Mohon tunggu...
Doni Arief
Doni Arief Mohon Tunggu... Dosen - Faqir Ilmu

Pencari dan penikmat kebenaran paripurna

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama dan Ilmu Pengetahuan

9 Juli 2019   11:59 Diperbarui: 25 Juni 2021   15:16 8127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan.

Agama dalam konteks kajian sosial merupakan sebuah pengakuan personal maupun kolektif terhadap unsur suprarasional yang mempengaruhi pembentukan sistem dan lembaga sosial keagamaan di tengah-tengah masyarakat. 

Oleh karena itu dalam hal ini agama diposisikan dalam mainstream universal yang harus dipandang dari sudut antropologis dan historis.

Dalam skala yang lebih luas, agama tidak dapat dilepaskan dari nilai dan norma yang mengikat yang yang harus dilakukan secara terus-menerus (continue) oleh para pengikutnya yang akhirnya mengkristal dan membentuk kebudayaan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan dan media penyembahan.

Aturan yang sakral dalam ajaran agama menuntut adanya pemahaman yang dogmatis dan radikal. Dalam tataran aplikatifnya, aturan sakral tersebut berafilliasi dengan tipologi masyarakat. 

Menurut Elizabeth K. Nottingham, agama memainkan peranan yang penting dan esensial pada masyarakat primitif dan mulai mengalami pergeseran pada masyarakat praindustri serta kehilangan hegemoninya pada masyarakat industri. 

Fenomena ini merupakan kenyataan historis, dimana mulai terjadinya fase persinggungan antara ajaran dogmatis yang terdapat dalam agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan (science) yang dinamis.

Munculnya dilemma yang berkepanjangan antara agama dan ilmu pengetahuan (science) terjadi karena adanya perbedaan orientasi struktur sosial yang ingin dicapai dalam masyarakat. 

Hal senada juga dilontarkan Anthony Wallace yang menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan rekomendasi untuk melunturkan kepercayan agama, dan kita ketahui apabila orang memperoleh pandangan intelektual yang sangat berkembang (khususnya pandangan ilmiah) maka pandangan keagamaan mereka cenderung untuk merosot.

Baca juga : Taburkan Ilmu Pengetahuan, Semaikan Pendidikan, Kobarkan Api Hardiknas 2021

Agama dan ilmu pengetahuan dalam konteks kajian sosial, primordialnya memiliki kesamaan kegunaan (utility), yaitu untuk kepentingan manusia secara emosional dan rasio. 

Namun, pada pertengahan abad ke 16 yang ditandai dengan gerakan renaissance yang mewarnai Eropa dengan pergumulan antara agama dan ilmu pengetahuan yang berujung pada polarisasi diantara keduanya.

Distorsi itu terjadi karena agama telah dipolitisasi untuk melegalisasikan kepentingan tertentu, seperti politik, sosial, ekonomi dan pengkultusan terhadap tokoh agamawan. Ajaran absolut yang terdapat dalam agama dijadikan justifikasi untuk memandang fenomena ilmiah yang terjadi di alam dan mengejawantahkan penemuan ilmiah. 

Pertentangan ini semakin sengit ketika Copernicus dan Galileo yang mengajukan tentang teori heliosentris ditentang oleh doktrin dogmatis yang selama ini telah dipegang oleh pemuka agama Kristen. 

Setelah terjadinya pertentangan tersebut, para ilmuwan mulai memandang skeptis terhadap ajaran agama yang dianggapnya dapat mengantarkan pada stagnasi berpikir. Inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya wacana sekularisasi di Barat yang tidak hanya memasuki dimensi filosofis tetapi juga dimensi  teknologi. 

Dalam dimensi filsafat mulai dikenal adanya terminologi empirisisme, positivisme dan materialisme, sedangkan dalam dimensi teknologi telah ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada abad ke 17 yang mampu menggantikan ribuan tenaga manusia untuk mengerjakan produk industri. 

Pada perkembangan selanjutnya, ilmu pengetahuan semakin berkembang dan mulai menyisihkan agama dalam urusan sosial dan agama diklaim hanya mengurus urusan yang bersifat pribadi (privacy). Sehingga tidak mengherankan jika Niestzhe berani mengatakan, "Tuhan sudah mati sekarang".

Tersingkirnya agama dalam urusan profan dan digantikan oleh kemajuan yang signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, pada dasarnya mengandung dua konsekwensi, yaitu: 

Pertama. Hilangnya peranan agama sebagai realitas mutlak (ultimate reality) dalam kehidupan manusia. 

