Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gigolo

28 Februari 2014   02:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:24 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelangi jingga menyembul di ufuk timur Pantai Ancol. Bumi memuntahkan isi perutnya tak henti-henti. Air mengalir menutupi jalan-jalan protokol. Luapan anak sungai tak kuasa menampung semburannya yang semakin ganas. Letupan-letupan kemarahan akan polah tingkah manusia hampir menenggelamkan seisi kota.

Kamu menatap jauh ke ujung laut. Berkaca mata hitam, berkaos oblong warna putih yang menyembulkan kekekaran ototmu.Matamu berbinar menerawang. Kalau saja rembulan malam menghampiri tubuhmu, tentu saja sumringah jalangku menjalar menjilati wewangianmu. Tapi kau membisu, membiarkan lambaian dedaunan palm menyentuh ragamu.

Pantai ini terbentuk dari kegigihan sang pemimpin untuk memiliki daerah wisata. Dulu, ia hanya berupa hutan bakau yang banyak menghidupi makhluk air serta amphibi. Ada yang jinak ada yang buas. Tapi bagiku itu semua karunia alam yang disampaikan secara terang benderang, bahwa manusia tidak bisa hidup dalam habitat yang sama. Porak poranda dari kerakusan manusia sejatinya dapat tersadarkan manakala alam mulai melancarkan serangan baliknya.

Tujuh pekan menyusuri tepian Ancol untuk mengikis kenangan masa lalu ataupun yang baru saja berlalu. Deburan ombak, terumbu karang, cotage-cotage, cafe-cafe malam sampai hiburan-hiburan yang mengabadikan kenangan bersama sudah mentasbihkan ingatan sendu, sepertinya kita sudah saling melupakan kenangan sesaat.

==##==

Sudut buramnya kota Jakarta mengenalkan cerita pilu. Uang berhamburan di atas tempat tidur mewah ataupun kusam di sudut kamar usang. Dilempar begitu saja gepokkan atau lembar demi lembar dari nikmatya nirwana palsu sebuah delima nirmala. Ketika aku tersudut oleh manisnya dosa tak berampun hingga terkubur dalam lupa.

Kau tetap diam membisu seribu bahasa. Di pelataran musium tua milik penyair terkenal yang tak terurus, menjerumuskan kita, suka atau tidak, kita tak akan bersatu selamanya.

”Kamu asli Palembang?” Suaramu penuh wibawa menghangatkan naluriku tiba-tiba.

”Eh…. Iya, campuran. Ayahku Turki” kataku terbata

”Tak disangka ya, orang tuamu bisa bertemu?” ujarmu melepaskan senyum menebarkan pesona dari balik kaca mata hitam. Kemilau gigimu berbaris rapat menghentakkan desahan yang menggelorakan dada.

”Iya, Ayahku dulu berdagang sampai ke Palembang, hingga mereka bertemu dan akhirnya menikah”

”Waahh...hebat….”

”Ayahku pun berpindah kewarganegaraan”

”Luar biasa. Tak banyak orang pribumi yang sukses menikah dengan lelaki asing. Banyak dari mereka yang meninggalkan isterinya untuk kembali ke negara asal. Contohnya ayahku. Dulu dia diplomat Swedia yang ditugaskan di Indonesia. Menikah dengan ibuku yang bekerja sebagai tukang terjemahnya, lalu mereka berpisah setelah ayah kembali ke negaranya. Ayahku dari jenis lelaki yang memandang perempuan tak lebih dari pemuas nafsu belaka” bisikmu kala itu sambil menyeka pusaran matamu yang bertelaga. Tapi kau segera tertawa, seolah ingin melepaskan beban yang kurasa sangat berat.

”He he.... Kamu sempurna, sangat jantan!” pujiku ketika mendapatkan kemampuanmu menularkan riang menghapus lara.

”Ah, biasa saja, aku hanya menikmati kegelapan kala gelap, dan menikmati terang kala terang”, katamu yang bagiku sudah cukup untuk menangkap liarnya birahi dari sosok tegapmu.

”Lalu kenapa kamu tidak menyusul ayahmu? Bukankah di sana lebih hidup dalam dunia yang sebenarnya?” tanyaku menyergah dengan posisi sedikit merapat ke arahmu.

”Klise, saat itu aku lebih dekat ke ibuku. Lagi pula, ayah banyak meninggalkan harta dan usaha yang memerlukan generasi penerus. Tetapi Ibu, setelah Ayah pergi, berpindah ke beberapa pelukkan lelaki lain, hingga akhirnya aku tidak mengenalinya lagi” jawabmu singkat.

”Itukah yang membuatmu berkeliaran dari hotel ke hotel?” tanyaku lagi

”Salah satunya. Aku dendam pada Ibuku, juga dendam pada Ayahku. Banyak wanita yang membutuhkan aku, mereka bertebaran dimana-mana, mencari kenikmatan sesaat. Dari lelaki penjaja cinta yang sekaligus haus kenikmatan dan kasih sayang. Dan aku memenuhi kriteria itu.Di musim penghujan seperti ini, hotel mewah diserbu para pengunjung. Dan aku menyelam ke dalamnya. Aku sangat menikmati. Hingga akhirnya aku butuh senyap, yang mendekatkan aku ke kamu”. Ceritamu yang membuatku merinding tapi menikmati desiran dari sentuhan demi sentuhanmu. Sunyi mencekam malam. Hujan tak kunjung reda, tiupan pusaran angin seakan menyahut lengkingan tubuhku. Dalam basah, dalam simbah keringat, dalam asmara yang terlepas pasrah di pacuan kudamu.

==##==

Pertemuan berikutnya. Masih diiringi gemuruh angin yang menghantarkan hujan di peraduan malam. Luapan Sungai Pesanggerahan membuat penduduk Ulujami bersiaga banjir. Air tak dapat dijinakkan apalagi untuk dijadikan teman. Udara dingin menusuk tulang belulang. Tapi kehangatan yang engkau berikan mampu menghalau angin memancarkan gejolak dari darah yang bergelora.

”Dapatkah kita hidup bersama?” tanyamu sambil menatapku tajam

Permintaanmu tiba-tiba. Mustahil kuterima, tapi mustahil juga kutolak. Tapi aku merapat ke arahmu. Kubiarkan gelap membayangi cahaya. Kita berpagut saling merengkuh. Mengusir dingin yang sudah terlebih dahulu pergi. Seperti sepasang kekasih yang berjalan di bawah rinai hujan hingga gerimis reda menampakkan dada yang bidang di hamparan permadani merah. Ah, kita seakan terlelap dalam gelapnya malam hingga menjadi masai.

”Aku ingin pergi jauh” Ucapmu tanpa kuduga sama sekali

”Hah, serius?” tanyaku meyakinkan diri sendiri

”Apa aku kelihatan main-main?” kamu balik bertanya

”Tidak. Tapi….”

”Ya. Aku mau menetap di Swedia….”

”Secepat itukah?”

”Maksudmu?”

”Kita baru menikmati kebersamaan ini. Aku begitu bergairah merasakan dunia membentang luas di hadapan kita. Dentuman irama lagu yang mengaransemen musik indah akan kita jemput. Kita dikepung musim semi yang menyingkap tabir gelap di ranah yang kita tuju, kenapa kamu akan membelokkan arah itu?”

”Oh tidak, aku tak sanggup menikmati keromantisanmu. Aku tak mau terikat dalam rasa, juga tak bisa bertekuk lutut pada teduhnya tatapanmu”

”OK. Maaf atas kenaifanku padamu”. Aku hanya terdiam, namun membiarkan gairahmu memagut sepiku. Aku harus menerima kemungkinan apapun yang akan terjadi.

==##==

Paginya, aku menatap jauh lewat jendela hotel. Lalu lalang para penduduk kota liar berhamburan. Deru mesin-mesin berbaur asap kenderaan mencemarkan birunya langit, seperti awan berarak menutupi beningnya sang surya.

Lalu aku membalikkan badan. Kulihat kamu masih pulas dalam tidur lelahmu. Setelah semalam kita bercumbu menyatukan rasa dari butiran debu yangterbina. Wajah teduhmu membuatku tak kuasa melepas kepergianmu. Aku ingin menjadi milikmu. Dan kamu adalah milikku. Tak peduli dengan suara bising beragam kata yang menyelinap memekakkan telinga. Tak peduli cahaya malam semakin melepuh. Tak peduli para pertapa sakti mulai turun gunung meninggalkan senyap. Aku membayangkan lelaki-lelaki letih masih memanjakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat untuk menghilangkan penat dengan kesenangan yang tak bertara.

Tiba-tiba matamu terbuka. Pagi yang cerah telah mengulum senyummu. Aku beringsut mendekat ingin menyampaikan bahasa tubuh yang terdalam. Suaramu bergumam, lalu menyambut uluran tanganku. Kitapun terpacu dalam gejolak jiwa yang tak berkesudahan.

”Maafkan aku, aku bukanlah dari keluarga yang harmonis. Sebenarnya, Ayahku pun pergi meninggalkan Ibu. Sejak itu, Ibuku tak pernah menikah lagi. Sampai usia tua menghadangnya, ia tersingkir dan tak dapat lagi melanjutkan hidup yang menyengsarakannya selama bertahun-tahun. Aku juga benci dengan Ayahku. Kalau saja sekarang aku dapat berjumpa ia, maka belatiku akan siap menyergapnya”, kataku membuka cerita penuh nada kebencian.

”Aku berlari ke Jakarta ini. Terjepit dalam sempitnya pilihan. Sampai sebuah tawaran manis menghantarku, seseorang menawarkan pekerjaan yang menantang di sebuah rumah produksi. Lalu aku berkenalan dengan banyak laki-laki yang ternyata begitu nafsu ingin menerkam tubuhku”. Lanjutku seraya menunduk, lalu mengumbar senyum hambar karena ujung hidungku mulai memerah menahan banjir air mata.

Dengan suara tercekat aku katakan bahwa mereka memasukkan obat perangsang ke dalam kopi yang mereka sediakan untukku. Hingga di malam kejadian itu, aku tak ingat apa-apa lagi saat mereka melucuti pakaianku satu demi satu. Dan merusak jalan lurusku menjadi terbengkok dan berubah arah.

”Aku marah. Perih di tubuhku lebih perih lagi hatiku. Mereka menipuku. Aku diperlakukan tak ubahnya sebagai budak nafsu. Mau berontak sudah terlanjur jauh. Ingin pulang ke Palembang tidak mungkin, keluarga sudah sangat bangga karena aku dapat bekerja di Jakarta. Akhirnya, aku membiarkan diriku dalam hantaman kerja jahanam ini. Apalagi mereka selalu melemparkan uang ke atas tempat tidur begitu selesai memerah keringat dan menghisap darahku”.

Kamu merentangkan tangan kekarmu. Kujatuhkan tubuhku menikmati sentuhanmu.

”Untunglah akhirnya aku bertemu kamu. Aku pun yang tadinya hendak mengakhiri hidup melihat cahaya kembali. Tapi kini kamu ingin pergi jauh, meninggalkan kenangan begitu saja, seolah kamu sedang murka?” kataku

Kamu menepuk pundakku. Sebuah cara klasik menyudahi sebuah kisah panjang. Dalam dekapanmu, terasa semua getaran di sekujur tubuhmu. Seperti deburan ombak di Pantai Selatan yang keras menekan dadaku. Hingga menyembulkan rasa yang sangat aku kenali.

==##==

Awan berarak. Langit di Bandara Internasional Soekarno Hatta menampakkan birunya. Walaupun masih enggan, namun cerah sudah mengusir kelabu. Kamu membeku dalam diam. Matamu menatap nanar ke arahku. Pasti telaganya banjir andai saja kamu bukan laki-laki. Di sini, kita hanya saling menatap. Tak mungkin di keramaian ini harus ada pelukkan mesrah. Walaupun akhirnya pelukan itu datang juga, tapi hanya sekedar kehangatan selamat tinggal. Kamu kaku, aku pun kaku. Namun telingaku mendengar bisikanmu...

”Terima kasih Arnold. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku sanggup berbagi dari lubuk hati terdalam. Untuk pertama kalinya di sepanjang hidupku aku mampu mengurai air mata dihadapan seseorang. Aku takut, aku sudah jatuh cinta padamu” parau kurasakan suaramu menggema di dadaku.

Aku hanya dapat menatapmu, lalu memberikan pelukan layaknya dua lelaki normal yang bersahabat erat. ”Jangan lupa hubungi aku setelah sampai di Swedia nanti, Robby” suaraku serak sambil menepuk pundakmu.

Kakiku terpaku, mataku hanya menatap sendu menghantar tubuhmu yang berjalan gontai memasuki lorong panjang menuju pesawat. Kita semakin menjauh, tapi bathinku seolah terus mendengar suaramu memanggil namaku. Akupun terguncang hebat. Serasa peluru tajam datang menerjang mengganggu asaku. Pikirku pun berkata, ”mungkinkah aku juga sudah jatuh cinta padamu, Robby?.”

Setelah sosokmu menghilang tertelan pintu pesawat, telepon digenggamanku bergetar. Seseorang ingin berbicara padaku.

”Papa, kapan papa pulang ke Palembang? Anak-anak sudah kangen sama papa” suara merdu diujung telepon milik isteriku terdengar riang. Ia meluapkan kegembiraannya dengan mengload speaker telepon untuk didengar anak-anak. Aku pun bercengkerama dengan mereka. Tapi tak ada yang tahu, bahwa.. jauh di lubuk hatiku mengaung tangisan pilu mengiringi kepergian Robby. Sementara di belakang dinding yang lain, sebuah telaga sedang membanjiri rindu akan kehadiranku dalam pekatnya malam kota Palembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun