"Tapi di mana teman cilik kalian?" tanya dia. "Anak laki-laki yang Bapak naikkan ke atas pohon?"
  Rasa sayangnya pada anak itu begitu besar. Sang anak yang memberi Rawana kecupan.
  "Kami tidak tahu," jawab anak-anak. "Dia pergi tadi."
  "Tolong beri tahu dia supaya datang ke sini lagi besok," pinta Rawana.
  Tapi anak-anak tidak tahu tempat tinggalnya. Rawana sangat sedih.
  Setiap siang sepulang sekolah anak-anak datang dan bermain bersama Rawana. Namun anak kecil kesayangan Rawana tidak pernah lagi tampak.
  Tahun-tahun berlalu, dan usia Rawana semakin lanjut. Ia kini sudah sangat tua dan lemah. Tidak kuat lagi dia bermain-main. Ia hanya duduk di bangku besarnya. Dipandanginya taman itu, dan diperhatikannya anak-anak yang sedang asyik di sana.
  "Bunga di taman Bapak banyak yang indah," ujarnya, "tapi kalian anak-anaklah bunga tercantik dari semua bunga."
  Pada satu pagi di musim yang membekukan ia melongok ke luar jendela. Ia tidak lagi membenci Musim Dingin. Ia tahu, Musim Semi sedang tidur - bunga-bunga tengah beristirahat.
  Tiba-tiba sesuatu yang janggal dilihatnya. Di salah satu sudut taman ada sebatang pohon. Bunga-bunga putih menutupi pohon tadi. Cabang dan rantingnya keemasan dan buah-buahan warna perak menggelantung.
  Anak lelaki kecil yang Rawana kasihi tampak berdiri di bawah sana. Rawana turun dan ke luar menuju taman. Dilintasinya lahan berumput, dan begitu sudah dekat, ia bertanya, "Siapa yang menyakiti kamu?"