Hanya Salju dan Es yang bersuka-ria.
  "Musim Semi lupa dengan taman ini," kata mereka. "Mari kita tinggal di sini sepanjang tahun."
  Salju menghamparkan jubahnya di atas rerumputan, sementara Es mewarnai pepohonan serona perak. Mereka lalu meminta Angin Utara untuk tinggal bersama mereka. Ajakan diterima. Sepanjang hari Angin Utara membuat gaduh di taman yang beku.
  "Sungguh nyaman tempat ini," ujarnya. "Ayo kita ajak Hujan ke mari."
  Hujan pun memenuhi undangan. Setiap hari, selama tiga jam, Hujan menghantami atap kastil sampai nyaris runtuh. Kemudian ia berlarian di seputar taman secepat ia bisa. Jubahnya kelabu, dan nafasnya memburu, bak es yang membikin beku.
  "Tak mengerti aku kenapa Musim Semi tak juga datang," kata Rawana. Dilayangkannya pandang ke arah tamannya yang kini dingin memutih.
  Tapi Musim Semi tak kunjung tiba. Musim Panas pun begitu. Saat Musim Gugur menebar buah keemasan ke semua taman, taman Rawana dilewatinya begitu saja. Maka tinggallah di sana Musim Dingin. Angin Utara dan Hujan bersama Es dan Salju tak lelah-lelahnya hilir-mudik berlalu di sela pepohonan.
  Satu pagi, ketika tengah berbaring-baring di peraduan, Rawana mendengar alunan musik yang merdu. Cuma nyanyian seekor burung kuning kecil di luar jendela, sebetulnya. Tapi di telinganya, suara itu bagai alunan musik terindah di dunia.
  Tak lama kemudian, Hujan berhenti menari di atas kepala, dan Angin Utara berhenti berhembus. Ada wangi segar menyusup masuk dari celah jendela kamar.
  "Aku yakin, Musim Semi datang juga," kata Rawana. Segera ia bangun dan turun dari tempat tidurnya untuk melihat ke luar.
  Apa yang ia lihat?