wajar sih kalau sangat jahat, menurutku.
Â
Kuliah dimulai 3 bulan lagi dan aku tak tahu harus berbuat apa, namun nasib mujur ada padaku, aku berkenalan dengan anak kosan dan aku di ajak untuk ikut ke dalam komunitas pecinta AMD. Disana aku belajar banyak tentang dunia komputer, sesuai jurusan yang aku ambil, IT. Sambil berjalannya waktu aku pun mengenal aplikasi voice chat. Setelah beberapa bulan aku menggunakan aplikasi tersebut, aku di angkat menjadi staff perwakilan Indonesia di server public International. Waktu berjalan sangat cepat, pada akhirnya aku di ajak untuk mengurus server public Indonesia di salah satu media massa portal game online. Setelah di interview aku pun akhirnya menjadi reporter dan admin di server public Indonesia. Di sela-sela kesibukan kuliah, aku juga mencari berita dari event-event game online. Selain itu aku juga pernah menjadi reporter di salah satu media berita online seputar dunia IT.
Di sana aku belajar mengatur waktuku dan usaha pantang menyerah untuk mencari berita melewati kemacetan di kota Jakarta. Aku juga sempat bercerita pada ayahku tentang pekerjaanku ini dan salah satu yang dikatakan beliau, "Dulu ayah tak takut panas dan badai untuk dapat memberikan kalian gizi yang cukup dan pendidikan yang tinggi, yang kamu lakukan adalah salah satunya. Kita lihat seberapa tahan kamu menghadapinya."
Â
Â
Public Speaker Seminar
Sambil kuliah dan bekerja sebagai reporter aku juga ikut aktif dalam keorganisasian komunitas pecinta AMD di Jakarta. Hingga akhirnya kami menjadi salah satu bagian dalam event Roadshow dan aku pun diberi tantangan untuk menjadi Public Speaker. Tanpa ragu aku pun menerimanya, pertama kali jadi public speaker hasilnya adalah Hancur Berantakan.
Aku pun menceritakan kejadian itu pada ayahku, beliau memberikanku banyak saran yang membuatku semakin bersemangat. Dengan beberapa kali seminar aku pun menjadi sangat mahir berbicara di depan public, sehingga mereka tak perlu ragu ketika memintaku untuk berdiri di depan sana.
Salah satu yang ayahku ucapkan padaku, "Tak semua orang dapat mahir dalam satu hal secara langsung tanpa usaha dan latihan, serta doa. Lebih baik lagi jika kamu dapat belajar dari guru-gurumu."
Â
Â
Server Admin Voice Chat
Setelah beberapa lama berkecimpung di dunia reporter aku pun memilih fokus di layanan voice chat. Di sana aku memiliki beberapa staff untuk membantu ku mengembangkan layanan tersebut. Cukup lama aku berada di posisi ini.
Melayani user/client dengan segala masalah mereka tidaklah mudah, di tambah juga harus mengontrol kerja para staff membuat pekerjaanku semakin tidak mudah. Namun aku menikmatinya dengan membuat pekerjaan itu bukan sebagai beban, tapi sebagai tantangan. Seperti apa yang ayahku katakan padaku.
"Bekerja sendiri tidak lebih menyenangkan dibandingkan bekerja sama dengan orang lain, ayah mempunyai banyak teman dan tak pernah meremehkan mereka semua. Â Karena nantinya mereka akan merasakan hal yang sama, kerja dalam sebuah tim harus bisa menerima perintah atasan atau ketua. Akan lebih sulit menjadi pimpinan karena, harus tegas dan bijak dalam segala hal. Jika kamu bisa, maka kamu layak menjadi seorang pemimpin. Dan yang paling penting kerja itu untuk kamu nikmati, bukan malah kamu jadikan beban."
Â
Â
Penutupan
2 tahun lalu saat aku pulang liburan hari raya Idul Fitri, aku sedang duduk bersama ayahku di dapur. Kami berdebat tentang banyak hal hingga kami berbicara tentang masa depanku, beliau berkata, "Ayah hanya ingin kamu lebih baik dari ayah dari segala hal, ayah memang tidak bisa menjadi ayah yang seperti kamu inginkan dulu. Ayah hanya ingin kamu belajar dan menjadi orang yang dapat kamu banggakan, bukan untuk ayah, ibu atau keluarga, tapi untuk dirimu sendiri. Kamu yang menjalaninya hingga akhir, ayah dan ibu hanya menjaga dan mengajarimu sebisa kami hingga kamu pergi meninggalkan kami dengan keluargamu nanti."
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat itu, aku hanya bisa menangis dan memeluk ayahku meminta maaf dan mengucapkan terima kasih. Malam itu aku tidur bersama ayahku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H