Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Gelap Terang Seribu Bulan

17 April 2023   00:01 Diperbarui: 17 April 2023   03:44 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.muslim.sg/

Beberapa bulan terakhir ini saya menemukan jejak seorang gitaris klasik berdarah Turki, Emre Sabuncuoglu. 

"Pada tahun 2006, ia menyelesaikan gelar doktornya (Doktor Seni Musik) di University of Southern California, Thornton School of Music sebagai mahasiswa James F. Smith. Sebagai penerima Beasiswa Musik Andres Segovia Endowed, ia mengambil jurusan doktoral di bidang teori musik, etnomusikologi, gitar Flamenco, dan gitar studio. Selama masa ini, ia juga belajar pertunjukan dengan gitaris legendaris Pepe Romero. 

Disertasi doktoralnya, Teori Musik Matematika: Sebuah Analisis Komprehensif dari Model-Model Teoritis Utama Abad Kedua Puluh, mengeksplorasi secara mendalam hubungan antara musik dan matematika," begitu keterangan bio dari websitenya. Emre Sabuncuoglu adalah musisi sekaligus akademisi dengan skill yang mumpuni. 

Emre Sabuncuoglu memainkan The Four Seasons karya Vivaldi dengan sangat luar biasa. Berkenaan dengan The Four Seasons atau Empat Musim ini, saya mengulasnya dalam Le Quattro Stagioni. 

Senin ini (17/04) adalah hari Senin terakhir pada puluhan ketiga Ramadan. Nanti malam adalah malam ke-27. Malam yang diyakini diantara malam-malam yang potensial untuk bersinggasananya Laylatul Qadar (Lailatulkadar, menurut KBBI). Diiringi alunan apik komposisi Empat Musim oleh Emre Sabuncuoglu---yang meski hanya dengan satu gitar namun terasa orkestratif---saya ingin mengajak kita untuk membahas sisi lain dari Seribu Bulan. Sisi gelap dari Seribu Bulan, tepatnya.

Seribu Bulan  

Lailatulkadar adalah malam istimewa yang bernilai sebanding dengan seribu bulan. Secara sederhana seribu bulan itu setara 83 tahun. Uniknya 83 tahun mendekati jumlah jumlah tahun usia Rasulullah saw 63 dan masa khilafatur rasyidah beliau selama 30 tahunan. Menilik keunikan ini, tidaklah terlalu berisiko untuk menyatakan bahwa Lailatulkadar terbesar sudah turun 14 abad silam, yakni diutusnya Nabi Muhammad saw.

"Kata layl yang berarti satu malam, bisa berarti satu tahun setelah Hijrah dalam kasus Nabi Suci dan satu abad dalam kasus Al-Masih yang Dijanjikan," ungkap Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud ra dalam Tafsir Kabir pada bagian ayat yang ke-3 dari Surah Al-Fajr. Sedikit catatan di sini, perhitungan ayat dalam cetakan ini berbeda lebih satu nomor karena basmalah dihitung sebagai ayat yang pertama. 

"Jadi, 'Sepuluh Malam' melambangkan sepuluh tahun kegelapan dari penganiayaan berat yang dialami kaum Muslimin di Mekah sebelum Hijrah Nabi Suci ke Madinah, yang [mana peristiwa Hijrah tersebut] diibaratkan sebagai fajar menyingsing dalam ayat sebelumnya. Atau, 'Sepuluh Malam' [di sini] dapat merujuk kepada sepuluh abad kemunduran dan kemerosotan Islam sebelum kedatangan Al-Masih yang Dijanjikan, yang mengakhiri periode kelam kemerosotan, dan yang mengantarkan fajar masa depan yang gemilang bagi Islam. 

Referensi tersirat tentang 'Sepuluh Malam' kemunduran Islam ini juga dapat ditemukan dalam ayat Al-Quran: 'Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu' (QS 32:6). Sepuluh abad (atau seribu tahun) kemerosotan moral umat Islam ini terjadi setelah tiga abad pertama masa kejayaan dan keagungan mereka, yang disebut sebagai tiga abad terbaik dalam Islam oleh Nabi Suci (Bukhari, Kitabur-Riqaq). 

