*Ini tulisan pernah dimuat di www.seluang.id yang saat itu, Aina, masih belum mendapatkan hati yang baru. Sekarang, Aina sudah mendapatkan hati yang baru, dan tumbuh menjadi anak yang sehat di Cirebon.
***
Sore itu, saya bergegas mencari tukang ojeg. Nafas Nasywa sudah tersengal. Ini tidak seperti biasanya. Saya jadi pelupa.
Tiket kereta tidak ada di dalam tas yang saya bawa. Saya telepon suami, mengabarkan keadaan kami yang terkatung-katung di Stasiun Bekasi yang padat itu dengan uang tunai tak lebih dari Rp 15 ribu.
Sekitar 30 menit, suami datang. Sekira pukul 15.00 wib, kami naik kereta listrik jurusan Bekasi-Jakarta Kota.
Nafas Nasywa makin sering tersengal. Saya peluk dalam-dalam dan sesekali berdoa, Tuhan, selamatkan anak saya,.
Entah di stasiun mana, Nasywa batuk. Dan seketika, kami kehilangan putri kedua kami di dalam kereta yang akan membawa kami menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ingin berteriak di dalam kereta yang melaju bagai siput, saya tak berani. Ingin menangis, tapi saya tahan sekuat mungkin.
Saya memilih membendung air mata yang kapan saja keluar dari mata saya.
Dengan sekuat hati, saya tahan semua kesedihan itu. Mendekap Nasywa yang sudah tak lagi bernyawa di atas kereta, 26 Juli 2016.
***
Lilik Fauziah terduduk lemas di sudut sebuah rumah sakit swasta di Kota Cirebon, Jawa Barat.Â
Siang itu, dokter mendiagnosa putri pertamanya, Aina Thalita Zahran mengalami gangguan fungsi hati kronis atau Atresia Bilier.Â
Kebingungan terkait penyakit yang menyerang putrinya membawa Lilik Fauziah sampai kepada nama Bilqis Anindya Passa, bayi 17 bulan yang juga terkena Atresia Bilier.
Biaya pengobatan yang fantastis dan harus dioperasi di Jepang, membuat Lilik dan suami tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
"Uang darimana, biaya mahal. Sampai satu miliar," kata Lilik.
Seolah tak mau menyerah, pasrah, Lilik terus memburu informasi terkait penyembuhan Atresia Bilier yang menimpa buah hatinya itu.Â
Kata dokter, di Jakarta ada. Hanya di RSCM. Saya bingung, di Jakarta kami tak punya siapa-siapa, ungkap Lilik sambil sesekali mengelus perut Aina Thalita Zahran yang semakin membuncit.
Akhirnya, demi kesembuhan Aina, Lilik Fauziah pergi ke Jakarta. Pada usia 6 bulan, Aina dibawa ke Jakarta, kota yang kelak akan ia diami selama 2 tahun lebih.
Menjalani masa-masa paling sulit di Rumah Singgah Pejuang Hati.
***
Tuhan punya rencana lain. Meski Nasywa sudah tidak bernyawa lagi, saya dan suami tetap membawa jasad Nasywa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Dokter memberikan tindakan medis sesuai standar operational procedure. Dan sekali lagi, saya melihat wajah polos Nasywa dengan bantuan selang dari hidung.
Di RSCM, Nasywa dirawat dan menjalani operasi kasai, pembuatan saluran dari hati dan empedu ke usus dua belas jari.
Di RSCM, Nasywa dipastikan sudah tak bersama kami. Di saat itulah, saya menangis.
Saya terpuruk. Saya terpukul. Saya merasa gagal menjadi seorang ibu, menyelamatkan anak kandung sendiri.
Saya tak mengira, Atresia Bilier bisa merenggut nyawa Nasywa di usia 11 bulan.
***
Tak ada yang aneh selama masa kehamilan putri kedua kami. Setiap pergi ke bidan, setiap di ultrasonografi (USG), bidan tak mengabarkan adanya kelainan.
Bahkan, Nasywa lahir dengan berat badan 3,6 kilogram dan panjang 48 centimeter. Normal untuk ukuran bayi yang sehat.
Tapi tuhan menyimpan sesuatu di dalam tubuh bayi perempuan saya. Tanggal 20 Oktober 2015, tepat di usia 1 bulan 20 hari, Dr. H F Wulandari SpAK, melakukan tindakan US abdomen atau hati 2 fase dengan hasil, Nasywa Aliyah Husna mengalami gangguan fungsi hati kronis atau Atresia Bilier.
