"Jadi itu sudah terjadi?"
"Ya, begitulah."
"Seharusnya aku melihat mereka kau lempari dengan tahimu sendiri."
"Tahiku terlalu berharga untuk itu. Lebih baik itu kujadikan pupuk dan pohon-pohon memakannya begitu saja."
Aku tidak tahu apa yang Pak Olan perbuat karena aku sudah telanjur undur diri dari kelompok ini, dan pada hari-hari terakhir tidak terlalu banyak terlibat dalam kegiatan. Selama tiga tahun seharusnya kontribusiku sudah cukup di sini, aku harus menjelajahi kehidupan lain.
Di hari terakhirku, aku memutuskan untuk ikut serta dalam acara menanam pohon di hutan yang telah digunduli. Hutan itu rencananya akan dibangun sebuah gedung yang megah, menjadi semacam hotel yang diharapkan menarik perhatian para turis. Sayangnya itu adalah hutan terakhir di daerah itu, dan kami sudah pasti harus turun tangan untuk melindunginya.
Saat itu, kami yang berjumlah dua ratus anggota, mencoba menghentikan aksi penambangan. Pak Olan maju paling depan. Ia tidak gentar sekali pun dengan keganasan mesin-mesin pemotong itu bersama orang-orang kekar yang memeganginya. Ketua kami sedang berdiskusi dengan orang yang mungkin dianggap sebagai ketua proyek. Obrolan berlangsung tenang, Pak Olan geram karena dia tahu itu tidak menghasilkan apa-apa.
Pak Olan masih beradu mulut dengan keras hati melawan mesin-mesin berat tersebut. Ia diiringi oleh anggota lain yang kadung emosi. Muskil rasanya menghentikan tindakan kami. Seorang dari mereka, yang berbaju tampak lebih rapi dan bersih, datang menghampiri kami.
"Kami sudah mendapat izin dari pemerintah."
"Bukan itu masalahnya, yang kalian perbuat ini akan merugikan diri kalian sendiri," ketua kami masih dengan tenang berbicara.
"Atasan sudah memberi perintah, izin dari pemerintah sudah kami terima, kalian tidak bisa berbuat apa-apa meski membawa ratusan pohon ke sini."