Tujuh belas tahun yang lalu, kami sekeluarga memutuskan untuk tinggal di Desa Gema, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Alasannya sederhana, salah satu di antara kami menjadi pekerja tetap di Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Tak ada alasan lain yang lebih masuk akal.
Kami benar-benar menikmati tinggal di Desa Gema yang menurut kata sesepuh desa, pernah menjadi pusat perjuangan di zaman perang kemerdekaan dan pada masa perang PRRI-Permesta. Setiap akhir pekan, Desa Gema juga ramai dikunjungi wisatawan lokal yang ingin menikmati keindahan Sungai Subayang.
Desa Gema terbentuk pada 1962. Untuk membangun desa ini, warga bahu membahu selama 7 hari untuk membuka areal permukiman dan perkantoran. Desa Gema memang dipersiapkan untuk menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Jalan terbangun dengan baik, tata permukiman juga dirancang memiliki ruang gerak yang cukup.
Desa yang kami tinggali ini memiliki luas sekira 600 hektare. 15 persen berupa daratan yang berbukit-bukit dan 85 persen daratan dimanfaatkan untuk lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman.
Rasanya, kami tak salah memilih menghabiskan sisa umur di Desa Gema, desa yang memiliki udara yang sejuk, dan air sungai yang jernih. Nikmat hidup manalagi yang bisa kami dustai.
Tapi, itu 17 tahun yang lalu. Sebelum adanya pembalakan liar yang marak di Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling yang berjarak sekira 50 kilo meter dari Desa Gema.
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling menjadi kawasan hutan primer yang berada di wilayah Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Kawasan ini memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Rimbang Baling ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa oleh pemerintah daerah melalui Surat Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.149/V/1982 tanggal 21 Juni 1982 dengan luas 136.000 hektare. Sementara itu, kawasan hutan di Provinsi Riau seluas 5.392.336 hektare, atau sekira 80 kali luas DKI Jakarta.
Bayangan kami saat kali pertama tinggal di Desa Gema adalah memiliki hari tua yang indah. Tinggal di rumah dengan kesejukan alamnya. Melihat anak cucu tumbuh sehat dengan lingkungan yang bersih dan terjaga.
Tapi impian itu sirna ketika kawasan Rimbang Baling hancur akibat pembalakan liar tangan-tangan yang kurang bertanggungjawab. Akibatnya, Desa Gema dan sejumlah desa di sekitar Rimbang Baling menjadi kawasan yang kurang nyaman untuk ditinggali.
Udara yang tadinya sejuk, kini terasa sangat panas. Air yang tadinya jernih, kini keruh. Bahkan untuk melihat wajah sendiri di air pun tak bisa. Yang parah, jalanan yang tadinya bagus, kini hancur akibat banyaknya kendaraan pengangkut kayu yang melintas di desa setiap hari. Ya, setiap hari.
Hari-hari kami diliputi amarah yang tertahan.
Bukan kali ini saja pembalakan liar terjadi di wilayah kami. Jauh sebelum keluarga kami tinggal di Desa Gema, pembalakan liar sudah marak. Tepat saat Presiden Megawati Sukarno Putri menjabat, pembalakan liar sudah ada.
Setelah itu, saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, kegiatan pembalakan liar sempat berhenti. Sejenak, kami merasakan apa yang dulu pernah kami dapatkan. Udara yang sejuk, air yang jernih dan jalan yang bagus.
Tapi itu tak bertahan lama. Memasuki tahun ketiga, pembalakan liar kembali marak. Sungai kembali keruh, udara kembali panas. Pabrik-pabrik pun berdiri di sekitar Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
Sekali lagi, kami harus menghadapi situasi yang sulit. Alam yang kami jaga dengan susah payah dirusak begitu saja.
***
Deden Pramudiana, Peneliti di Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengatakan, pada tahun 2000, jumlah industri kehutanan yang beroperasi di Provinsi Riau mencapai 312 unit, terdiri dari industry kayu lapis (10 unit), sawmill (270 unit), moulding (27 unit), chipmill (3 unit) dan industri PULP dan kertas (2 unit).
Dinas Kehutanan Provinsi Riau, pada 2005 mencatat adanya kenaikan jumlah dan kapasitas industri kehutanan di Riau menjadi 576 unit dengan kebutuhan bahan baku mencapai 22,7 juta meter kubik per tahun (Laporan Akhir Penyusunan Model RPPEG Provinsi Riau, 2016).
"Hingga Desember 2019, industri pengelolaan kayu (industri primer) yang terdaftar dan melaporkan rencana dan realisasi penggunaan bahan baku secara online dan berkala ke dalam SIRPBBI hanya 24 unit," kata Deden.
Berdasarkan kajian Forest Watch Indonesia (FWI), Provinsi Riau sebagai wilayah dengan kehilangan hutan terluas dalam periode 2009-2013, yakni sebesar 620.000 hektare. Pada kurun waktu ini, kebijakan moratorium izin baru mulai diberlakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya degradasi dan deforestrasi hutan.
Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) maupun penatausahaan kayu di Provinsi Riau, JPIK melakukan serangkaian pemantauan di Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan industri kayu di Kecamatan Tratak Buluh, Kabupaten Kampar.
"Meski sudah ada beberapa oknum yang ditangkap pihak berwajib, aktivitas pembalakan liar tetap terjadi. Tindakan ini membuktikan penegakan hukum belum mampu menyasar actor kunci dan cukong kayu," kata Deden.
Pada November - Desember 2019, JPIK mendapat informasi dan pengaduan dari masyarakat yang tinggal di sekitar Rimbang Baling bahwa aktivitas penebangan liar di kawasan tersebut masih terjadi, meskipun aparat keamanan sering telihat keluar masuk kawasan.
"Masyarakat beberapa kali melihat oknum petugas (aparat hukum) ikut terlibat dengan menjadi backing dalam kegiatan penebangan liar, sehingga kayu hasil curian dengan mudah diangkut keluar dari kawasan Rimbang Baling," ucap Deden.
Untuk menindaklanjuti informasi dan pengaduan masyarakat, JPIK melakukan pemantauan di Desa Pangkalan Serai dan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar dan menemukan rakit-rakit kayu bulat (gelondongan) dihanyutkan melalui Sungai Tilan dan Sungai Subayang.
Dua desa ini menjadi salah satu sasaran para pelaku pembalakan liar karena desa tersebut memiliki anak sungai yang berhubungan langsung (bermuara) pada DAS Subayang, sehingga memudahkan dalam pengangkutan kayu. Kayu-kayu tersebut diangkut dan diedarkan ke sejumlah industri yang berada di Kabupaten Kampar.
"Kayu Meranti menjadi buruan pelaku pembalakan liar," kata Deden.
***
Menjelang petang, kami -- warga Desa Gema -- kerap menghabiskan waktu dengan berkumpul pada tepian Sungai Subayang. Silam, aktivitas berkumpul di tepian Sungai Subayang menjadi satu kegiatan yang menyenangkan.
Kami kerap membincangkan hal-hal ringan dan berat. Mulai dari masalah pekerjaan sampai masalah Negara. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Sebelum pembalakan liar marak di hulu sungai. Kami kehilangan ruang bertukar kabar. Kami kehilangan kenangan. Kami kehilangan harapan.
Debit sungai kami tak stabil. Hujan sebentar, air sudah meluap sampai tubir sungai. Tak jarang, desa kami kerap kebanjiran. Itu juga yang menjadi alasan kami pindah tempat tinggal di lokasi yang agak tinggi. Dari tempat yang lama, di Pelabuhan Desa Gema.
Silam, sekira tahun 2006, rumah yang kami tinggali kebanjiran. Air berwarna keruh itu masuk ke dalam rumah sampai setinggi pinggang orang dewasa. Dua kali kami mengalami kejadian itu. Kami waswas. Jika hujan sebentar saja, air pasti sudah masuk ke halaman rumah.
Kami tak nyaman. Debit air Sungai Subayang sudah tidak bisa kami prediksi. Sungai Subayang seperti mudah marah.
Agustus kemarin, terjadi banjir besar. Daerah pelabuhan terendam. Beberapa rumah juga terendam. Beberapa akses menuju desa tetangga terputus. Rumah kami tidak kena banjir, tapi pasokan makanan sempat lumpuh beberapa hari.
Kalau kerugian ekonomi secara langsung kami tidak ada. Tapi dengan debit air yang seperti beberapa kali terjadi hingga memutus akses jalan, pasokan bahan pokok kami terganggu. Para pedagang bahkan tak bisa masuk Desa Gema lebih dari 3 hari.
Kebutuhan bahan pokok kami didatangkan dari desa-desa tetangga. Saat banjir, pasti ada akses yang terputus. Des Kuntu selalu menjadi langganan banjir. Banjir sedikit saja, kami yang di Desa Gema sudah pasti tidak mendapatkan pasokan bahan pokok.
Jadi, jika Desa Kuntu kerendam, sudah pasti akses ke semua desa terputus. Ini dampak dari pembalakan liar di Rimbang Baling.
Dan yang paling terasa adalah kondisi jalan. Kini jalan hancur. Kendaraan pengangkut kayu kerap lewat jalan desa. Kami biasanya menempuh waktu 30 menit untuk sampai jalan lintas utama, tapi sejak jalan rusak, kami harus rela menghabiskan waktu sekira 60 menit untuk sampai jalan lintas utama. Jelas memakan waktu.
Bagaimana tidak rusak, setiap hari -- kami pernah menghitung -- ada 20-30 kendaraan pengangkut melintas di kampung kami. Kalau siang, kendaraan itu lewat begitu saja tanpa membawa kayu. Mereka mulai operasi pada pukul 3 pagi sampai subuh.
Siang hari, kendaraan-kendaraan itu tidak berani beroperasi. Terlalu mencolok. Menjelang tengah malam, kendaraan pengangkut kayu berkumpul di titik yang tidak jauh dari jalan lintas utama. Begitu pukul 3 pagi, kendaraan-kendaraan itu mulai bergerak ke arah Pekanbaru. Agar ttidak terlihat oleh petugas, kendaraan-kendaraan itu menutup kayu dengan terpal.
Kami tak tahu lagi sudah berapa juta pohon yang ditebang di hulu sungai. Kami tak tahu.
Menurut pengakuan Deden, kayu-kayu tersebut diangkut menuju industri yang berada di daerah Teratak Buluh, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Tidak ditemukan tanda V-Legal pada batang kayu tersebut.
"Dari data yang kami kumpulkan, industri-industri yang berada di Teratak Buluh antara lain CV Alam Riau Bertuah, Industri Pengolahan Kayu Rakyat (IPKR) Fadila Ilham Fajri dan IPKR Karminto yang notabene sudah memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK)," jelas Deden.
Sampai dengan 6 Agustus 2020, aktivitas pengangkutan kayu yang berasal dari Rimbang Baling masih terjadi. "Pada saat tim JPIK melakukan pemantauan lanjutan, ditemukan beberapa truk bermuatan kayu memasuki Simpang Kambing (Teratak Buluh) dan Lubuk Siam," kata Deden.
***
Kami tak bisa membayangkan, kelak, ketika cucu-cucu kami bertanya tentang pohon Meranti, apa yang bisa kami tunjukkan. Kami hanya bisa mengisahkan kenangan kami tentang pohon Meranti. Tentang pohon yang kuat dijadikan salah satu bahan untuk membangun rumah-rumah kami.
Kami juga kehilangan banyak satwa. Silam, masih banyak harimau di kawasan hutan. Setelah banyak pemburu yang masuk hutan, dan harimau kehilangan rumahnya, banyak petani yang kebun karetnya rusak.
Dulu, saat harimau masih banyak, merawat kebun itu tidak susah bagi warga, karena hamanya tidak ada. Kalau sekarang, semenjak hutan dibabat, dan maraknya pemburu harimau, babinya merajalela merusak kebun karet.
Makanya, banyak warga yang memagari rapat-rapat kebun karetnya. Kalau tidak, babi akan datang dan merusak kebun karet milik warga. Kebun yang dijadikan salah satu tumpuan ekonomi.
***
Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Pembalakan Liar, beragam operasi terus digelar. Di Provinsi Riau misalnya, pada saat itu operasi tim terpadu bahkan diketuai langsung Gubernur Riau dan di lapangan dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Riau. Efeknya? Hampir tidak ada.
Praktik illegal logging tak kunjung hilang, bahkan aktivitas ilegal ini masih terjadi hingga pertengahan 2020, meskipun Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19.
"Operasi tangkap tangan yang dilakukan penegak hukum selama ini hanya sebatas menangkap operator lapangan, cukong kayu yang mengorganisir praktik illegal logging ini hampir tidak tersentuh," kata Deden.
Kejadian ini, imbuh Deden, diperparah dengan tidak efektifnya fungsi-fungsi pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah, sehingga oknum yang terlibat dan jaringannya secara leluasa 'bermain' dan beraksi di lapangan.
"Penegakan hukum multidoor untuk menjerat pelaku kejahatan hutan dan lingkungan harus diperkuat melalui penerapan sanksi yang tegas dan berefek jera, agar kasus yang sama tidak terulang di kemudian hari," ucap Deden.
***
Melalui sambungan telepon, salah satu warga Desa Gema mengatakan, "Sekarang illegal logging (pembalakan liar) terjadi di kawasan hutan lindung. Punya dampak negatif untuk masyarakat. Dulu, saya ikut menghancurkan hutan, sekarang saya sendiri sedih melihat hutan di sekitar tempat tinggal saya hancur. Kayu-kayu bagus jadi hilang. Saya ikut menyesal," ucapnya.
NB: Tulisan ini berdasarkan pengakuan warga Desa Gema yang terdampak maraknya aksi illegal logging
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H