Mohon tunggu...
dodi dinar
dodi dinar Mohon Tunggu... Lainnya - mahasisa

Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Seorang Anak yang Baik

17 Mei 2020   07:58 Diperbarui: 17 Mei 2020   13:44 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi saling menarik. (sumber: pixabay)

Ruteng. Kita mengenalnya sebagai kota kecil yang berlatar gunung tinggi menjulang dengan suguhan udara yang selalu sejuk, dingin, dan membuat anda selalu merindu. Di bawah kaki gunung itu, kita bisa menyaksikan begitu banyak orang dengan ciri, cara bicara, dan sikap yang berbeda.

Ruteng selalu memberikan cerita ceria bagi kita semua. Jika ada yang rindu suasana kampung, anda tinggal meluncur ke Ruteng. Di sana suasana khas kampung akan terasa sekali.  

Dan di Ruteng juga, nilai tradisioanl yang diwariskan nenek moyang masih dipelihara dengan baik, nilai gotong royong masih bisa anda saksikan di mana-mana, sikap saling membantu dan anak-anak yang masih sangat menghormati orang yang lebih tua anda bisa lihat di sana.

Dan kisah ini adalah tentang seorang anak yang tanpa pamrih selalu menyempatkan dirinya membantu sesamanya. Di bawah kaki gunung itu, tepatnya di sebuah daerah bernama Leda, hidup sebuah keluarga dengan gubuk reoknya yang sudah sangat memprihatinkan. 

Jikalau anda menyempatkan melihat ke bagian dalam gubuk itu, suasana yang memprihatinkan terlihat dengan jelas. Kasur yang sobek sana-sini, malahan sudah usang lagi. 

Gubuk kecil yang hanya terdiri dari dua kamar. Di kamar satunya lagi, yang anda bisa lihat hanyalah ruangan tidur yang berasalkan tikar. Dan sinar matahari mencuri-curi masuk ke dalam ruangan rumah, atap rumah itu sudah bocor di sana sini. 

Gambaran yang jauh dari kata layak dihuni. Tetapi, satu keluarga kecil itu tidak pernah mengeluh. Mereka selalu bersemangat untuk tetap menjalani hidup mereka.

"Kita tidak pernah mati meski dengan kondisi kita sekarang ini. Tuhan selalu melihat ke bawah dan tidak membiarkan anak-anaknya kesusahan. Yang penting kita harus terus bekerja dan berusaha" Demikianlah sang Ayah terus menyemangati istri dan kedua anaknya setiap hari. Jelas bahwa ia tidak ingin melihat mereka murung.

Anak pertamanya bernama Beni yang saat ini duduk dibangku kelas 2 SMP di salah satu SMP negeri non-unggulan di daerah itu. Dan anak keduanya Naldy, yang masih berusia 5 tahun. 

Sedang sang istri hanya penggangguran yang harap-harap cemas menunggu panggilan kerja dari tetangga, seperti membersihkan kebun, memanen padi dan lain-lain. Selebihnya dia hanya duduk di rumah menyiapkan hal-hal yang layak dibuat oleh istri. Sedangkan sang suami hanya buruh kasar yang menerima layanan tukang bangunan jika memang ada rejeki, namun dengan upah seadanya. 

Gambaran yang memang jauh dari kata berkucupan, apalagi penghasilan dari keluarga itu harus dibagi untuk biaya uang sekolah Beni. Bahkan pernah sekali, uang komite wajib tidak dibayar selama 3 bulan pertama. Hingga sekolah mengeluarkan surat peringatan dan panggilan orangtua untuk membahas tunggakan uang sekolah.

"Bapa, jika bapa tidak rutin membayar uang komitenya Beni, bisa saja anak bapa ini diskors atau lebih parahnya lagi bisa diberhentikan"

Sang ayah hanya tertunduk lesu. Mukanya jelas pucat memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

"Baik bapa, akan segera saya lunaskan dalam waktu dekat bapa" Jawab sang ayah menutup pembicaraan dengan kepala sekolah siang itu.

Ayahnya melangkah lunglai dari ruangan kepala sekolah. Di luar anaknya menyambut dengan nada suara yang tertelan lesu.

"Ayah, ada apa ayah?" tanya Beni.

"Tidak ada apa-apa nak, kepala sekolah memberikan keringanan untuk uang sekolah kamu. Katanya kita bisa membayarnya kapan saja ketika kita sudah punya uang" Jawab ayahnya.

Jelas sekali ia harus berbohong. Tidak mungkin ia menceritakan bahwa anaknya bisa saja dikeluarkan dari sekolah karena persoalan uang komite. Jikalau itu sampai terjadi, bisa saja menjadi salah satu kegagalan dalam hidupnya.

Mulai sekarang ia harus berpikir lebih keras lagi untuk mencari uang tambahan untuk makan dan uang sekolah Beni. Hari-hari berikutnya ia selalu membicarakan masalah ini dengan istrinya. Namun Beni bukanlah anak yang bodoh. Ia tahu bahwa ayahnya sudah berbohong padanya. Namun, pastinya ia juga berada dalam posisi yang sulit sekarang.

"Apa yang harus saya perbuat? Apakah diluar sana akan ada pekerjaan  yang pas untuk anak seumuran saya?"

Awalnya Beni mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun lama-lama ia rasa bahwa tidak sepenuhnya ini menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya, apalagi mereka masih harus membagi uang untuk biaya makan minum mereka.

"Ibu, Ayah di mana?" Tanya Beni

"Lagi timba air nak? Kenapa memangnya?" Jawab ibunya penasaran

"Tidak bu. Aku pamit bermain dulu ya ibu"

"Iaiai nak, hati-hati nak, jangan kamalaman pulangnya"

"Sip bu"

Siang itu berlalu dengan percakapan antara Beni dan ibunya. Tumben siang itu Beni pamit untuk bermain.  Dan hal ini berlangsung terus hingga masa liburannya. Seperti biasa dia dan ayahnya menyempat diri mengais rejeki di kebun kopi belakang rumah mereka. 

Mencoba melihat-lihat apakah masih tersisa sedikit biji kopi untuk bisa dijual di kota. Namun nyatanya sama seperti 6 bulan lalu ketika terakhir kali mereka ke kebun.

"Ya ayah, kosong nih" Kata Beni

"Hehehe mau bagaimana lagi Ben. Yaudah kita pulang saja"

Seperti sebagian besar masyarakat manggarai, kopi adalah komoditas utama yang menjadi modal usaha. Namun hari itu mereka pulang dengan tangan hampa.

Hingga pada suatu malam, ayahnya jatuh sakit tanpa alasan yang jelas. Suhu tubuhnya sangat tinggi disertai pilek dan batuk. Semua sangat bingung apa yang harus diperbuat. Apalagi mereka tidak tahu siapa yang harus dihubungi. 

Telpon genggam saja mereka tidak punya dan rumah para tetangga sangat jauh dari rumah mereka. Ibunya sibuk melihat-lihat di lemari apakah ada yang bisa dipakai sebagai obat. Namun tidak ada.

"Nak kamu bisa pergi mencari obat di kebun belakang rumah?" Pinta ibunya

"Baik bu"

"Cari daun jarak ya nak, kalau engak daun camas ya nak" Dalam tradisi orang manggarai, kedua jenis daun ini biasa dipakai untuk menurunkan panas sebagai Pertolongan Pertama pada Kecelakaan. Beni memberanikan diri menembus gelapnya malam, meski ia sebenarnya takut. Tetapi ia teringat akan ayahnya yang terbaring lemas. Sekitar 30 menit berlalu ia berhasil menemukan dedaunan yang diminta ibunya

"Sepertinya ini daun yang diminta ibu" Tandas Beni

Ia pun kembali ke rumahnya. Tetapi di tengah jalan ia mendengar suara kasak kusuk dari antara semak belukar. Sejujurnya ia sangat takut. Takut di sangka sebagai pencuri. Ia perlahan berjalan mendekati sumber suara dan samar-samar melihat ada 3 sampai 4 orang sedang bertengkar di sana. 

Rata-rata mereka berumur 30 tahun. Ia tidak tahu apa yang sedang mereka peributkan, namun ia melihat salah satu dari keempat orang itu membawa parang yang panjang. Seketika ia sangat takut dan bingung apa yang harus ia lakukan.

"Bapa jangan seenaknya saja memutuskan begini dong" Kata seorang dari keempat orang tersebut.

"Tidak  bisalah. Masa bapak egois sekali" Kata seorang yang lain.

Mereka terlibat pertengkaran adu mulut yang panjang. Dan sepertinya tidak ada yang mau mengelah.

"Om Ari, ini air milik bersama. Jadi sudah sepantasnya kita memakai secara bersama juga"

Sepertinya itu Om Ari dan beberapa tetangganya. Mereka sepertinya memperebutkan siapa yang terlebih dahulu sampai ke Ulu wae (mata air) supaya bisa dialirkan ke lahan terdekat. Beni semakin takut jika ia berlama-lama keberadaannya akan ketahuan. Ia melangkah pelan menjauh dari tempat ia menguping tadi. Dan sejadinya mempercepat langkahnya menuju rumah.

"Nak kamu kenapa lama sekali? Ibu khawatir"

"Maaf bu, tadi nyarinya susah sekali bu. Sangat gelap di sana" Jawab Beni.

Dari raut mukanya ia masih ketakutan dengan apa yang ia lihat barusan. Takut jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Bu, mata air yang di atas itu milik bersama kan bu?"

"Ia nak. Kenapa memangnya?"

"Tidak bu. Cuma penasaran aja"

"Namanya mata air itu tidak boleh diperebutkan nak. Kita orang manggarai seharusnya bersyukur bahwa mata air itu masih ada. Apalagi dalam kepercayaan kita, mata air sebagai tempat tinggal bagi nenek moyang kita. Jadi kalau diperebutkan jangan sampai mengganggu kehidupan para nenek moyang kita" Jelas ibunya sambil mencampurkan bahan tradisional dengan daun yang sudah diambil Beni.

Keesokannya. Pagi-pagi sekali Beni mengganti peran ayahnya untuk menimba air untuk mengisi tong-tong yang ada di rumahnya. Sepanjang jalan ia masih kepikiran tentang pristiwa yang terjadi semalam. Jangan sampai mereka tahu Beni menguping semalam dan sekarang sedang menunggu Beni di sana.

"Tuhan apa yang akan terjadi hari ini?" Keluh Beni dalam hati.

Namun sesampainya di sana ia tidak melihat siapa-siapa lagi. Lalu ia melanjutkan aktivitas paginya. Lalu terlintas dalam benaknya bahwa, sekarang di Manggarai memang sedang mengalami krisis air yang terbilang parah.

Hujan sudah tidak turun selama kurang lebih enam bulan. Mata air semakin berkurang akibat pembalakan atau penebangan hutan secara liar akhir-akhir ini.  

Bisa dibilang, mata air yang tersisa adalah yang sekarang Beni datangi. Beni merasa bahwa pantas saja beberapa orang tidak puas. Situasi kekurangan air membuat beberapa orang menjadi tamak agar air yang mengalir ke lahannya lebih banyak.  

Namun jelas ini merugikan pihak lain. Sejenak Beni berpikir. Mungkin ada sedikit jalan yang bisa ia buat sekarang, supaya kejadian semalam tidak terjadi lagi. Supaya tidak memupuk sikap saling iri antara satu dengan yang lain.  

Lalu ia membuat saluran kecil yang bisa menghubungkan air dari mata air ke lahan penduduk sekitar. Tidak ada yang untung dan tidak ada yang rugi. Ia menghubungkan semua saluran yang dulu digali oleh pemilik lahan menjadi satu saluran, sehingga air mengalir dengan lancar.

"Oke deh. Beginikan lebih bagus" Kata Beni dalam hati.

Beni hafal betul dengan kondisi lahan dan saluran air di sana, selain karena ia sering lewat jalur tersebut untuk mencari kayu bakar, ia juga sempat bekerja sebagai buruh ketika menggarap lahan dan memanen hasil. Setelah urusannya selesai, ia bergegas kembali ke rumah dan mengisi tong-tong yang ada.

"Nak kenapa lama sekali?" Tanya ibunya

"Tidak bu, tadi saya keliling cari kayu" Jawab Beni

Ia terus melakukan hal yang sama selama liburan sekolahnya dan lama kelamaan menjadi rutinitas setiap pagi harinya ketika pergi ke mata air. Ia selalu menyempatkan diri membuka saluran ke lahan penduduk.

Membersihkan saluran ketika tersumbat oleh kotoran baik itu daun-daun atau tanah. Ia selalu memastikan bahwa air tersebut mengalir lancar ke lahan sayur penduduk setempat. Ia melakukan ini atas dasar kemauan sendiri dan secara sadar, tanpa pernah mengharapkan imbalan. Karena bagi dia, seperti kata ibunya. Air di mata air berhak digunakan oleh siapa saja.

Tidak ada yang mengatakan bahwa air itu miliki seorang saja. Bagi dia, nilai luhur yang terkandung dari mata air itu adalah kekuatan yang menyatukan kita semua. Nenek moyang menitipkan ini agar digunakan dengan baik. Dan tugas kita menjaga rumah tempat mereka tinggal. Dan bagi Beni sendiri, semoga kejadian dulu itu tidak terjadi lagi sekarang.

Semua ini berjalan dengan sangat baik untuk waktu yang lama. Hingga suatu sore, warga kaget melihat lahan sayur mereka yang akan dipanen berhamburan sembarangan.

Beberapa sayur tercabut dari temaptnya. Bekas-bekas kaki tersebar dimana-mana. Bisa dibayangkan total kerugian dan juga kemarahan dari para warga. Mereka tidak habis pikir, lahan mereka bisa mejadi hancur begini. Dan baru terjadi pertama kali dalam hidup mereka.

"Pekerjaan bodohnya siapa ini?" Teriak salah seorang ibu.

"Begitu sadis dia sampai harus merusak tanaman kita" Sambung yang lainnya.

Jelas sekali mereka sangat marah melihat kondisi lahan mereka yang tidak berbentuk lagi. Dan ingin segera mengangkap pelaku yang dengan teganya melakukan ini kepada mereka.

"Orang ini harus dihukum setimpal" Ucap Pak RT yang lahannya juga menjadi korban.

Semakin larut, suasana di sekitar juga semakin ramai. Beni, Naldi, dan ibunya yang baru pulang dari kebun penasaran dengan ribut-ribut yang terdengar sampai ke rumah mereka.

"Pa, ada apa ya di sana? Kok ramai sekali?" Tanya Ibu Beni.

"Ohh itu bu, lahan sayur pa RT dan warga ada yang merusaknya bu. Semua sayurnya hilang. Padahal seminggu lagi mau dipanen" Jawab bapak tersebut

"Astaga. Kasihan sekali pa RT. Tega sekali orang yang berbuat sejahat itu. Makasih ya pak"

"Sama-sama bu. Kalau gitu saya lanjut pulang ya bu" Kata si bapa.

Ibu Beni mengangguk pelan. Melihat keramaian yang dari kejauhan ia semakin penasaran.

"Bu ada apa bu?" Tanya Beni yang muncul dari dapur

"Itu nak, ada yang merusaki lahan sayur pa RT dan warga. Bahkan sampai mencuri sayur lagi" Jawab ibunya

"Kasihan ya bu. Mudah-mudahan pencurinya bisa segera ketemu ya bu"

"Iaiaia juga nak. Kalau gitu ibu masakin sayur buat ayah kamu dulu ya"

"Baik bu. Beni juga mau berdoa dulu. Naldi sini ikut sama kaka" Beni mengajak adiknya berdoa. Sebagai adik yang baik, Naldi nurut saja sama ajakan kakaknya.

Pagi berikutnya, Beni seperti biasa mengisi jeriken kosong di mata air untuk mengisi tong-tong di rumahnya. Sebelum pulang, ia selalu melihat saluran air yang pernah ia buat. Tetapi kondisi pagi ini sangatlah buruk. Banyak sampah yang menyumbat di saluran air tersebut. Baik rumput, bebatuan, dan bahkan sampah plastik.

"Astaga, kenapa separah ini?" Kata Beni dalam hatinya.

Ia kemudian membersihkan sampah sepanjang saluran air. Lumayan banyak sampah yang menyumbat saluran tersebut, yang membuat air mengalir keluar dari saluran yang ia buat. Namun tiba-tiba ia disergap dari belakang hingga Beni tidak bisa bergerak dan hanya bisa meronta dan berteriak.

"Lah ini siapa? Jangan culik aku om. tidak berbuat hal yang aneh"Beni memohon dengan air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya.

"Ohh ternyata ini dia pencuri yang sudah rusakin lahan Pa RT dan warga. Kamu Beni kan? Anak yang tinggal di gubuk dekat sini?" Tanya Pa Ari.

Beni ingat betul dengan Pa Ari. Yang dulu pernah ribut-ribut dengan beberapa orang karena masalah air.

"Tidak pak. Aku tidak pernah mencuri pak. Lepasin saya pak. Saya mohon pak. Saya tidak bersalah pak" Beni terus memohon supaya dilepaskan. Ia terus menangis dan ia jelas sangat ketakutan. Takut disiksa, dihukum, dan hal-hal buruk lainnya. Ia saat ini hanya bisa menangis dan terus berharap supaya dilepasin.

"Mana mungkin saya mau lepasin kamu nak. Udah tahu bersalah, lebih baik kamu mengaku saja" Kata Pak Ari lagi

"Saya salah apa pa?" Tanya Beni

"Kamu masih tanya lagi. Kamu kan yang sudah rusakin dan curi sayur di lahan warga?" Tanya salah seorang lainnya.

"Tidak pa. Sumpah demi apapun, saya tidak pernah merusak atau mencuri apapun di lahan warga pa. Saya hanya membantu mengalirkan air pa" Beni mebela dirinya

"Sudahlah. Lebih baik kamu diam. Kita bawa dia ke rumahnya Pak RT" Kata Pak Ari

Beni menangis dan bertertiak memohon agar dia dilepaskan. Namun sekuat apapun ia meronta dan berteriak, beberapa laki-laki tersebut tetap bersikeras membawanya ke rumah Pak RT.

"Selamat pagi pak" Sapa Pak Ari

"Iaiai selamat pagi, ada perlu apa ya pagi-pagi?" Sambut Bu RT

"Pak RT nya ada bu?" Tanya Pak Ari lebih lanjut

"Ada nih. Sabar ya, saya panggilkan dulu"

Tak lama kemudian Pak RT datang dengan masih berbalutkan Songke Manggarai (kain khas Daerah Manggarai).

"Ada perlu apa ya pag-pagi Pak Ari?" Tanya Pak RT

"Maaf sudah mengganggu pagi-pagi begini pak. Ini kami sudah menangkap pencuri yang merusak dan mengambil sayur di lahan bapa dan warga" Jawab Pak Ari dengan tegasnya.

"Apa??!!! Yang benar saja kamu. Kamu anaknya Domi kan?" Tanya Pak RT ke Beni.

Beni tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Ia masih menangis hingga tidak tahu harus berbuat apa. Suaranya seperti sudah habis untuk berteriak. Tangan, kaki, dan bibir, hingga seluruh tubuhnya bergetar ketakutan.

Jauh di dalam hati kecilnya ia berpikir bahwa mungkin ia akan dihukum karena tuduhan yang tidak tepat ini. Ia tidak bisa berdiri tegak dan bahkan untuk duduk pun ia sudah tidak sanggup. Ia hanya bisa menangis dan sesekali berlutut supaya ia dilepaskan karena ia tidak bersalah. 

Namun Pak Ari bersikeras bahwa Beni lah yang melakukan semua tindakan tersebut. Pak RT memang sempat ragu kalau Beni betul-betul melakukan hal sejahat itu. 

Ia tahu kalau Beni anaknya jujur, rajin, dan suka membantu sesama. Namun semakin siang, suasana semakin ramai saja oleh orang-orang yang penasaran dengan kejadian di rumah Pak RT.

Sedangkan di rumahnya, ibunya sangat khawatir dengan Beni yang tak kunjung pulang. Kemudian ia memilih mengikuti Beni ke mata air. Namun sesampainya di sana ia melihat jerigen tertinggal begitu saja dekat sosor. 

Dia tidak tahu kemana perginya Beni. Ia mencari-cari di sekitar tempat tersebut, tetapi ia tidak menemukan jejak Beni sediktipun. Kemudian Bu Aty datang dari arah yang berlawanan.

"Bu, lihat Beni tidak?" Tanya Ibunya.

"Ibu, Beni ada di rumah Pak RT bu. Dia ditahan karena dituduh mencuri dan merusak lahan warga" Jawab Bu Aty.

Ibunya yang mendegar hal ini langsung syok dan terduduk lesu di tanah. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipi. Jiwa tegar yang selama ini selalu ia tunjukkan runtuh seketika, ketika mendengar anaknya ditawan di rumah Pak RT.

"Bu, ayo berdiri bu, saya temani ibu ke rumahnya Pak RT" Tawar Bu Aty

Dengan tenaga yang tersisa, ibu Beni berusaha untuk berdiri dan berjalan meski tergontai.

"Bu, ayo kita ke rumah dulu. Saya mau pamit ke suami saya dulu ibu" Kata Ibu Beni

Mereka berjalan pelan dengan Ibu Beni di topang oleh Bu Aty. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Namun ia tahu, ibu akan tetap menangis ketika mendengar anaknya disakiti. 

Namun sesampainya di rumah, ia melihat isi rumah yang sudah porak poranda seperti sudah dibongkar oleh seseorang. Ia tidak mempedulikannya dan langsung menghampiri suaminya yang masih terbaring lemah di ranjang karena tidak mampu membiayai pengobatan rumah sakit. Ia berpamitan ke suaminya dan juga Naldy.

"Nak, kamu jaga ayah kamu ya" Kata ibunya kepada Naldi dan kemudian berlalu.

Ia dari jauh sudah melihat bahwa sudah begitu banyak orang yang berkerumun di sekitaran rumah pak RT. Ia tidak bisa membayangkan anaknya dikelilingi oleh begitu banyak orang dan semua menuduhnya sebagai pencuri. Ia hanyalah anak kecil yang belum mengerti apapun tentang dunia ini. 

Dia menyusup di antara kerumunan orang dan langsung memeluk anaknya yang tergontai di lantai seperti tak berdaya. Ia mendekapnya sebagai seorang ibu yang sangat tahu apa yang dialami anaknya saat ini. Ia memeluknya, melindunginya dari serbuan banyak orang, banyak tuduhan yang mengarah ke anaknya yang masih belum mengerti apa-apa tentang dunia ini.

"Pak tolong berhenti pak, anak saya tersiksa sekali pak" Ia memohon kepada Pa RT dan orang-orang yang berkerumun di situ. Tetapi semua sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Malahan mereka semakin menuduh Beni dengan hal yang tidak-tidak. 

Ibunya tahu ini adalah pukulann telak bagi anaknya. Ia memeluk tubuh anaknya yang sangat lemas. Bahkan untuk menengadah saja anaknya sudah tidak bisa lagi. Matanya yang sembab karena air mata lemas tak berdaya.

"Ibu.... tolong saya bu. Saya tidak pernah mencuri bu" Kata Beni dengan suara yang masih tersisa.

"Ia nak, ibu tahu kamu tidak pernah mencuri nak. Ibu tahu kamu anak yang paling baik" Kata Ibunya mencoba tegar.

"Selamat pagi semuanya, apa yang sedang terjadi di sini?" Sapa Tua adat yang muncul dari kerumunan orang banyak. Rupanya kejadian pagi ini sudah sampai ke telinga tua adat. Ia melihat Beni dan Ibunya terduduk lemas di lantai dengan Beni yang masih dalam dekapan ibunya. 

Kemudian tua adat memanggil Pak RT dan beberapa orang yang terlibat. Mereka pergi ke bagian lain dari rumahnya Pak RT. Setelah berbicara panjang lebar selama sekitar 30 menit. Tua adat mengambil alih situasi.

"Selamat pagi saudara semua. Saya telah mendengar pristiwa yang terjadi pagi ini. Dan sepertinya ada kesalahpahaman di sini.  Kalau begitu mari kita membahasnya di Mbaru Tembong" Kata tua adat.

"Mana anakku? Mana anakku?" Ayahnya tiba-tiba muncul dari kerumunan orang. Langsung memeluk anaknya yang sudah tidak bertenaga lagi. Ayahnya yang sedang sakit datang dengan Naldy adiknya. Langsung memeluk tubuh lemas anaknya. Ia merasa gagal menjadi ayah hari ini. Anaknya yang rajin dituduh untuk suatu hal yang tidak pernah ia lakukan.

"Ayah, maafin Beni ayah. Beni anak yang jahat ayah" Katanya dengan pelan.

"Tidak nak. Kamu anak yang paling baik bagi ayah. Kamu tidak pernah melakukan hal yang tidak terpuji nak" Kata ayahnya dengan mata sembab.

Ia tahu anaknya tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Apalagi sampai mencuri.

"Domi, ayo kita ramai-ramai ke Mbaru Tembong. Kita bahas semuanya di sana" Kata Tua Adat.

"Anak saya tidak mencuri pa. Anak saya tidak mungkin mencuri pa" Kata ayanya

"Ia, saya tahu Domi. Makanya ayo kita beramai-ramai ke Mbaru Tembong dan kita bahas semuanya di sana" Sambung Tua Adat.

Kemudian semuanya beramai-ramai menuju rumah adat. Mbaru tembong sebuah simbol persatuan bagi masyarakat manggarai. Disini semua hal bisa didengarkan, dibuat musyawarah, dan bisa diputuskan.

"Selamat siang semua. Maaf sudah mengganggu waktu saudara semua. Saya tadi pagi, jujur, sangat keget mendengar berita bahwa ada anak berusia sekitar 10 tahun melakukan kegiatan tidak terpuji. Lalu kemudian saya tahu kalau namanya Beni. Anak yang sekarang berada di depan kita dan terlihat sangat lemas. Saya kaget, jujur sangat kaget. Karena bagi saya dan sebagian besar warga di kampung sini tahu bahwa Beni adalah anak yang baik, jujur, suka membantu, dan pekerja keras. Makanya saya turun tangan untuk menangani masalah ini. Jadi di sini sudah hadir beberapa saudara kita, yang kebetulan lewat di jalan sekitar lahan warga sekalian dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa lahan sampai rusak parah dan sayur semua pada hilang. Maka dari itu saya sarankan agar kita semua bisa mendengar kesaksian dari beberapa saudara kita" Tandas Tua Adat.

Beberapa orang bapa menceritakan semua hal yang mereka tahu ketika hari kejadian. Sekitar 30 menit bercerita, semua akhirnya tahu bahwa yang menyebabkan semua permasalahan itu adalah sekelompok kera yang iseng mencari makan di lahan warga terdekat. 

Mereka mengobrak-abrik lahan warga makanya menjadi rusak dan beberapa sayur hilang. Dan juga mereka mengatakan bahwa, air yang selama ini mengalir lancar ke lahan warga adalah karena ketekunan dari Beni untuk membuat saluran air sehingga air bisa mengalir lancar ke semua lahan warga. Ia takut kalau terjadi perkelahian di antara warga hanya gara-gara air. Padahal air di ulu wae bisa dinikmati oleh siapa saja.

Suasana seketika menjadi sangat hening. Tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Mereka tahu bahwa mereka sudah salah. Menuduh anak yang berumur 10 tahun adalah kesalahan yang besar.

"Jadi saudara semua saya selaku tua adat di kampung ini, meminta maaf kepada bapa Domi sekeluarga, terlebih khusus untuk Beni. Nak kami memintaa maaf karena kami sudah main hakim sendiri ya nak"

Ayahnya mempersilahkan Beni untuk berdiri sebisanya. Ayah dan ibunya tersenyum penuh ketulusan kepadanya. Mereka ingin meyakinkan bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Melihat ayah dan ibunya sudah tidak menangis lagi, Beni dengan pelan menganggukkan kepalanya. 

Ia sepertinya memaafkan semua yang terjadi tadi pagi. Meski ia tahu bahwa ini sangat sakit, namun ia dengan hati kecilnya yang masih tegar bersedia memaafkan semuanya. Bagi dia, ia gampang memaafkan semuanya, karena ia bukan tipe pendendam dan memang pada dasarnya ia adalah anak yang baik.

Setelah kejadian itu, banyak warga yang bersedia menyumbangkan rejekinya ke rumahnya, baik berupa sayur hijau, sedikit beras, dan juga pengobatan untuk ayahnya yang selama ini bertahan dengan obat tradisional hingga ayahnya yang pada akhirnya memiliki peerjaan tetap di salah satu perusahaan jasa pengiriman barang.

Pada akhirnya anak baik itu menciptakan sebuah dongeng yang indah. Manggarai dan segala nilai luhurnya mejadi semangat kuat dalam menjalani hari-harinya. Dan air dari mata air lancar megalir mengairi setiap ladang warga sekitar.

Kumpulan Istilah Lokal Manggarai

*) Ulu wae: Mata Air sebagai simbol persatua dan sumber kehidupan orang Manggarai serta dipercaya sebagai tempat berdiamnnya para nenek moyang atau leluhur

*) Daun Jarak dan daun camas: dua jenis dedauanan yang dalam kepercayaan masyarakat manggarai digunakan sebagai obat penurun panas

*) Songke Manggarai: Kain adat asli manggarai dengan corak benang warna-warni dengan   dasar kain warna hitam

*) Sosor: Sebuah pancuran air yang biasanya menggunakan bambu sebagai media mengalirkan air

*) Tua adat: orang yang dipandang sebagai yang paling tua dan pemimpin dalam suaut sistem di kampung manggarai

*) Mbaru tembong: rumah adat tradisional Mangarai yang berbentuk kerucut dengan puncak berupa tanduk kerbau dengan atap terbuat dari alang-alang yang melambangkan persatuan orang manggarai dimana semua masalah atau kebijakan yang berkaitan dengan kampung dimusyawarahkan di Mbaru tembong ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun