Artikel ini membahas Perintah Allah yang Ketujuh yaitu 'JanganMencuri'. Penulis memberikan penjelasan konteks awal penggunaan perintah ini bagi Bangsa Israel. Seiring perjalannya waktu, Perintah ini mengalami pergeserah fokus. Pergeseran yang terjadi tidak serta-merta mengaburkan maksud awal perintah. Akan tetapi, pergeseran tersebut membuat perintah tetap relevan bagi penghayatan iman umat kristiani dan bagi seluruh umat manusia.
Pendahuluan
      Dalam KBBI, perbuatan 'mencuri' didefinisikan sebagai tindakan mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Itulah pengertian kata mencuri secara umum yang sering kita dengar dan pahami. Pencurian dapat diartikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku, mengalihmilikkan sesuatu melawan kehendak wajar pemiliknya. Definisi ini tidak bertentangan dengan pengertian yang dipahami oleh Gereja Katolik. Akan tetapi pengertian "Jangan Mencuri" dalam konteks Perintah Allah yang ketujuh memiliki makna yang lebih eksistensial karena menyangkut diri, martabat, hak asasi setiap orang.
      Gereja Katolik mengartikan perintah ketujuh sebagai larangan bagi pengambilan atau penahanan milik orang lain secara tidak sah dan merugikan harta milik sesama dengan cara apapun. Perintah ini mau menegakkan keadilan dan cinta kasih dalam hal mengurus harta benda duniawi dan hasil usaha setiap orang. Setiap orang hendaknya menghormati hak orang lain atas hartanya supaya tercipta kesejahteraan umum.  Dengan demikian, harta benda itu mendapat tempat yang semestinya bagi hidup manusia yaitu digunakan demi kemuliaan Allah dan demi cinta kepada sesama manusia (KGK 2401).
      Hormat terhadap hidup manusia sebagai citra Allah menjadi tuntutan bagi setiap orang. Dalam hidup bersama, setiap warga diberi pengakuan sebagai warga masyarakat yang merdeka dalam wujud kesempatan untuk partisipasi secara aktif ikut membentuk kehidupan masyarakat yang baik. Ajaran injil menjadi penerang bagi usaha menciptakan keadilan di balik persoalan-persoalan yang dialami oleh umat manusia. Gereja Katolik dipanggil untuk tetap menciptakan iklim kemerdekaan yang sejati setiap orang dalam bidang ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya (KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, 1996).
Pembahasan
- Konteks Awal
      Peritah ketujuh"Jangan Mencuri" ini dapat kita temukan di dalam Kitab Keluaran 20:15 dan Ulangan 5:19. Seorang ahli tafsir Alkitab, St. Darmawijaya memberi penafsiran, bahwa perintah ini dimaksudkan supaya para tuan memberikan kesempatan untuk sepenuhnya merdeka kepada saudara-saudara sebangsa yang menjadi budak. Para tuan di suku-suku Israel diingatkan pada pembebasan yang dikaruniakan Allah kepada mereka, dengan membebaskan mereka dari perbudakan (Darmawijaya, 1992).
      Nas lain yang berkaitan dengan Perintah Allah yang ketujuh dapat membantu memberikan pemahaman pada konteks aawalnya. Di dalam Kitab Keluaran 21:16, disebutkan bahwa kejahatan yang mesti dikenakan hukuman mati: "Siapa yang mencuri seorang laki-laki.... Ia harus dihukum mati". Ayat ini hendak memberi penekanan bahwa penculikan seseorang dan menjualnya menjadi budak adalah tindakan paling ekstrem untuk merampas kemerdekaannya. Menculik dianggap sama dengan membunuh karena dengan merampas kebebasan seseorang sama dengan mengambil hidupnya (KWI, ImanKatolik. BukuI nformasi dan Referensi,1997). Nas yang lain mempertegas hal ini, "Apabila seseorang kedapatan sedang menculik orang, salah seorang dari saudaranya, yaitu orang Israel, lalu memperlakukan dia sebagai budak dan menjual dia, maka haruslah penculik itu mati" (Ulangan 24:7).
      Dalam periode tertentu, kita dapat memahami maksud dari perintah ini melalui kisah Yusuf. Pada masa itu pola hidup manusi atidak selalu menetap dalam suatu wilayah tertentu. Tindakan penculikan seseorang mudah terjadi karena suku-suku kadang hidup dalam kemah sebagai nomad dan penggembala ternak. Salah satu kisah yang dapat kita jadikan sebagai contoh adalah konteks penjualan Yusuf oleh saudara-saudaranya. Kebanyakan orang pada waktu itu adalah penggembala ternak -- termasuk anak-anak Yakub (Kieser B., 1991).
      Perintah ketujuh menekankan larangan pencurian orang khususnya kaum lelaki yang merupakan anggota penuh dari salah satu suku Israel yang harus dilindungi. [1]Perintah ini sebagai pegangan bangsa Israel dalam mempertahankan kemerdekaan setiap anggota suku terhadap berbagai ancaman dari keserakahan orang-orang yang sedang mencari untung dengan menculik, menjual dan memperbudak mereka. Dengan demikian, perintah 'Jangan Mencuri' hendak melindungi kehidupan manusia dalam kesatuan dengan suku Israel (Kieser B., 1991).Dengan demikian, setiap orang tidak berhak menjadikan orang lain sebagai objek mencari keuntungan.
Â
- Dinamika
Â
      Seiring berjalannya waktu, perintah ini mendapat tantangannya. Seorang doktor teologi moral, Bernhard Kieser, menjelaskan bahwa ada tekanan dari kebudayaan sekitar bangsa Israel, terlebih-lebih saat terjadi penjajahan atau perantauan. Pada mulanya, bangsa Israel tidak menyediakan lembaga budak belian, tetapi budaya yang baik itu tidak dapat bertahan disebabkan oleh tekanan karena hutang. Akibatnya, dibuatlah aturan yang mengatur seluk-beluk perbudakan dan ada orang Israel yang menjual orang sebangsanya menjadi budak (Kieser B., 1991).
Â
      Ketika bangsa Israel menghadapi berbagai kesulitan menjalankan perintah Allah, Tuhan tidak serta-merta menghukum mereka. Akan tetapi, Ia tidak membiarkan makhluk ciptaanNya menderita perbudakan secara terus menerus. Oleh sebab itu, kita dapat membaca dalam Kitab Imamat, Allah bersabda: "Ia harus diizinkan keluar daripadamu, ia bersama-samaanak-anaknya, lalu pulang kembali kepada kaumnya.... Sebab hamba-hambaku yang kubawa keluar dari tanah Mesir, janganlah itu dijual seperti orang menjual budak" (Im 25:39-42).Seturut aturan ini, jika seseorang menjual dirinya, ia hanya boleh diperlakukan sebagaiburuhupahan, bukan sebagai budak belian; ia mesti diperlakukan dengan murah hati serta wajib dibebaskan pada tahun Yobel tiba (Allism & Hadiwijono, 1998).
Â
      Yahwe telah memberikan kemerdekaan bagi bangsa Israel dengan membimbing mereka keluar dari tahan Mesir. Yahwe tidak membiarkan bangsa milik-Nya diperbudak oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang telah dibebaskan oleh Allah tidak boleh gunakan sebagai alat bagi kepentingan ekonomi. Nabi Amos mengecam praktek jual-beli orang karena alasan ekonomi. Nabi Amos berkata: "mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut.... Padahal Akulah (Yahwe) yang menuntun kamu keluar dari Mesir" (Amos 2:6.10).
Â
      Dalam perjalanan waktu, perintah ketujuh tidak dilupakan atau ditinggalkan. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, kita dapat menemukan nas terkait perintah ini. Persoalan kemerdekaan umat dan anak-anak Allah mendapat menekanan pada pada Perjanjian Baru. Yesus menekankan bahwa hari sabat untuk manusia -- bukan manusia untuk hari sabat (bdk.Mrk 2:27). Rasul Paulus memaklumkan pokok utama maksud kedatangan Yesus yaitu tindakan penebusan, warta kemerdekaan. Di dalam dunia baru yang dibawa oleh Kristus, "tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan" (Gal 3:28). Yesus menghapus segala bentuk perbudakan yang merendahkan martabat manusia sebagai citra Allah (Kieser B., 1991).
Â
      Pembebasan menuju kemerdekaan sejati yang dibawa oleh Yesus sangat mengakar dalam ajaran Kristiani. Dalam Katekismus ditekankan bahwa melalui Injil, "Gereja menerima wahyu seutuhnya tentang kebenaran mengenai manusia. Kalau ia menjalankan tugasnya, yakni mewartakan Injil, maka ia memperlihatkan kepada manusia, atas nama Kristus, martabat dan panggilannya untuk persekutuan pribadi; ia mengajarkan kepadanya keadilan dan cinta kasih yang sesuai dengan kebijaksanaan ilahi" (KGK 2419). Secara lebih spesifik diberi pesan kepada para atasan dan majikan: "Mereka berkewajiban supaya memperhatikan kesejahteraan manusia dan tidak hanya peningkatan keuntungan" (KGK 2432). Para majikan hendaknya berlaku adil dan jujur terhadap karyawan atau orang-orang yang bekerja untuknya (bdk. Kolose 3:22; 4:1). Nasehat ini didasarkan pada iman bahwa baik buruh kerja, pegawai, karyawan maupun para atasan semuanya milik Tuhan.
Â
      Dalam praktek kehidupan real, Gereja tidak selalu hidup sejalan dengan ajaran Yesus Kristus. Sangat disayangkan bahwa sering kali ada pembenaran teologis terhadap perbedaan antara orang merdeka dan para budak. Ada anggapan bahwa kemiskinan atau kelas-kelas sosial disebabkan karena dosa. Dalam pengajaran, Gereja selalu mengecam praktek perdagangan umat manusia oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam bidang politik dan ekonomi. Akan tetapi Gereja partikular dalam kurun waktu tertentu membenarkan adanya para pekerja di biara. Apakah ada dari mereka yang diperlakukan sebagai budak? (bkd. Kieser B., 1991).
Â
      Perintah ketujuh ini mengalami pergeseran perhatian dari 'penculikan manusia' pada pencurian barang. Pergeseran ini menekankan aspek keadilan sosial hak milik pribadi. Katekismus menekankan penghormatan pada hak atas milik pribadi, baik harta yang diwariskan kepadanya, diterima dari orang lain maupun yang ia usahakan sendiri. Demi kesejahteraan umum, setiap orang harus menghormati hak atas milik pribadi dan penggunaannya tanpa melupakan prioritas bahwa pada dasarnya harta benda adalah milik semu amanusia (KGK, 2403).
Â
      Dalam hal pencurian barang, kita dapat mengelompokkan pencurian menjadi dua. Pertama, pencurian dari atas. Pencurian yang dimaksud adalah ketika para penguasa, para atasan, pemilik modal menghalalkan segala cara supaya mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari kerja keras orang-orang miskin. Sebagai contoh, sebuah perusahaan tidak memberikan upah yang adil kepada para buruh. Kedua, pencurian dari bawah. Pencurian dari bawah adalah orang miskin yang mengambi lmilik orang kaya secara sembunyi-sembunyi atau tanpa persetujuan pemiliknya. Kedua macam pencurian tersebut tetap tidak dibenarkan. Larangan bagi tindak perampasan dan pencurian harta benda menekankan makna sosial dari kepemilikan (Kiswara, 1992:80).
Â
      Menghormati hak milik pribadi merupakan aturan yang adil dan membebaskan. Setiap orang punya hak dan kesempatan secara bertanggungjawab untuk menggunakan miliknya dengan sebaik-baiknya. Harta benda dapat digunakan untuk menopang kelangsungan hidup manusia, pertumbuhan dan perkembangan dirinya menjadi manusia yang maksimal. Akan tetapi, ia tidak dapat memutlakkan harta milik itu. Segala sesuatunya adalah pinjaman dari Tuhan, Sang Pemilik segala sesuatu (Im 25:23). Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menjadi angkuh, bertindak sewenang-wenang, malas karena memilik banyak harta. Tetapi ia harus mengelola hartanya secara bertanggungjawab.
Â
- Relevansi
Â
      Seperti perintah-perintah yang lainnya, Perintah Allah yang ketujuh ini tetap mendapat tempat bagi kehidupan manusia saat ini. Masalah yang dihadapi oleh umat manusia zaman sekarang jauh lebih kompleks dari abad-abad sebelumnya. Oleh sebab itu, kita perlu menafsirkan relevansi dari Perintah ini bagi masyarakat kontemporer.
Â
      Perintah ketujuh adalah panggilan bagi uma tmanusia untuk menghargai martabat sesama manusia. Pada zaman sekarang, ada banyak orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi. Oleh karenanya, mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Dalam menanggapi situasi orang-orang sulit ini, orang-orang kaya dipanggil untuk berbagi, memberikan sebagian dari harta kepada orang miskin dan kesusahan. Kemauan berbagi kepada orang-orang miskin didorong oleh kesadaran bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu, termasuk harta demi kelangsungan hidup manusia seluruhnya. Artinya, Tuhan tidak mengkhusukan harta itu bagi orang-orang kaya saja. Mereka wajib merelakannya bagi orang lain supaya mereka tetap hidup.
Â
      Perintah ini menjadi panggilan bagi setiap orang untuk memaksimalkan kemampuan yang telah diberikan oleh Tuhan padanya. Ia tidak menempuh jalan pintas dalam memperoleh harta, tetapi mendapatkannya karena kerja keras sehingga ia pantas memperolehnya. Dengan demikian, setiap orang tidak dibebani oleh ketakutan akan kehilangan barang-barang, uang dan segala fasilitasnya. Ia juga tidak melekatkan diri pada benda duniawi itu. Baginya, harta duniawi adalah pemberian Tuhan demi kebaikan, pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia.
Â
- Contoh kasus terkait
Â
        Dalam konteks Indonesia, topik yang ramai dibahas akhir-akhir ini adalah pembuatan undang-undang.  Pada bulan Juli yang lalu, terjadi demo besar-besaran mahasiswa menolak Undang-undang RKUHP. Kita berharap supaya masyarakat melaksanakan demo bukan hanya ikut-ikutan saja tetapi karena tujuan yang mulia yaitu supaya Undang-undang yang dibuat mendukung keadilan sosial, hak-hak asasi manusia dan memerdekakan rakyat. Seperti yang tertulis dan Undang-undan RKUHP, "bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab... keadilan sosial" (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 2019).
Â
      Presiden Republik Indonesia, Jokowi Dodo menghimbau para Menteri dan pejabat pemerintahan supaya menggunakan uang yang telah dikumpulkan dari rakyat dengan semestinya. Ia mengatakan, "Ini uang rakyat, uang yang dikumpulkan dari pajak BPN, BPH.... dikumpulkan dengan cara yang tidak mudah. Kemudian belanjanya, belanja produk impor. Bodoh sekali, maaf...". Hal ini disampaikan oleh Presiden Jokowi supaya para pejabat pemerintah Indonesia tidak menyia-nyiakan uang rakyat. Pajak yang dikumpulkan seharusnya digunakan demi kesejahteraan rakyat, bukan kesenangan para pejabat atau hanya menguntungkan negara-negara lain.
Â
      Praktek korupsi merupakan tindak pelanggaran perintah ketujuh. Sebagaimana kita ketahui bahwa asset pemerintah harus digunakan bagi kesejahteraan umum. Akan tetapi ada beberapa pejabat pemerintah yang menggunakan untuk kepentingan pribadi secara diam-diam. Akibatnya, masih banyak rakyat yang hidup menderita, banyak daerah terpencil karena tidak ada terwujud program pembangunan jalan raya dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Â
Penutup
Â
      Perintah ketujuh bertujuan memerdekakan kemanusiaan kita. Perintah yang membebaskan manusia dari perbudakan orang lain, terbelenggu pada harta benda dan perolehan harta milik secara tidak wajar. Orang dipanggil untuk mau mengusahakan bumi ciptaan sesuai kapasitas, kemampuan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya. Manusia harus melawan kemalasan yang hendak membawa dirinya pada kebinasaan dan kemunduran.
Â
      Perintah ini memanggil kita untuk menempatkan manusia sebagai citra Allah. Allah menciptakan manusia serupa dengan-Nya. Setiap orang memiliki martabat manusia yang tidak boleh diganggu gugat oleh orang lain. Masing-masing orang diberi hak oleh Tuhan untuk mengelola harta bendanya masing-masing. Maka orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa persetujuan dari pemiliknya karena pencurian itu adalah mengambil harta yang telah diberikan oleh Tuhan kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H