Kedua. Semakin semarakmya interpretasi ajaran agama untuk mengantisipasi arus negatif dari perubahan sosial yang terjadi sacara massif. Interpretasi yang berlebihan (ekstra positif) terhadap ajaran agama tersebut sebagai bandingan terhadap globalisasi sosial disatu sisi telah melahirkan sekte-sekte sempalan (pseudo spritual) dalam agama. 

Misalnya di Amerika muncul sekte yang menamakan dirinya sebagai Childrens of God, Christian Identity dan sebagainya. 

Agama vis a vis dengan ilmu pengetahuan, dalam realitasnya merupakan kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kenyataan ini timbul setelah melihat perjalanan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan kemiskinan spritual yang menyebabkan sering hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan ilmu pengetahuan tersebut. 

Baca juga :Ilmu Pengetahuan Umum Vs Konten di Media Sosial

Bukti kongkrit dalam hal ini dapat dilihat dari kerusakan alam akibat eksplotasi yang berlebihan, gangguan psikis yang ditandai dengan adanya dehumanisasi, alienasi dan sebagainya. Hal ini mengindikasikan perlunya agama ditempatkan dalam fenomena modern untuk dijadikan sebagai kontrol pribadi dan sosial (self and social control). 

Oleh karena itu tidak berlebihan jika J. Milton Yinger, menyebutkan agama sebagai lembaga residual, yaitu lembaga selalu ada yang akan menjawab segala bentuk ketidak pastian dan tidak akan mungkin hilang dalam dimensi soial.

Demikian juga halnya sebagaimana yang disebutkan oleh futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam karyanya Megatrends 2000, bahwa agama akan kembali menemukan hegemoninya di tengah-tengah masyarakat dalam pelembagaan spritual ditengah-tengah pengagungan rasio yang berlebihan.

Berdasarkan diskripsi diatas maka pada dasarnya dapat diambil kerangka analisis untuk dijadikan sebagai landasan pembahasan yaitu: Pertama. Latar belakang apa yang menyebabkan terjadinya pergumulan antara agama dengan ilmu pengetahuan. 

Kedua. Dimana letak perbedaan dan persamaan agama dengan ilmu pengetahuan dalam memandang fenomena sosial. 

Ketiga. Bagaimana pula konskwensi pergumulan tersebut kepada struktur dan pola pikir yang berkembang di lingkungan sosial masyarakat dan manakah yang harus diprioritaskan diantara keduanya.

Dalam makalah ini akan diuraikan tentang sketsa historis perkembangan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan agama versus ilmu pengetahuan dan relevansi agama dengan ilmu pengetahuan.

Sketsa Historis Perkembangan Agama 

Dalam hal ini perkembangan agama dapat diartikan sebagai proses perkembangan tingkat pengkhayatan dan kesadaran masyarakat terhadap kekuatan suprarasional yang kemudian diwujudkan dalam bentuk nilai dan norma budaya yang mengikat melalui argumentasi eskatologis serta kegiatan-kegiatan ritual keagamaan melalui pembentukan simbol dan media keagamaan.

 Agama dalam kenyataan ini dilihat dari sudut historis sebagai hasil ekspresi esoteris manusia dalam merespon lingkungan sosial yang mengitarimya, berbeda pula halnya dengan agama dalam konteks a historis atau dalam arti agama-agama yang diturunkan langsung oleh Tuhan yang hanya mengalami proses dalam penyempurnaan aspek eksoterisnya sebagai hasil interpretasi dari konsep mendasar (grand theory) yang diatur secara doktrinal dan dogmatis.

Sehingga yang ingin dilihat dalam agama ini adalah bagaimana perkembangan interpretasi manusia terhadap konsep mendasar agama tersebut untuk merespon gejolak sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. 

Oleh karena itu, untuk mengetahui secara komprehenshif mengenai perkembangan agama tersebut dibutuhkan korelasi interdisipliner bidang keilmuan lain, seperti antropologi dan psikologi.

Agama dalam tinjauan sosial memiliki patron yang berbeda dalam pendekatannya, sehingga agama sering diartikan dengan pengertian yang beraneka ragam tergantung dari sudut pandang pendekatannya. 

Sebagaimana yang diutarakan oleh Roland Robertson, pengertian agama secara general dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk, yaitu inklusif dan eksklusif. Secara inklusif, agama diartikan dalam pengertian yang seluas mungkin sebagai sistem kepercayaan dan ritual yang yang diresapi dengan "kesucian" atau yang diorientasikan pada "penderitaan manusia yang abadi". 