Kemunduran Islam dimulai menjelang akhir abad ketiga Hijriah ketika di satu sisi seorang Khalifah Umayyah dari Spanyol menandatangani pakta bantuan timbal balik dengan Paus untuk melawan Kekaisaran Abbasiyah di Baghdad, dan di sisi lain Khalifah Baghdad menandatangani perjanjian persahabatan dengan Kaisar Roma untuk melawan Khalifah Umayyah di Spanyol," tambahnya.

Tafsir ini membuka sejarah akan dilalui umat Islam selepas kewafatan Sang Nabi. Bahwa ada tiga abad terbaik yang akan diikuti sepuluh abad masa kegelapan Islam. Hasan Abul Asybal Az-Zuhairi dalam Kitab Syarh Shahih Muslim mengutip perkataan Al-Qadhi 'Iyadh tentang sebuah hadits yang berbunyi: Al-Khilaafah ba'dii tsalaatsuuna  sanah, tsumma takuunu mulkan 'aadhdhan, yakni Kekhalifahan sesudahku 30 tahun kemudian setelah itu akan ada kerajaan yang mengigit. 

"Khilafatur Rasyidah (khalifahan yang mendapat petunjuk) yang berdasarkan sistem kenabian telah diangkat, dan durasinya adalah tiga puluh tahun beberapa bulan, dan itu adalah khalifah yang empat: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Nabi saw bersabda: 'Tiga puluh tahun', artinya: kira-kira atau kurang lebih,'" ungkap Az-Zuhairi.

Berkenaan dengan siapa mulkan 'aadhdhan (kerajaan yang mengigit) tersebut, Az-Zuhairi menyatakan: "Itu adalah kerajaan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan lainnya."

Adapun makna atau maksud dari raja yang menggigit adalah raja yang di dalamnya ada kesewenang-wenangan dan ketidakadilan terhadap rakyatnya, seolah-olah dia (si raja tersebut) menggigit mereka dengan giginya. Sebagaimana pepatah menyatakan: "Perang menggigit mereka, senjata menggigit mereka, dan waktu menggigit mereka." Sebuah metafora untuk betapa kerasnya semua itu bagi mereka.

Pada fase kerajaan menggigit inilah masa kegelapan menaungi langit dunia Islam. Untuk menggambarkan bagaimana kondisi umat Islam pada saat kemundurannya, saya akan mengambil tulisan Salah Zaimeche dalam Did Muslim Rulers play a part in the decline of Muslim Civilisation?:

"Kaum muslimin bertanggung jawab atas kemunduran mereka sendiri. Setelah penaklukan awal, pemerintahan Islam menjadi sangat korup, dan ini sangat melemahkan kekhalifahan. Islam pernah menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat tetapi juga beberapa pemimpin lemah, yang seiring waktu berkontribusi pada kemerosotan perlahan kekuasaan Muslim. Al-Hakem I, yang memerintah Spanyol antara tahun 796 dan 822, mencerminkan hal ini."

"Karakter kaum muslimin di Spanyol dikotori oleh semua keburukan yang mengikuti gaya hidup berfoya-foya dan kekayaan yang berlimpah-ruah. Di antara ini semua, mabuk-mabukan adalah salah satu yang paling umum [ditemukan]. Tokoh-tokoh dari peringkat tertinggi tidak malu tampil di depan umum dalam keadaan mabuk. Lemahnya generasi penerus secara nasional ini menjadi penunjuk dini dari runtuhnya kemaharajaan yang semakin dekat dan tak terelakkan. Keturunan para penakluk, yang pernah selama tiga tahun dengan gagahnya berderap dari Gibraltar ke pusat Prancis, [malangnya] dalam beberapa generasi [berikut] menjadi pengecut, banci, dan korup," tulis Zaimeche mengutip pernyataan Samuel Parson Scot.