Hati tidak membesar, parenkim masih homogen, tepi rata, ujung kaudal masih tajam, ekogenisitas tidak meningkat, sistem vaskuler  bilier tidak melebar.
Kandung empedu saat puasa 4 jam berisi cairan, berdinding regular, berbentuk oval, berukuran 0,5 cm, dan triangular cord tidak tampak.
Saya membaca hasil US abdomen itu di ruang pemeriksaan di RS Hermina Bekasi. Saya jelas tak mengerti istilah-istilah medis yang tertulis pada secarik kertas yang diberikan dokter kepada saya.
Yang saya pahami, hati Nasywa tidak berfungsi normal. Dan gangguan itu harus ditanggung bayi usia 1 bulan 20 hari.
***
Siang itu, di Rumah Singgah Pejuang Hati, Jakarta, Lilik Fauziah sedang menemani Aina bermain.
Sesekali, Aina meminta minyak kayu putih kepada Lilik untuk diusapkan di kakinya yang kulitnya mulai menghitam.
Dengan telaten, Lilik ikut mengusapkan minyak kayu putih ke kaki Aina.
"Hampir dua tahun saya tinggal di rumah singgah ini. Menunggu hasil screening yang dijalani suami," kata Lilik.
Mata Aina sudah kuning tua. Perutnya semakin hari semakin besar. Sesekali, Aina merebahkan tubuhnya ke tubuh Lilik.
Lilik dengan ikhlas mengelus kepala dan tubuh Aina. Saya sempat diusulkan untuk menjadi pendonor hati bagi Aina, tapi gagal.
Harapan satu-satunya ada pada ayah Aina. "Saat ini, suami saya sedang menjalani proses psikiatri bagi calon pendonor", jelasnya.
"Aina menjadi penghuni terlama di rumah singgah pejuang hati. Teman-temannya ada yang sudah menjalani transplantasi hati, dan ada juga yang sudah meninggal," ungkapnya.
"Saya harus terus terlihat kuat di depan Aina. Tapi terkadang, saya ingin menangis di belakang Aina. Saya tak kuat melihat penderitaan Aina," imbuhnya.
***
Lilik Fauziah pamit pergi ke kamar untuk menemani Aina tidur siang. Raut wajah Aina memang terlihat sedih. Barangkali menahan rasa sakit yang teramat.
Di hidung Aina terdapat selang kecil menuju lambung. Fungsinya: untuk memasukkan susu yang rasanya tidak dia sukai, tapi harus dia konsumsi. Dan semua pasien Atresia Bilier menggunakan selang itu.
Tak aneh, jika pada wajah bocah-bocah tanpa dosa itu terlihat lilitan selang kecil.
Lilik menyalakan kipas angin yang menempel pada dinding kamar Rumah Singgah Pejuang Hati, rumah singgah yang menampung penyintas Atresia Bilier dari seluruh penjuru tanah air yang tengah menjalani proses penyembuhan.
Aina menangis. Sepertinya, dia merasa kepanasan.
"Saya ingin buru-buru pulang ke Cirebon. Kumpul bersama keluarga. Semoga, Aina segera mendapatkan hati yang baru," kata Lilik, sambil mengelus tubuh Aina.
Aina terlelap. Barangkali sudah tidak kepanasan lagi. Atau memang, sentuhan penuh cinta dari Lilik membuat Aina merasa nyaman dan sejenak tidak merasakan sakit.
***
Saya memberi nama Nasywa Aliya Husna dengan maksud, agar kelak anak kami menjadi penyemangat untuk terus menyebarkan kebaikan.
Tapi Tuhan punya rencana lain. Nasywa harus pergi untuk selamanya oleh penyakit yang sampai hari ini belum ada obatnya itu.
Jalan terbaik adalah cangkok hati. Meski keberhasilannya belum 100 persen.
Saya hanya bisa mengirim doa kepada Nasywa. Saya hanya bisa mengenang Nasywa meski hanya berumur 11 bulan melalui video yang tersimpan di ponsel saya.
Hanya itu cara saya mengenang Nasywa dan perjuangannya melawan Atresia Bilier meski pada akhirnya harus meninggalkan kami. Meninggalkan saya, ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H