Sedangkan secara eksklusif agama dipandang sebagai manifestasi dari ekspresi spritual terdalam manusia yang diwujudkan dalam seperangkat aturan dan ritual melalui simbol kegamaan yang berdimensi transenden dengan melakukan subordinasi terhadap masalah empiris yang pelaksanaannya dilakukan dibawah naungan organisasi sosial masyarakat, sehingga agama itu harus diakui secara kolektif oleh seluruh anggota masyarakat.

Baca juga : Epistemologi sebagai Hakikat Ilmu Pengetahuan

Agama pada dasarnya telah menjadi kebutuhan yang paling mendasar (fundamental need) dalam kehidupan manusia -seprimitif atau semodern apapun dia-, ketidakmampuan manusia untuk menangkap realitas keMahaan yang berada diluar dirinya telah mendorong manusia untuk menciptakan aturan-aturan yang bersifat suci dan sakral untuk menjaga kestabilan dan mewujudkan ketenteraman dalam kehidupannya. 

Sehingga didalam jiwa manusia itu terdapat unsur kehalusan (fitrah) yang selalu berusaha mendekat kepada unsur keMahaan yang dianggap memiliki kekuatan diluar batas kemampuannya. 

Hampir senada dengan hal itu, Rudolf Otto dalam karyanya The Idea of The Holy yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari struktur apriori irasional yang merupakan dimensi keinsafan (sensus religious) manusia dalam menginterpretasikan kepekaan perasaannya terhadap sesuatu yang Maha dan struktur apriori rasional.

Dimana manusia selalu berusaha menjadikan agama sebagai jawaban terhadap realitas kehidupan sehingga agama itu dijadikan sebagai bentuk kanopi sakral (sacred canopy) yang mampu memberikan rasa kedamaian pada manusia.

Perkembangan agama dengan agama dalam pengertian inklusf dan eksklusifnya merupakan asumsi yang ekuivalen untuk mengatakan bahwa agama itu muncul sebagai bentuk kesadaran mendalam dari manusia yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya. 

Kenyataan inilah yang kemudian melandasi lahirnya teori tantang evolusi agama berdasarkan interaksi sosial manusia dengan lingkungan sosialnya dan berdasarkan tingkat pemahaman manusia dalam memberikan interpretasi terhadap agama.

E. B. Taylor menjelaskan bahwa perkembangan agama dimulai dari kepercayaan yang sangat primitif kemudian berkembang menjadi kepercayaan yang kompleks, mulai dari dinamisme, animisme, politheisme dan monotheisme. 

Disamping itu Robert N. Bellah menjelaskan perkembangan agama berdasarkan simbol dan tindakan sosial yang berlangsung pada komunitas masyarakat dalam fase tertentu, dia membaginya kedalam lima bentuk, yaitu: primitive religion, arcahaic religion, historic religion, early modern religion dan modern religion.

 Berdasarkan rumusan tersebut, secara general dapat diketahui bahwa pada mulanya agama muncul sebagai respon manusia untuk mengakui adanya kekuatan lain yang berada diluar dirinya, hal ini kemudian diwujudkan dalam bentuk pemujaan kepada benda atau roh. 

Bersamaan dengan perkembangan pemikiran manusia, pemahaman tentang keagamaan juga semakin meningkat dengan adanya pengakuan terhadap perwujudan tuhan-tuhan dengan spesialisasi tertentu. Pemahaman ini pada perkembangannya semakin pudar setelah semakin dipahami bahwa tidak mungkin terjadi pluralitas dalam kekuasaan Tuhan, oleh karena itu segala aturan yang terjadi di alam semesta ini hanya diatur oleh satu Tuhan.

 Perkembangan selanjutnya pemahaman terhadap Tuhan semakin hilang dalam persepsi manusia setelah ditemukannya hukum causalitas yang terjadi di alam yang disertai dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang spektakuler. Hampir senada dengan hal ini, August Comte menyebutkan perkembangan itu terjadi dalam tataran berpikir mulai dari fase teologi, metafisika dan posistivisme.

Pada fase teologi manusia berusaha unutk mencari dan mengenal hakekat yang terdapat dalam benda yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pemujaan. 

Fase metafisika, ditandai dengan semakin majunya cara berpikir manusia dimana pengakuan terhadap hal yang bersifat suprarasional mulai diinterpretasikan dalam bentuk abstrak, sedangkan pada fase positivisme, manusia mulai menghilangkan unsur-unsur sakral dengan tidak mengakui adanya kekuasaan mutlak, sehingga yang menjadi parameter adalah hukum positif yang berlaku di masyarakat.

Disamping itu, Elizabeth K. Nottingham menganalisis perkembangan pemahaman agama berdasarkan tipologi masyarakat, mulai dari masyarakat yang terbelakang (primitif), masyarakat pra-industri dan masyarakat sekuler. Pada masyarakat terbelakang, agama menjadi dimensi yang sakral dalam sistem budaya masyarakat sehingga memiliki kekuasaan yang absolut konservatif dengan mengejawantahkan segala perubahan. 

Pada masyarakat pra-industri, peran agama semakin meningkat menjadi organisasi keagamaan yang mampu meyatukan masyarakat, sehingga seringkali terjadi bahwa agama mulai dijadikan legalitas untuk kepentingan penguasa. 

Pada masyarakat sekuler, agama mulai tersingkir dari kehidupan kenegaraan sehingga urusan politik, ekonomi dan budaya yang sebelumnya berada di tangan agama diambil sepenuhnya oleh negara, sehingga agama dalam hal ini hanya dijadikan sebagai urusan yang bersifat pribadi. 

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangan agama selalu disertai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Implikasinya dapat dilihat pada masyarakat primitif dimana untuk melanggengkan agamanya, mereka kemudian menciptakan teknologi yang ditujukan untuk kepentingan penyembahan, seperti berhala (totem), altar pemujaan, sistem irigasi untuk kesuburan tanah dan peningkatan hasil produksi yang sring ditujukan untuk ritual pemujaan dan pengorbanan. 

Kemudian pada masyarakat pra-industri, agama mulai memasuki dimensi politik, ekonomi dan kebudayaan, konsekwensinya maka terbentuklah aturan dan hukum-hukum kenegaraan berdasarkan perspektif absolut yang terdapat dalam agama. 

Pada periode ini ilmu pengetahuan manusia semakin terkekang oleh dogmatisme agama yang melahirkan masa transisi untuk kemudian menolak sepenuhnya agama yang terjadi pada masyarakat industri yang sekuler karena dianggap bertentangan dengan realitas empiris dan rasio yang dijunjung tinggi dalam dinamika ilmu pengetahuan.

Sketsa Historis Perkembangan Ilmu Pengetahuan.

Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, perkembangan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan perkembangan agama, apakah dalam bentuk konstruksi bersama atau dalam bentuk dekonstruksi yang massif diantara keduanya. Sebelum melangkah lebih jauh, maka perlu diketahui perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan sehingga akan memudahkan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam sketsa historisnya.

Pengetahuan (knowledge) dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu dengan menggunakan tanggapan pancainderanya yang tidak tersusun secara sistematis sedangkan ilmu pengetahuan (sciensce) adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan pendekatan ilmiah seperti penalaran, hipotesis, verifikasi dan observasi untuk menghasilkan teori pengetahuan.

Dalam perspektif epestemologi filsafat, Ilmu pengetahuan merupakan bagian yang integral dari filsafat yang kemudian melepaskan diri dan mengambil spesifikasi untuk membahas kajian dalam bidang tertentu. Pada masa modern ini, ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan tidak hanya membatasi pada tataran teotitis tetapi juda telah memasuki tataran praktis.

Perkembangan ilmu pengetahuan telah berkembang sejak munculnya peradaban pertama kali di Babilonia, Sumeria dan Mesir pada tahun 5000 sampai 6000 SM. 

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Shaw, perkembangan ilmu pengetahuan mengalami siklus kemajuan sampai ke tangan barat dewasa ini, tidak dapat dilepaskan dari terobosan yang dilakukan oleh Bangsa Yunani (Greek) yang kemudian berpindah ke dunia Islam (The Golden Age in Islam) bagian timur dan barat dan dari kawasan Islam bagian barat inilah terutama di Cordova.

Bangsa Eropa memperoleh kemajuan ilmu pengetahuan yang kemudian berimplikasi pada gerakan renaisance pada abad ke 16 di Eropa Barat yang kemudian mengantarkan terjadinya revolusi ilmu pengetahuan di Barat.

Dalam konteks sosial, terdapat beberapa teori yang melatarbelakangi tumbuhnya ilmu pengetahuan sebagai pranata sosisal yang tidak dapat dilepaskan dari faktor agama, ekonomi dan politik. Teori itu terbentuk setelah melihat realitas sosial yang terjadi di Eropa pada abad ke I6 dan ke 17.

Robert Merton menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi dan agama "puritan". 

Stimulasi ekonomi sangat mempengaruhi perkembangan ilmu khususnya dalam penemuan teknologi dengan harapan untuk melanggengkan kegiatan dan tujuan ekonomi, dia mencontohkan tentang penemuan teori "garis bujur" yang kemudian diikuti oleh penemuan lain dalam perhitungan jarak bulan dari matahari atau jarak antar bintang yang sangat bermanfaat bagi pelayaran laut sehingga proses transaksi perekonomian antar negara agar berlangsung dengan mudah.