Atau, ungkapan  George Sarton sebagaimana dikutip Zaimeche dalam The Question is...? Myths and Fallacies Surrounding the Decline of Muslim Civilisation: 

“Pencapaian orang-orang berbahasa Arab ini antara abad ke-9 dan ke-12 begitu agung sehingga membingungkan pemahaman kita. Dekadensi Islam dan orang-orang Arab pun hampir sama membingungkannya dalam kecepatan dan kepersisannya dengan kebangkitan fenomenal mereka. Para sarjana akan terus mencoba menjelaskannya ketika mereka mencoba menjelaskan dekadensi dan kejatuhan Roma. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat rumit dan tidak mungkin untuk menjawabnya dengan cara yang sederhana."

Inilah sisi gelap dari Seribu Bulan yang adalah seribu tahun kegelapan yang melingkupi langit Islam. 

Setitik cahaya di malam tergelap

Langit dunia Islam tetap berbintang bahkan pada saat tergelapnya. "Nabi saw bersabda: Allah akan membangkitkan untuk umat ini pada akhir setiap abad orang yang akan memperbaiki agamanya," Abu Dawud meriwayatkan. Konsep ini kemudian secara teknis dalam dunia Islam disebut dengan tajdid, yakni pembangkitan mujaddid pada setiap awal abad. 

Seperti kita bahas dalam Membincang Peradaban dan Kebudayaan (Islam), saat peradaban mencapai titik tertinggi, maka kebudayaan akan melandai hingga ke lunasnya. Dan pada gilirannya, peradaban pun turut melandai---bila kita menghindari kata meluncur turun. Namun, karena dunia Islam tidak pernah sama sekali hilang cahaya, maka percikan cahaya masih terlihat di langitnya. Keadaan ini dengan cukup adil tergambar dalam How Islam Won, and Lost, the Lead in Science yang ditulis Dennis Overbye di The New York Times.

"Tidak ada di Eropa yang dapat menahan apa yang terjadi di dunia Islam sampai sekitar tahun 1600," kutip Overbye dari perkataan Dr. Jamil Ragep, seorang profesor sejarah sains di Universitas Oklahoma. "Masuknya pengetahuan ini ke Eropa Barat, kata para sejarawan, yang memicu Renaisans dan revolusi ilmiah [di Eropa]."

Mengembangnya sayap kegelapan dikemas dalam dua paragraf Overbey berikut:

"Dari abad ke-10 hingga ke-13, kata Dr. [David] King, orang Eropa---terutama di Spanyol---menerjemahkan karya-karya ilmiah Arab ke dalam bahasa Ibrani dan Latin 'secepat yang mereka bisa'. Hasilnya adalah kelahiran kembali pembelajaran yang pada akhirnya mengubah peradaban Barat.

[Lalu,] mengapa sains Timur tidak terus maju? 'Tidak ada yang [dapat] menjawab pertanyaan itu dengan memuaskan,' kata Dr. [Abdelhamid] Sabra dari Harvard. Saat didesak, sejarawan ini menawarkan konstelasi alasan. Di antaranya, kerajaan Islam mulai digerus pada abad ke-13 oleh Tentara Salib dari Barat dan bangsa Mongol dari Timur."

Dari sekian paragraf, mengingat artikel ini terhitung panjang, bagian inilah favorit saya:

"Di Barat, sains mampu membayar dirinya sendiri dalam teknologi baru seperti mesin uap dan menarik pembiayaan dari industri, tetapi di Timur sains tetap bergantung pada perlindungan dan keingintahuan (tepatnya, kepedulian) para sultan dan khalifah. Lebih lanjut, Ottoman, yang mengambil alih tanah Arab pada abad ke-16, adalah pembangun dan penakluk, bukan pemikir, kata Dr. El-Baz dari Universitas Boston, dan dukungan semakin berkurang. 'Anda tidak bisa mengharapkan ilmu menjadi unggul sedangkan masyarakat tidak,' katanya.

Namun, yang lain berpendapat bahwa sains Islam tampaknya merosot hanya jika dilihat dari kacamata sekuler Barat. 'Dimungkinkan untuk hidup tanpa revolusi industri jika Anda memiliki cukup unta dan makanan,' kata Dr. King.

'Mengapa sains muslim merosot?' tanya Dr. King. 'Itu pertanyaan yang sangat Barat. [Kontribusi muslim dalam sains] ini berkembang selama seribu tahun---tidak ada peradaban di Bumi yang berkembang selama itu dengan cara seperti itu.'"

Inilah berkah dari adanya tajdid yang tetap memberikan amplifikasi nur (cahaya) yang dipancarkan Nabi Muhammad saw. Dalam perspektif ini, lamat-lamat sebuah hadits yang menyatakan bahwa para sahabat-sahabat Nabi saw seibarat bintang mendorong saya untuk memercikkan sebuah tanya: "Mungkinkah para mujaddid adalah termasuk kategori sahabat dalam dimensi ini? Bukan secara terminologis tentunya."  

"The stars are proof that even on the darkest night there is a little light," begitu ungkap Cole Rodgers Rr.

Guru Kedua

Maha Kaushik dalam Guru Vandana: Salutations to the teacher mengartikan kata guru sebagai pengusir kegelapan dan penyingkap tujuan hidup yang sejati. 

Seribu bulan adalah sebuah jumlah yang terhingga. Maka ia pun akan berakhir dengan terbitnya fajar. Adalah Guru Kedua yang dijanjikan menyingkap tabir kegelapan dan membimbingnya menyambut sang fajar.

Ada dua sosok yang dinubuatkan kedatangannya oleh Nabi Muhammad saw di akhir zaman pada saat kegelapan telah mencapai titik tergelapnya. Pertama, Isa Almasih. Kedua, Imam Mahdi atau al-Mahdi. Sebagian orang berpendapat bahwa keduanya merupakan dua pribadi yang berbeda. 

Sementara yang lainnya berpandangan bahwa keduanya merupakan satu sosok beridentitas ganda. Pandangan yang kedua ini mendapatkan dukungan dari sebuah hadits yang menyatakan walal-mahdiyyu illaa 'Iisab-nu Maryam (tidak lain al-Mahdi itu kecuali Isa bin Maryam). 

Dalam tafsir ayat wa aakhariina minhum lammaa yalhaqu bihim (Dan kepada orang-orang lain di antara mereka yang belum bergabung dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana-QS Al-Jumu'ah: 3), Imam Bukhari---sebagaimana dikutip dari Ibnu Katsir---meriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata bahwa dia sedang duduk bersama Nabi, ketika Surat Al-Jumu`ah diwahyukan kepada Nabi saw. 

Dan ketika para sahabat bertanya kepada Nabi saw siapakah mereka, beliau tidak menjawab hingga tiga kali pertanyaan yang sama diajukan. Saat itu ada Salman al-Farisi dalam kumpulan tersebut. Maka Nabi saw meletakkan tangan beliau di atas pundak Salman seraya bersabda, "Bila iman sudah terbang ke bintang Tsurayya maka beberapa orang atau seseorang dari bangsa ini (Persia) akan mengembalikannya."

Sebuah redaksi menyatakan lebih jelas lagi. Abu Huraira meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jika iman terbang ke bintang Tsurayya, maka seseorang dari Persia akan menguasainya, atau salah satu keturunan Persia pasti akan menemukannya." (Sahih Muslim 2546a)

Dari benang-benang halus ini kita bisa menjalin sebuah konstruk pemahaman bahwa sepuluh malam yang setara dengan seribu tahun. Masa-masa kemunduran kerohanian umat Islam tersebut akan terjadi lebih kurang 300 tahun sejak zaman Nabi saw. Dan, adalah al-Mahdi atau al-Masihlah yang akan mengembalikan Islam kepada kejayaanya yang kedua kali.

Saya harus menahan nafas sejenak saat menyadari bahwa ternyata inilah Lailaturkadar terbesar kedua. 

Dengan perasaan luruh dalam renung, lidah tergerak membaca: Allaahumma innaka 'afuwwun kariimun tuhibbul 'afwa, fa'fu 'annii, Ya Allah, Engkau sungguh Maha Pengampun lagi Maha Mulia. Engkau menyukai ampunan, oleh karenanya ampunilah hamba! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun