"Betul, dia bebas memaki semua orang, walau ada keraguan, dia tetap melakukannya."
"Kemerdekaan itu yang tidak kudapat di sini."
"Ah, para 'tahi' itu ya?"
"Ya. Mereka makin lama makin menjengkelkan."
Pak Olan rela melakukan apa saja yang diperintahkan ketua kami. Sayangnya, di usianya yang sudah lebih dari lima puluh tahun, pikirannya jadi semacam batu bebal di kepala. Batang otaknya mungkin sudah serupa kumpulan kerikil yang menyatu dan mengeras karena direkat oleh semen.
Baginya, ketua kami terlampau memanjakan anggotanya bahkan musuh-musuhnya sekalipun. Padahal dia tahu suatu saat kelompok ini bisa hancur jika hal seperti itu dibiarkan. Pak Olan mengatakan sudah bagus aku pergi dari sini, dan menyarankan untuk mencari tempat yang tidak banyak orang busuknya.
Pada hari terakhir berada di kelompok ini, aku membereskan buku-buku yang ada di meja kerja. Di sini setiap anggota harus dituntut serba tahu, dan itu tidak hanya pengetahuan soal pohon semata. Kami dituntut untuk memahami soal manusia, dan saat itu juga aku sering membaca buku-buku penulis yang menerakan soal pemikiran manusia karena hidup pohon bergantung dari keputusan manusia. Kami melindungi pohon-pohon yang bisa kami lindungi, dan dengan pengetahuan yang kami punya sudah banyak pohon yang terjaga hidupnya. Ah, kenangan membaca bersama ini membuat hatiku masygul mengenangnya.
Kami sudah banyak menyelamatkan pohon dari berbagai ancaman. Pohon-pohon yang ada di hutan hingga pinggir jalan tak luput dari jalan keselamatan kami. Kami sukses, tetapi Pak Olan tidak pernah puas.
"Padahal masih banyak pohon yang bisa diselamatkan," begitu kata Pak Olan saat menghampiri meja kerjaku. Aku mengembalikan beberapa buku yang kupinjam darinya, dan begitu juga yang dia perbuat.
"Lantaran kau tidak merdeka, bukan berarti kau tidak bisa berbuat apa-apa," ucapku sambil memasukkan buku ke dalam kardus.
"Aku sudah merdeka."