Disamping itu, J.D Bernal menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan sangat berkaitan erat dengan faktor ekonomi. Dia memformulasikan bahwa dearah terjadinya proses tarnsformasi ilmu pengetahuan mulai dari Mesir dan Mesopotamia ke Yunani dari Spanyol Islam ke Italia Renaisance dari sana ke Low Countries dan kemudian ke Skotlandia dan ke Inggris, merupakan taransformasi area ilmu yang selalu bersamaan dengan peningkatan kualitas ekonomi dan kegiatan industri.

Sedangkan Robert Wuthnow menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berkaitan dengan proses desentaralisasi politik dalam sistem ekonomi kapitalis. 

Menurutnya, desentaralisasi ini akan menimbulkan persaingan antar negara terutama dalam bidang politik, ekonomi dan militer sehingga konskwensinya adalah berkembangnya ilmu pengetahuan untuk mengimbangi mobilisasi tersebut. 

Selain itu, desentralisasi akan membuka peluang terjadinya komunikasi diantara para ilmuwan diantara negara bagian yang otonom dan bahkan apabila terjadi instabilitas politik maka ilmuwan dapat meminta perlindungan politik kepada negara lain dan mereka tetap konsentarasi pada kerja ilmiahnya. 

Hal ini kemudian akan semakin meningkat menjadi diskursus yang intens tentang keilmuan sehingga kuantitas dan kualitas dari ilmu pengetahuan akan semakin baik.  

Perkembangan Agama Versus Ilmu Pengetahuan.

Agama selalu terlibat dalam wacana dialektika historis ketika bersinggungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pada dasarnya agama harus dapat berperan akomodatif dalam melihat gejala sosial yang berkembang di masyarakat. 

Hampir senada dengan hal ini Nadel, menyebutkan bahwa agama harus dapat berperan secara kompetitif terutama dalam empat hal, diantaranya: 

Pertama. Kemampuan agama untuk memberi suplemen tertentu bagi memandang dunia pengalaman dimana intelegensia ditakdirkan untuk membutuhkannya. 

Kedua. Kemampuan agama untuk mempertahankan dan menyatakan nilai-nilai moral. Ketiga. Kompetensinya mengikat masyarakat bersama-sama dan memilih strukturnya. Keempat. Kompetensinya memberi individu dengan pengalaman khusus dan stimulasi.

Kategorisasi diatas menunjukkan bahwa harus terdapatnya keharmonisan diantara agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana agama tetap dipandang dari sudut kesemestaannya (world view) sebagai kekuatan makro yang menjaga kestabilan hidup manusia.

Kenyataan teoritis (das sein) ini dalam manifestasi sosialnya (das solen) sangat bertolak belakang. Agama Vis a Vis ilmu pengetahuan menjadi agenda yang serius dalam perjalanan sejarah masyarakat Eropa pada sekitar abad ke 15 -tepatnya berdasarkan sketsa historis perkembangan agama, tipologi masyarakatnya berada pada masa pra industri transisi industri-, dimana hegemoni agama telah memasuki dimensi politik (struktural) dan budaya (kultural) dengan memberikan interpretasi keagamaan yang bersifat absolut dan dogmatis. 

Disatu sisi pemahaman, dogmatis itu telah membawa pemahaman masyarakat terhadap sesuatu yang bersifat mitologis dan mengekang dinamika pemikiran manusia dalam memandang realitas kosmologisnya.

Sebelum itu, perlu diketahui bahwa terdapat kerangka analisis yang diutarakan oleh tradisi Hegelian sebagai antitesa terhadap fenomena sosial yang diperankan oleh agama sehingga agama itu dapat diposisikan fungsinya dalam dialektika kehidupan masyarakat. Analisis tersebut terdiri dari tiga hierarkis yang saling berkaitan, diantaranya: 

Pertama. Eksternalisasi merupakan artikulasi dari diri manusia yang dilakukan secara terus-menerus di dunia, baik dalam bentuk fisis maupun mental. 

Kedua. Obyektivitas merupakan pengakuan dan pelembagaan produk aktivitas eksternalisasi sebagai kefaktaan yang bersifat eksternal dan otonom sebagai produk manusia yang berada diluar dirinya. 

Ketiga. Internalisasi merupakan peresapan kembali manusia terhadap realitas dan mentransformasikannya dari struktur dunia objektif kedalam struktur dunia subjektif.

Melalui analisisnya ini, terkesan bahwa ilmu pengetahuan telah menjadi etos utama dalam hal pola pikir, tingkah laku dan bahkan unsur-unsur materi dalam ilmu itu dicoba untuk ditaransformasikan dengan mengganti unsur-unsur taransenden yang terdapat dalam agama. 

Oleh karena itu dapat diambil tesis sementara bahwa agama tidak selamanya berperan sebagai pengatur jalannya proses sejarah masyarakat, kenyataan ini semakin diperkuat dengan melihat file sejarah tentang embrio berkembangnya peradaban modern.

Perbedaan paradigma khususnya dalam epistimologi anatara agama dengan ilmu pengetahuan telah membentuk sketsa historis tentang fragmentasi diantara keduanya. 

Secara sistematis, peristiwa itu diawali ketika terjadinya gerakan kelahiran kembali (renaisance) yang terjadi pada sekitar abad ke 15 di Eropa Barat dan Italia. Gerakan ini muncul sebagai kritikan terhadap eksistensi agama yang terkesan arogan terutama karena adanya otoritas penuh yang dimiliki oleh pemuka agama. 

Kritikan pertama dilontarkan kepada agama yang dianggap telah melahirkan mitologisasi sehingga membelenggu kebebasan manusia untuk bergerak dinamis. Akibatnya manusia tidak dapat melakukan refleksi kritis terhadap realitas kosmologis yang berada diluar dirinya, dimana kemudian realitas kosmologis itu dinterpretasikan oleh agama dengan pendekatan yang irrasional dan dianggap memliki kekuatan supernatural. 

Paham ini kemudian dikhawatirkan akan menimbulkan konsep tentang pluralitas "tuhan". Krtikan kedua dilontarkan pada aplikasi sosial yang sering ditunjukkan agama, dimana agama kemudian diidentifikasi sebagai misteri yang menakutkan dan mencekam (misterium fremendum dan misterium fascinosum)

Gerakan renaisance ini disertai dengan terjadi revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution) yang puncaknya terjadi pada revolusi industri di Inggris. Menurut Kuntowijoyo, gerakan ini telah melahirkan revolusi paham keagamaan yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebebasan dan juga melahirkan revolusi pemikiran, ilmu dan teknologi yang kemudian membawa dunia pada puncak peradaban modern.

Titik kulminasi gerakan renaisance ketika terjadi pertentangan sengit antara pemuka agama gereja dengan para ilmuwan, mengenai sistem yang berlaku di alam semesta. Para ilmuwan seperti Copernicus kemudian diikuti oleh Tycho, Kepler dan Galileo berpendapat bahwa alam pada dasarnya berpusat pada matahari dan selalu beredar mengelilinginya (heliosentrisime). 

Pendapat ini bertentangan sebagaimana yang sebelumnya telah dipegang teguh oleh pemuka gereja sebagai doktrin dan dogma yang mengikat bahwa bumi merupakan pusat dari alam (geosentrisime). 

Pertentanagan ini semakin memanas ketika pemuka gereja memutuskan untuk menghukum mati dengan membakar hidup-hidup Giordano Bruno pada tahun 1600 yang tetap mempertahgankan pandangan heleiosentrisnya, yang secara diametral pandangan tersebut bertentangan dengan keinginan pemuka gereja.

Setelah kejadian ini polarisasi agama dengan ilmu pengetahuan semakin tampak jelas dengan semakin tersingkirnya agama dalam kehidupan sosial masyarakat. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin tersingkirnya peran agama, diantaranya secara internal, disebabkan karena pemahaman keagamaan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai kebutuhan yang bersifat kosmopolitan dengan pendekatan inklusif, sebaliknya lebih terkesan otoriter dengan pendekatan eksklusif. 

Sedangkan secara eksternal, disebabkan karena semakin derasnya arus perkembangan sejarah yang bertumpu pada kekuatan rasionalitas manusia yang kemudian mengancam kedudukan agama karena tidak diapresiasi secara kritis, etis dan konstruktif oleh pemahaman agama itu sendiri, sebaliknya pemahaman agama cenderung melakukkan pelarian (escapisme) serta berlindung dibawah dogmatisme agama.

Kegagalan agama tersebut dijadikan tolok ukur untuk semakin mempercayai rasio untuk memasuki dimensi sosial manusia. Akibatnya, semakin berkembangnya berbagai paham kemanusiaan dan ilmu pengetahuan sebagai derivasi dari rasionalisme tersebut. Disatu sisi tumbuhnya paham sekularisai, fragmentasi dan egalitarianisme merupakan gejala yang terniscayakan sebagai akibat dari rasionalisme tersebut

Sekularisasi merupakan paham yang pertama kali lahir setelah adanya dominasi revolusioner dari gerakan rasionalisme yang memasuki seluruh bidang kehidupan manusia secara massif. Paham sekularisasi ini berusaha untuk memisahkan urusan keduniaan yang profan dengan urusan agama yang transenden. 

Dalam bentuk moderat, sekularisasi membatasi urusan agama pada tataran pribadi (private affair) dan tidak boleh memasuki urusan sosio kultural manusia. Sedangkan dalam bentuk ekstrim, sekularisasi telah mencerabut akar tradisional agama dan menghilangkan perannya dalam kehidupan manusia, hal ini kemudian yang menimbulkan paham agnotisisme dan atheisme.

Dalam konteks sosio kultural manusia, terutama dalam bidang keilmuan dan intelektual, maka yang menjadi legitimasi kebenaran adalah rasio manusia, sedangkan kebenaran agama telah tersingkirkan. Klaim kebenaran yang kemudian diakui dalam tataran pengembangan ilmu pengetahuan adalah empirisisme, rasionalisme dan dalam bentuknya yang paling mutakhir adalah positivisme sebagaimana yang dikembangkan oleh August Comte.

Dalam bidang politik, sekularisasi telah menyebabkan hilangnya landasan etik dan moral dalam praktek politik, sebagaimana yang diutarakan oleh Donald Engene Smith dalam Religion and Political Development, yang menyatakan bahwa, telah terjadinya ekspansi pemerintah untuk melaksanakan fungsi sosial dan ekonomi yang sebelumnya ditangani agama dan tersingkirnya ideologi-ideologi keagamaan yang taransenden dalam urusan politik.

Dalam bidang ekonomi, sekularisasi telah berjasa untuk melahirkan sistem kapitalisasi dalam kerangka liberalisme yang hampir kehilangan etika moralnya. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, sekularisasi telah meyebabkan tersentralisasinya manusia untuk mengakui sesuatu yang bersifat materi berdasarkan hasil kerja inderanya. Menyoroti hal ini, Pitirin A. Sorokin meneyebutkan mentalitas kebudayaan tersebut sebagai hal yang hanya sebatas keindrawian.

Disamping itu, proses sistemik yang hampir bersamaan berkembang dengan sekularisasi tersebut adalah fragmentasi, dimana posisi agama semakin mengalami reduksi sehingga manusia merasa dapat hidup otonom berdasarkan bidang keahliannya masing-masing. Hal ini kemudian akan menimbulkan kesenjangan sosial kerena tidak terjalinnya komunikasi yang harmonis diantara sesama anggota masyarakatnya.

Mata rantai hubungan kemajuan rasionalisme manusia, pada perkembangannya kemudian melahirkan paham egalitarianisme. Paham ini melakukan kritisi terhadap struktur hierarkis dan fundamental dalam agama, yang menekankan adanya prinsip persamaan dan kemampuan manusai dalam beragama. 

Dalam perkembangannya paham ini berkembang menjadi paham humanisme yang mulai memasuki lahan garapan agama dan mulai menyingkirkan fungsi agama dalam dimensi sosialnya.

Sketsa historis pergumulan dialektika sosial masyarakat tersebut pada perkembangannya berhasil mengantarkannya untuk memasuki era kemodernan (modernity) dengan segala ketimpangannya. 

Agama Vis a Vis ilmu pengetahauan dalam batas tertentu telah memberikan pengaruh yang besar dalam paradigma struktur historis sosial kehidupan manusia, salah satu implikasi positif dari persinggungan tersebut adalah mulai dikenalnya semangat pembebasan tentang kesadaran eksistensi manusia.

Untuk melihat dirinya sendiri dan dunianya dalam satu kesatuan hierarki kosmologi yang bersifat lahiriah, sehingga dinamika pemikiran manusia akan semakin berkembang bersamaan dengan peningkatan taraf intelektual dan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan penyangga eksistensinya. 

Dan disatu sisi, persinggungan itu juga mengandunng implikasi negatif dengan terdegradasinya agama dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan yang bahkan lebih berpotensi menghancurkan tatanan kehidupan manusia.

Masa Depan Agama dalam Dinamika Ilmu Pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat pada masa modern telah memberikan kontribusi yang positif bagi kehidupan manusia, tetapi disatu sisi perkembangan itu tidak disertai dengan landasan etik dan moral yang selama ini menjadi landasan mendasar dalam agama. 

Ilmu pengetahuan semakin meninggalkan jauh peran agama karena dianggap tidak akomodatif dan mengekang kebebasan manusia dalam struktur sosialnya. Kenyataan inilah yang kemudian disoroti oleh Karl Marx yang kemudian melahirkan pameo bahwa "Agama adalah candu masyarakat", dan bahkan lebih ekstrim lagi Niestzhe mengatakan bahwa "Tuhan sudah mati sekarang". 

Terjadinya polarisasi agama dengan ilmu pengetahuan pada dasarnya telah menghilangkan ikatan moral dan sosial diantara keduanya, sehingga di satu sisi akan melahirkan ilmu pengetahuan dengan corak pragmatis dan materialis dengan tujuan yang kabur apakah ilmu pengetahuan itu ditujukan untuk kepentingan manusia atau ilmu pengetahuan itu hanya ditujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Semakin kaburnya tujuan ilmu pengetahuan yang disertai pula dengan hilangnya peran agama telah menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi bebas nilai dan mengalami degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan terjadinya mobilisasi sosial yang tidak disertai dengan kesiapan mental manusia untuk menghadapinya. 

Pluralisme yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi komunikasi telah menyebabkan manusia terjebak dalam kungkungan struktur sosialnya, yang secara gradual mengikis kesiapan jiwa (psikis) manusia yang sejatinya menginginkan kastabilan spritual dengan kehidupan materinya. 

Hal inilah kemudian yang akan menyebabkan terjadinya gangguan kejiwaan manusia dalam lingkungan sosialnya seperti alienasi, dehumanisasi, bunuh diri dan sebagainya.

Berdasarkan kenyataan ini, maka Whitehad melontarkan kritikannya terhadap absurditas yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan. Dia menjelaskan bahwa paradigma ilmiah yang dijadikan titik acauan pengembangan keilmuan modern banyak merujuk pada pandangan kosmologis materialisme ilmiah. 

Oleh karena itu dapat dimaklumi apabila ilmu pengetahuan hanya menyentuh dan berada dalam tataran realitas yang dangkal dari totalitas kesemestaan hidup manusia.

Hampir bersamaan dengan hal ini, Futurolog Joseph Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000, yang memprediksi akan terjadinya kebangkitan agama pada era posmedernisme bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Kebangkitan agama ini disebabkan karena terjadinya pergesekan sosial diantara manusia dengan mobilisasi sosialnya secara terus menerus yang menyebabkan manusia mengalami frustasi dan kehampaan spritual. 

Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya eskapisme manusia terhadap agama pinggiran yang tidak terikat secara hierarkis dan organisatoris dengan Agama besar (baca: Kristen) yang pada perkembangannya kegiatan ini kemudian melahirkan gerakan agama yang fundamentalis di Barat, seperti Childrens of Gods, Christian Identity, Divine Light Mission, Yahweh ben Yahweh dan People's Temple. 

Harun Nasution mengajukan tesis menarik mengenai pentingnya keselarasan diantara ilmu pengetahuan dengan agama. Menurutnya, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya di Barat, tetapi jauh dari jiwa agama, sehingga yang terjadi adalah ilmu pengetahuan yang sekuler. 

Sebaliknya, di Timur masyarakatnya taat beribadah tetapi lemah ilmu dan moralnya, sehingga muncul bentuk sekularisasi juga dalam umat beragama. Kemudian dia memberikan alternatif agar ilmu dengan agama dapat berjalan dengan seimbang. 

Pertama, menyesuaikan ilmu pengetahuan dan filsafat yang sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga akan diperoleh filsafat dan ilmu pengetahuan yang agamis.

Kedua. Mengutamakan moral umat beragama, disamping pengajaran ibadat dan syari'at sehingga terciptalah umat yang berakhlak mulia.

Berdasarkan berbagai kenyataan diatas maka pada dasarnya peran agama akan mendapatkan hegemoninya kembali sebagai konsep paling esensial dan fundamental dalam kehidupan manusia. 

Berbagai kemajuan yang diperoleh manusia hanya memberikan makna yang bersifat tentatif, sebaliknya manusia merindukan agama sebagai arah yang dapat mewujudkan tujuan dan makna kehidupan (meaning and purpose of life) manusia dalam kesemestaan makna. 

Disamping itu, agama juga dapat mulai dibutuhkan untuk menjadi kontrol moral dan etika bagi ilmuwan sehingga ilmu pengetahuan yang dihasilkan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan sosialnya. Sehingga tepat seperti yang dikatakan oleh J. Milton Yinger bahwa agama merupakan lembaga residual yang tetap selalu ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun