Dalam praktek kehidupan real, Gereja tidak selalu hidup sejalan dengan ajaran Yesus Kristus. Sangat disayangkan bahwa sering kali ada pembenaran teologis terhadap perbedaan antara orang merdeka dan para budak. Ada anggapan bahwa kemiskinan atau kelas-kelas sosial disebabkan karena dosa. Dalam pengajaran, Gereja selalu mengecam praktek perdagangan umat manusia oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam bidang politik dan ekonomi. Akan tetapi Gereja partikular dalam kurun waktu tertentu membenarkan adanya para pekerja di biara. Apakah ada dari mereka yang diperlakukan sebagai budak? (bkd. Kieser B., 1991).
Â
      Perintah ketujuh ini mengalami pergeseran perhatian dari 'penculikan manusia' pada pencurian barang. Pergeseran ini menekankan aspek keadilan sosial hak milik pribadi. Katekismus menekankan penghormatan pada hak atas milik pribadi, baik harta yang diwariskan kepadanya, diterima dari orang lain maupun yang ia usahakan sendiri. Demi kesejahteraan umum, setiap orang harus menghormati hak atas milik pribadi dan penggunaannya tanpa melupakan prioritas bahwa pada dasarnya harta benda adalah milik semu amanusia (KGK, 2403).
Â
      Dalam hal pencurian barang, kita dapat mengelompokkan pencurian menjadi dua. Pertama, pencurian dari atas. Pencurian yang dimaksud adalah ketika para penguasa, para atasan, pemilik modal menghalalkan segala cara supaya mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari kerja keras orang-orang miskin. Sebagai contoh, sebuah perusahaan tidak memberikan upah yang adil kepada para buruh. Kedua, pencurian dari bawah. Pencurian dari bawah adalah orang miskin yang mengambi lmilik orang kaya secara sembunyi-sembunyi atau tanpa persetujuan pemiliknya. Kedua macam pencurian tersebut tetap tidak dibenarkan. Larangan bagi tindak perampasan dan pencurian harta benda menekankan makna sosial dari kepemilikan (Kiswara, 1992:80).
Â
      Menghormati hak milik pribadi merupakan aturan yang adil dan membebaskan. Setiap orang punya hak dan kesempatan secara bertanggungjawab untuk menggunakan miliknya dengan sebaik-baiknya. Harta benda dapat digunakan untuk menopang kelangsungan hidup manusia, pertumbuhan dan perkembangan dirinya menjadi manusia yang maksimal. Akan tetapi, ia tidak dapat memutlakkan harta milik itu. Segala sesuatunya adalah pinjaman dari Tuhan, Sang Pemilik segala sesuatu (Im 25:23). Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menjadi angkuh, bertindak sewenang-wenang, malas karena memilik banyak harta. Tetapi ia harus mengelola hartanya secara bertanggungjawab.
Â
- Relevansi
Â
      Seperti perintah-perintah yang lainnya, Perintah Allah yang ketujuh ini tetap mendapat tempat bagi kehidupan manusia saat ini. Masalah yang dihadapi oleh umat manusia zaman sekarang jauh lebih kompleks dari abad-abad sebelumnya. Oleh sebab itu, kita perlu menafsirkan relevansi dari Perintah ini bagi masyarakat kontemporer.
Â