Ketika aku berhasil menebak nama yang sedari tadi dia bicarakan, seketika itu kata 'tahi' keluar dari mulutnya. Bersamaan dengan cipratan liur bening, ia kembali mengumpat-umpat saat mendengar nama orang itu kedua kalinya. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan ia meludah setelah nama itu tiga kali dia dengar. Emosinya meninggi, dan seketika meninju angin dengan sia-sia.
Parkiran kantor, tempat kami berdua duduk dan berbincang, terasa semakin panas. Dari luar pintu parkir aku melihat satpam sedang berteduh di tengah terik matahari, sembari mengibas-ngibaskan kertas koran, dan berharap itu cukup untuk mengeringkan peluh yang menguar. Mobil silih berganti keluar dan masuk, tetapi Pak Olan masih saja mengumpat-umpat orang-orang yang dia benci.
"Kau tahu, orang-orang di sini hampir semuanya tahi!"
"Aku baru tahu itu. Aku terkejut dengan nama yang kusebut barusan."
Sorot matanya tiba-tiba menajam. Pandangannya memicing melihat ke sekitar mobil, dan dengan tatapan itu aku bisa membayangkan mobil itu sudah habis terbakar.Â
"Kalau ada yang baunya lebih busuk dan lebih menjijikan dari tahi," dengan nada yang mulai pelan dan bibir bergetar Pak Olan melanjutkan, "mungkin aku akan menyematkan julukan itu padanya."
Namun, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Pak Olan. Ketua Kelompok Pecinta Pohon mencintai semua anggotanya, dan sekalipun dia tahu ada orang-orang brengsek di sini, ia tak pernah mengubah perasaannya. Mungkin sudah lelah Pak Olan menceramahi ketua kami, tetapi tidak ada reaksi yang diharapkan, dan di lain sisi dia hanya menyuruh semua orang bersabar.
"Rasa-rasanya posisiku menjadi tidak berguna di sini. Sebagai seorang penasihat, seharusnya aku di dengar."
"Ah tentu saja, padahal kau orang yang cerdas."
"Tepat sekali."
Pak Olan merogoh saku kanan kemejanya, mengambil sebatang rokok, dan kemudian mengapitnya. Tarikan nafasnya cukup panjang kala rokok itu dinyalakan. Asap diembuskan ke atas, pandangannya mulai menerawang.
"Seandainya. Seandainya aku memiliki kesempatan," Pak Olan mengharap sambil mengisap kumpulan tembakau itu. Aku mengikuti kemudian, kami berdua memenuhi parkiran itu dengan asap rokok.
"Kesempatan seperti apa yang kau inginkan?" Aku berharap tidak ada jawaban darinya. Tubuhku sudah cukup lelah, aku ingin istirahat.
"Saat istriku tidak menahanku, aku bisa tenang."
"Kau bukan orang yang setenang itu," mendadak suaraku melengking tinggi.
"Kalau begitu sudah kuhabisi duri-duri dalam daging itu. Tahi yang membuat kelompok kita bau."
"Kenapa tidak kau habisi sendirian saja?"
"Biasanya ikan busuk dari kepala, tetapi ini dagingnya sudah busuk lebih dulu."
Tidak banyak yang kutahu soal orang-orang yang dia sebut 'tahi' itu. Bahkan obrolanku dengan Pak Olan terjadi baru-baru ini. Selama tiga tahun bergabung, aku jarang mengobrol dengannya. Di saat aku mengajukan pengunduran diri dari kelompok ini, barulah dia sesekali datang menghampiriku.
Aku ingat hari itu. Ketika aku sedang sendirian saja di depan hotel, saat kelompok ini merayakan hari jadinya, dan ketika aku mengisap sebatang rokok, dia berdiri di sebelahku meminjam korek. Tiba-tiba kami jadi saling tahu bahwa kami membaca buku yang sama. Dia pengagum Anton Chekhov, demikian juga dengan diriku. Dia pernah menyarankanku untuk membaca Catatan Bawah Tanah, karya Fyodor Dostoevsky jika ingin mengenal dirinya lebih dalam.
"Kau orang yang cerdas, di sisi lain kau orang yang emosional."
"Begitulah, aku sangat mengagumi si narator dalam buku itu."
"Betul, dia bebas memaki semua orang, walau ada keraguan, dia tetap melakukannya."
"Kemerdekaan itu yang tidak kudapat di sini."
"Ah, para 'tahi' itu ya?"
"Ya. Mereka makin lama makin menjengkelkan."
Pak Olan rela melakukan apa saja yang diperintahkan ketua kami. Sayangnya, di usianya yang sudah lebih dari lima puluh tahun, pikirannya jadi semacam batu bebal di kepala. Batang otaknya mungkin sudah serupa kumpulan kerikil yang menyatu dan mengeras karena direkat oleh semen.
Baginya, ketua kami terlampau memanjakan anggotanya bahkan musuh-musuhnya sekalipun. Padahal dia tahu suatu saat kelompok ini bisa hancur jika hal seperti itu dibiarkan. Pak Olan mengatakan sudah bagus aku pergi dari sini, dan menyarankan untuk mencari tempat yang tidak banyak orang busuknya.
Pada hari terakhir berada di kelompok ini, aku membereskan buku-buku yang ada di meja kerja. Di sini setiap anggota harus dituntut serba tahu, dan itu tidak hanya pengetahuan soal pohon semata. Kami dituntut untuk memahami soal manusia, dan saat itu juga aku sering membaca buku-buku penulis yang menerakan soal pemikiran manusia karena hidup pohon bergantung dari keputusan manusia. Kami melindungi pohon-pohon yang bisa kami lindungi, dan dengan pengetahuan yang kami punya sudah banyak pohon yang terjaga hidupnya. Ah, kenangan membaca bersama ini membuat hatiku masygul mengenangnya.
Kami sudah banyak menyelamatkan pohon dari berbagai ancaman. Pohon-pohon yang ada di hutan hingga pinggir jalan tak luput dari jalan keselamatan kami. Kami sukses, tetapi Pak Olan tidak pernah puas.
"Padahal masih banyak pohon yang bisa diselamatkan," begitu kata Pak Olan saat menghampiri meja kerjaku. Aku mengembalikan beberapa buku yang kupinjam darinya, dan begitu juga yang dia perbuat.
"Lantaran kau tidak merdeka, bukan berarti kau tidak bisa berbuat apa-apa," ucapku sambil memasukkan buku ke dalam kardus.
"Aku sudah merdeka."
"Jadi itu sudah terjadi?"
"Ya, begitulah."
"Seharusnya aku melihat mereka kau lempari dengan tahimu sendiri."
"Tahiku terlalu berharga untuk itu. Lebih baik itu kujadikan pupuk dan pohon-pohon memakannya begitu saja."
Aku tidak tahu apa yang Pak Olan perbuat karena aku sudah telanjur undur diri dari kelompok ini, dan pada hari-hari terakhir tidak terlalu banyak terlibat dalam kegiatan. Selama tiga tahun seharusnya kontribusiku sudah cukup di sini, aku harus menjelajahi kehidupan lain.
Di hari terakhirku, aku memutuskan untuk ikut serta dalam acara menanam pohon di hutan yang telah digunduli. Hutan itu rencananya akan dibangun sebuah gedung yang megah, menjadi semacam hotel yang diharapkan menarik perhatian para turis. Sayangnya itu adalah hutan terakhir di daerah itu, dan kami sudah pasti harus turun tangan untuk melindunginya.
Saat itu, kami yang berjumlah dua ratus anggota, mencoba menghentikan aksi penambangan. Pak Olan maju paling depan. Ia tidak gentar sekali pun dengan keganasan mesin-mesin pemotong itu bersama orang-orang kekar yang memeganginya. Ketua kami sedang berdiskusi dengan orang yang mungkin dianggap sebagai ketua proyek. Obrolan berlangsung tenang, Pak Olan geram karena dia tahu itu tidak menghasilkan apa-apa.
Pak Olan masih beradu mulut dengan keras hati melawan mesin-mesin berat tersebut. Ia diiringi oleh anggota lain yang kadung emosi. Muskil rasanya menghentikan tindakan kami. Seorang dari mereka, yang berbaju tampak lebih rapi dan bersih, datang menghampiri kami.
"Kami sudah mendapat izin dari pemerintah."
"Bukan itu masalahnya, yang kalian perbuat ini akan merugikan diri kalian sendiri," ketua kami masih dengan tenang berbicara.
"Atasan sudah memberi perintah, izin dari pemerintah sudah kami terima, kalian tidak bisa berbuat apa-apa meski membawa ratusan pohon ke sini."
"Aku yakin kalian akan menyesalinya, lebih baik dihentikan saja."
Pak Olan yang tadinya di sebelahku mendadak hilang. Aku masih mengamati ketua kami dan sang mandor berdiskusi dengan tenang. Tak begitu lama aku mencium bau yang kurang enak, dan asalnya dari sebelahku. Padahal asap rokokku baunya sudah menyengat, tetapi ini berbau sangat busuk.
"Kau yakin melakukan ini?" Tanyaku gamam.
"Tenang saja, ini akan berlangsung cepat."
Aku melihat Pak Olan berdiri dengan tenang, sambil menggenggam sesuatu yang berlendir dan berwarna hitam. Kemudian ia berjalan sejenak, tenang, dan mematikan suara langkahnya. Ia lemparkan gumpalan busuk itu, tepat di wajah ketua kami. Lalu menyeret-nyeret tangannnya di sepanjang baju milik ketua hingga tangannya bersih. Diraihnya lembaran kertas dari sang mandor, dan dibakar dengan korek api miliknya. Sambil berteriak dia menyuruh kami segera melaksanakan penanaman pohon, seketika itu juga kami menuruti perintahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H