Pemandangan yang membuatnya terpukau. Anak-anak sedang duduk-duduk di atas dahan. Di setiap pohon, ada seorang anak kecil. Pohon-pohon itu kembali dipenuhi bunga, dan ranting mereka mengayun ke kiri dan ke kanan di atas kepala anak-anak. Burung-burung beterbangan di ketinggian, dan berkicauan gembira. Bunga-bunga mengintip dari sela-sela rumput hijau dan tertawa bahagia.
Tapi di sudut taman, Musim Salju masih enggan pergi. Di ujung sana, berdiri seorang anak laki-laki kecil. Tubuhnya mungil. Susah-payah sang anak mencoba meraih ranting pohon di atasnya. Sembari menangis, ia berjalan memutari pohon. Â Pohon itu masih tertutup es dan salju, dan Angin Utara masih menderu-deru.
  "Ayo naik, Nak," ajak sang pohon, seraya merebahkan rantingnya serendah yang ia bisa. Sayang, sang anak terlalu mungil.
  Dan hati Rawana yang membatu pun melembut ketika melihat semua itu.
  "Selama ini, hanya kepentinganku yang aku pikirkan! Mengerti aku kini mengapa Musim Semi tidak ingin ke mari. Karena aku hanya peduli dengan diri sendiri."
  Diam-diam ia turun dari lantai atas, dan perlahan-lahan sekali pintu depan kastil ia buka. Ia masuk ke taman. Anak-anak menoleh ke arahnya, lalu menghambur pergi. Musim Dingin pun kembali ke taman.
  Hanya anak laki-laki itu yang tidak beranjak. Ia masih tersedu; tak dilihatnya Rawana menghampiri. Diam-diam, Rawana mendekatinya dari belakang, lalu mengangkatnya perlahan dengan tangannya yang raksasa. Diletakkannya sang anak di atas pohon.
  Dalam sekejap pohon itu pun berbunga, dan burung-burung datang dan berkicau riuh. Si mungil mengulurkan tangan dan merangkulkannya ke sekeliling leher Rawana. Diciumnya sang raksasa.
  Anak-anak yang lain terpana menyaksikan itu. Sesaat kemudian, mereka kembali berlarian riang masuk ke taman. Dan Musim Semi masuk bersama mereka
  "Taman ini milik kalian sekarang, Anak-Anak," kata Rawana. Ia kemudian merubuhkan tembok di sekeliling taman.
  Sepanjang hari itu, anak-anak bermain di taman, dan ketika sudah sore mereka berpamitan.