Mohon tunggu...
DNA Hipotesa
DNA Hipotesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kajian Ekonomi oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB University

Discussion and Analysis (DNA) merupakan sebuah divisi di Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) yang berada di bawah naungan Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University. As written in the name, we are here to produce valuable analysis of the economy, while building a home for healthy economic discussions. All of this is aimed to build critical thinking which is paramount in building a brighter future for our economy.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gejolak Perang Rusia dan Ukraina: Bagaimana Dampak terhadap Dunia dan Perekonomian Bangsa?

6 Maret 2022   15:03 Diperbarui: 6 Maret 2022   15:08 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Isu serangan Rusia ke Ukraina, sudah bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasannya dengan Ukraina. Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. 

Puncaknya pada 21 Februari 2022, Putin memberi pengumuman mengakui kemerdekaan milisi Donbas, Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). 

Pada saat itu, dekrit pengiriman pasukan dengan dalih "menjaga keamanan" juga ditandatanganinya. Sehari setelahnya parlemen Rusia menyetujui mobilisasi tentara yang diusulkan Putin. 

Persis 24 Februari, Putin tiba-tiba mengumumkan "operasi militer" dan serangan dilakukan di sejumlah kota. Barat menyebut tindakan Rusia tersebut sebagai invasi, sementara AS dan sekutu menyebut Rusia melanggar kedaulatan negara lainnya.

Pada mulanya, sebelum tahun 1990 atau ketika Perang Dingin terjadi, Ukraina dan Rusia bersatu dalam sebuah negara federasi bernama Uni Soviet.

Pada 1991, Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar. Di tahun yang sama, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum. Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut. 

Selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). Namun perpecahan terjadi. Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan. 

Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan. Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea, Ukraina. Rusia pun harus membayar biaya sewa kepada Ukraina karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol. Namun, sejak 2014 hubungan Rusia dan Ukraina kembali memanas. 

Pada saat itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia. Massa anti pemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk. 

Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Hal tersebut membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya. 

Hal ini juga didukung semakin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur dengan NATO, sebut saja Polandia dan negara-negara Balkan. Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk merebut Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.

Jika ditelaah lebih dalam, menurut The Conversation, Ukraina telah memiliki keinginan untuk bergabung dengan NATO sejak 1992. NATO bahkan sempat membentuk komisi khusus urusannya dengan Ukraina pada 1997, yang menyediakan forum diskusi masalah keamanan guna memajukan relasi kedua belah pihak. 

Keinginan untuk bergabung dengan NATO juga disebutkan kembali mantan Presiden Ukraina Leonid Kuchma yang kepemimpinannya berakhir 2005. Namun sayang, saat mantan Presiden Viktor Yanukovych, politikus pro-Rusia berkuasa di 2010, proses berhenti. Di 2014, keinginan kembali menjadi anggota makin tinggi.

Hanya dalam beberapa hari, pasukan Rusia berhasil menduduki seluruh wilayah semenanjung Krimea dengan dibantu pasukan pemberontak anti pemerintah. Putin awalnya menyangkal kelompok tersebut adalah tentara Rusia, tetapi akhirnya mengakui para 'pemberontak' merupakan bagian dari tentara Moskow. 

Setelah pendudukan itu, Rusia melakukan referendum di Crimea. Sayangnya tak ada pengamat internasional atau jurnalis yang memantau. Bagi Ukraina, menjadi anggota NATO akan secara signifikan meningkatkan dukungan militer Ukraina dari pihak luar, termasuk AS. Meski, ini memungkinkan NATO melancarkan kegiatan militer di Ukraina atau atas nama Ukraina, yang pasti tak disukai Rusia.

 Konflik Rusia-Ukraina akhirnya terjadi saat Presiden Vladimir Putin melakukan invasi di wilayah Ukraina pada Kamis, 24 Februari 2022. Invasi yang dilakukan oleh Putin bertujuan  untuk mengembalikan Ukraina sebagai salah satu sekutu Rusia dengan mengganti rezim pemerintah Ukraina melalui dukungan kelompok separatis di Donetsk, Luhan, dan Crimea. 

Presiden Rusia mengatakan bahwa invasi dilakukan karena pihaknya tidak memiliki pilihan selain mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern. Isu serangan Rusia ke Ukraina senter beredar sejak November 2021 dimana sebuah citra satelit yang menunjukkan adanya penumpukan baru pasukan Rusia di Perbatasan dengan Ukraina serta latihan militer besar-besaran termasuk di laut dan negara tetangganya yaitu Belarusia juga dilakukan oleh Rusia.

Konflik yang saat ini terjadi di Eropa Timur ini bukan merupakan konflik baru dan menjadi bagian dari sisa-sisa perang dingin yang masih bertahan hingga saat ini meskipun beberapa pihak menyatakan perang dingin sudah lama selesai sejak runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet. 

Ketegangan antara Rusia-Ukraina terjadi kembali pada akhir tahun 2013. Ketegangan bermula dari konflik internal antara presiden Ukraina dan rakyatnya. Rusia mempengaruhi presiden Ukraina untuk menolak kerja sama yang dibentuk dengan Uni Eropa dan menawarkan kerja sama baru yang membuat rakyat ukraina marah akibat ulah Presiden Ukraina tersebut. 

Bagi rakyat Ukraina, kerjasama yang ditawarkan oleh Uni Eropa akan mendorong perekonomian Ukraina. Kondisi tersebut diperburuk Rusia yang menggerakkan seluruh aparat keamanannya untuk berjaga di daerah perbatasan Ukraina-Rusia. 

Presiden Rusia yang mengirim pasukannya ke perbatasan menunjukkan kepada masyarakat Ukraina bahwa negaranya siap untuk melakukan perang dengan Ukraina. 

Aparat keamanan Rusia secara perlahan memasuki wilayah Ukraina melalui Provinsi Krimea. Memanasnya konflik antara Rusia-Ukraina tidak luput dari pengakuan kemerdekaan dua wilayah separatis pro-Rusia di Ukraina Timur yaitu Donetsk dan Luhansk.

Selain itu, konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina  tidak terlepas atas keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur. Ekspansi NATO ke Eropa Timur membahayakan Rusia karena hal ini berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania ke Ukraina dan berpotensi menjadi ancaman terbuka bagi Rusia.

Konflik yang kian memanas di antara Rusia dan Ukraina mampu mengguncang kestabilan dunia berdampak terhadap politik, pengendalian senjata, terorisme, dan ekonomi di dunia tidak terkecuali Indonesia. Meskipun Indonesia jauh dari kedua negara tersebut, tetapi Indonesia ikut merasakan dampak akibat adanya Konflik Rusia-Ukraina. 

Sektor Ekonomi menjadi sektor paling terguncang dari adanya konflik ini terlihat ditunjukkan melalui adanya kenaikan harga di bidang pertanian terutama di Afrika dan Timur Tengah, berpotensi terjadinya inflasi jangka panjang dan kenaikan suku bunga, serta krisis energi menyebabkan harga minyak dapat meningkat karena pembeli tidak dapat membeli produk energi dari Rusia, padahal Rusia merupakan salah satu penyumbang terbesar gas alam di pasar Uni Eropa yakni mencapai 40%.  

Adanya konflik antara Rusia-Ukraina yang tengah pemulihan ekonomi global penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap dampak perang Rusia-Ukraina di bidang perekonomian baik secara universal termasuk di Indonesia.

Dampak Konflik Rusia-Ukraina Terhadap Perekonomian

  1. Ekspor Impor 

Invasi Rusia ke Ukraina dapat berdampak nyata terhadap naiknya harga gandum secara global. Selama berabad-abad lamanya, Ukraina telah dikenal sebagai lumbung roti Eropa dan pemasok utama biji-bijian ke negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah Hingga Asia Tenggara. 

Di antara hasil panennya, gandum memegang peranan terpenting sebagai sumber makanan pokok bagi penduduk negara yang bergantung pada impor dari Ukraina. Seperti Lebanon misalnya, mengimpor sebesar 700.000 ton gandum Ukraina atau setara dengan 50% pasokan di negaranya. 

Begitupun dengan Libya dan Tunisia, dimana masing-masing mengimpor gandum dari Ukraina hingga 43% dan 32% dari total impor. Alex Smith, seorang analis riset pangan dan pertanian dari Breakthrough Institute di Amerika Serikat dalam wawancaranya kepada BBC mengungkapkan bahwa terdapat 14 negara yang bergantung pada Ukraina dalam mengimpor gandum dengan persentase setidaknya 10% dari total impor. 

Selain Ukraina, Rusia juga merupakan pemasok utama gandum lainnya ke pasar dunia yang telah berubah dari sebagai pengimpor 50% makanan menjadi pengekspor bersih dalam 20 tahun terakhir. Rusi telah mengekspor lebih dari 35 juta ton gandum per tahun, mengungguli Ukraina yang berada pada urutan kelima sebagai pengekspor gandum. 

Saat invasi di Ukraina terjadi, permintaan gandum Rusia dapat meningkat tajam dan memicu kekhawatiran keamanan pangan lebih lanjut. Seperti yang terjadi pada awal pandemi, saat terjadi shock atau guncangan keamanan, orang-orang akan membeli bahan pangan sebanyak-banyaknya sebagai upaya berjaga-jaga terhadap kelangkaan bahan pangan akibat terjadinya invasi.

Bagi negara pengimpor gandum terbesar di dunia seperti Mesir yang mengimpor hingga 80% gandum kepada Rusia, kondisi saat ini dapat mengganggu pasokan gandum di negara tersebut, sehingga pemerintah mendesak masyarakat untuk menjatah konsumsi roti. Selain gandum, tanaman pangan lainnya seperti jagung juga rentan terhadap kenaikan harga. 

Sebuah laporan dari Reuters menempatkan Ukraina sebagai pemasok minyak bunga matahari terkemuka di dunia dan jagung Ukraina menyumbang 16% dari ekspor global dan sekitar 90% impor jagung China berasal dari Ukraina. Bahkan sebelum invasi dimulai, lebih dari setengah volume jagung yang diekspor Ukraina sudah ditetapkan akan dikirim ke luar negeri dalam lima bulan ke depan. 

Sementara bagi Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor minyak terbesar di dunia, adanya invasi ini dapat mengakibatkan lonjakan harga minyak mengingat Rusia merupakan produsen minyak besar dunia yang produksinya hingga 10 juta barel per hari. Hal tersebut diperkirakan dapat membuat dampak yang serius bagi Indonesia. 

Selain itu, ketegangan kedua negara dapat mengganggu arus perdagangan Indonesia baik dengan Rusia maupun Ukraina. Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), perdagangan RI dengan Rusia cukup besar, nilai ekspor Indonesia ke Rusia mencapai US$176,5 juta atau setara Rp2,52 triliun (kurs Rp14.300 per dolar AS) per Januari 2022. 

Angka itu tumbuh hingga 58,69 persen dibandingkan nilai ekspor per Desember 2021 yang hanya US$111,2 juta dan jauh lebih tinggi dibandingkan Januari 2021 yang naik 60,29 persen. Mayoritas komoditas yang diperdagangkan Indonesia dengan Rusia, antara lain ialah lemak dan minyak hewan, karet, hingga barang dari karet. 

Untuk lemak dan minyak hewan nilainya mendominasi produk ekspor Tanah Air yang mencapai US$102,4 juta. Sementara karet dan barang dari karet berkontribusi sebesar US$11,1 juta. 

Di sisi lain, ekspor Indonesia ke Ukraina pada Januari 2022 justru turun signifikan hingga 83,78 persen dibandingkan Desember 2021. Tercatat, ekspor Indonesia ke Ukraina mencapai US$33,1 juta pada Desember 2021. 

Namun, nilai ekspor pada Januari 2022 hanya US$5,4 juta. Sejumlah komoditas yang diekspor RI ke Ukraina adalah lemak dan minyak hewan sebesar US$933 ribu, alas kaki sebesar US$571 ribu, kertas dan barang sejenisnya US$556 ribu, kakao dan olahannya US$451 ribu, dan barang-barang lain US$2,8 juta. 

Adanya invasi Rusia terhadap Ukraina juga dapat mengakibatkan turunnya nilai ekspor Indonesia ke Rusia pada sejumlah komoditas yang semula meningkat dan semakin anjloknya ekspor Indonesia ke Ukraina yang sebelumnya sudah menurun.

  1. Harga Minyak dan BBM 

Harga minyak dunia kian melambung akibat dampak perang antara Rusia dan Ukraina. Terbukti dari harga minyak dunia yang terus mengalami penguatan di tengah rencana pertemuan OPEC+ dan Badan Energi Internasional (IEA) di tengah pembahasan mengenai keamanan energi global yang terpengaruh perang Rusia-Ukraina. 

Dikutip dari Kompas.com, harga minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak Mei 2022 ditutup dari 2.04 persen naik menjadi 3.06 persen berkisar di level 107.47 dollar per barrel. 

Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat 2.7 persen menjadi di level 106.23 dollar AS per barrel. Ketegangan di pasar energi sangat serius bahkan sebelum invasi Rusia ke Ukraina terjadi. Hal tersebut lantaran supply minyak di seluruh dunia tidak dapat mengimbangi pemulihan permintaan yang menguat ketika pandemi Covid-19 mulai mereda. Diperkuat potensi konflik Rusia-Ukraina yang mampu mengganggu ekspor minyak dari Rusia.  S

eperti yang kita ketahui bahwa Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia yang mampu memproduksi kurang lebih 10 persen dari pasokan minyak global atau berkisar 10.5 juta barel per harinya. Harga minyak dunia meroket menembus US$105 per barel pada akhir perdagangan pada 24 Februari 2022 waktu AS, setelah Rusia melancarkan serangan militer ke Ukraina. Harga tersebut menembus level tertingginya sejak 2014 silam.

Tren kenaikan harga minyak dunia akibat memanasnya konflik antara Rusia-Ukraina terus diwaspadai karena kenaikan tersebut turut berpengaruh terhadap harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) yang telah mencapai 95.45 dollar AS per barrel pada 24 Februari 2022. 

Harga tersebut jauh melambung tinggi dari asumsi ICP dalam APBN 2022 yang hanya sebesar 63 dollar AS per barrel. Kenaikan ICP turut mempengaruhi kondisi APBN lantaran kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM terus mengalami peningkatan sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG serta kompensasi BBM dalam APBN. 

Setiap kenaikan 1 U$ dollar per barel berdampak terhadap kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1.47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2.56 triliun. Padahal, subsidi BBM dan LPG 3 KG APBN tahun 2022 sebesar Rp 77.5 triliun.

Selain itu, kenaikan ICP ini juga berdampak terhadap subsidi dan kompensasi listrik mengingat penggunaan BBM dalam pembangkit listrik yang masih sering dijumpai. Setiap kenaikan ICP sebesar 1 U$ dollar per barrel berpengaruh terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp 295 miliar. 

Kenaikan harga minyak juga turut mempengaruhi sektor lainnya khususnya transportasi dan industri yang penggunaannya menggunakan BBM non-subsidi ikut mengalami kenaikan. 

Hal tersebut diungkapkan oleh PT Pertamina Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (persero) yang telah resmi melakukan penyesuaian harga LPG non subsidi yang berlaku mulai tanggal 27 Februari 2022. Saat ini harga LPG non subsidi yang berlaku mencapai Rp 15.500 per kilogram (kg) yang sebelumnya hanya berkisar Rp 11.500 per kilogram. 

Penyesuaian harga ini dilakukan karena mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas serta mempertimbangkan kondisi serta kemampuan pasar LPG dikarenakan harga-harga tersebut masih paling kompetitif dibandingkan berbagai negara di ASEAN. 

3. Kurs

Dampak yang ditimbulkan lainnya adalah terjadi guncangan dalam kurs mata uang Indonesia. Beberapa pakar sempat berekspektasi bahwa rupiah akan menurun seiring dengan perang yang masih berkelanjutan. Ekonom Sucor Sekuritas Ahmad Mikail Zini berpendapat bahwa terdapat ketidakpastian yang tinggi mengenai akhir dari perang Rusia dan Ukraina. 

Hal tersebut disebabkan karena Kiev (ibukota Ukraina) belum dapat ditaklukan oleh Rusia, sehingga menyebabkan peperangan akan tetap berlanjut dan membuat rupiah melemah. 

Pada tanggal 25 Februari 2022, rupiah di pasar menguat sebesar 0,19% ke Rp 14.364 per dollar Amerika dan dibarengi dengan menguatnya kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) versi Bank Indonesia sebesar 0,01% ke Rp 14.369 per dollar Amerika. 

Sementara itu, Analis Monex Investindo Futures Andian Wijaya beranggapan bahwa rupiah tidak menutup kemungkinan akan menguat, apabila respon dari pelaku pasar cenderung untuk mengacuhkan perang Ukraina dan Rusia. Meski begitu, perkembangan dari pergerakan perang terbaru masih memiliki potensi dalam membawa pengaruh terhadap nilai rupiah.

Berdasarkan tanggal 1 Maret 2022, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sempat menguat pada perdagangan. Penguatan rupiah sebesar 0,11% ke posisi Rp 14.364 per dollar Amerika daripada penutupan yang terjadi sebelumnya sebesar Rp 14.381 per dollar Amerika. 

Menurut pengamat pasar uang Ariston Tjendra pada Selasa 1 Maret 2022, para pelaku pasar masih tetap mengkhawatirkan dampak negatif atas perang di Ukraina terhadap perekonomian global. 

Walaupun sentimen pasar terlihat lebih positif terhadap aset yang berisiko. Sanksi ekonomi lebih berat yang dikenakan oleh Amerika dan sekutunya kepada Rusia, masih belum dapat meredakan langkah rusia untuk menyerang Ukraina, tambah Ariston. 

Hal inilah yang dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian global. "Kenaikan harga energi dan komoditi yang mendorong inflasi dapat menekan pemulihan ekonomi," imbuhnya. Sementara itu, dari dalam negeri Ariston mengatakan bahwa data PMI di bawah ekspektasi dan inflasi yang tinggi memiliki potensi dalam menekan nilai tukar rupiah. Adapun potensi dari pelemahan nilai tukar rupiah pada hari ini berada di kisaran Rp 14.400, dengan support yang berkisar di Rp 14.350.

4. Pasar Saham

Pergerakan dari pasar modal sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis ekonomi dunia dan para pelakunya. Kegiatan berspekulasi lah yang akan merubah pergerakan dari pasar modal dimanapun tempatnya di dunia, termasuk Indonesia. 

Pada tangga 24 Februari 2022, Saat berita Perang antara Rusia dan Ukraina disiarkan, IHSG pun merasakan dampak yang cukup besar. Kondisi pasar yang awalnya terlihat tentram, bahkan positif, dikenakan gejolak parah yang membuat harga index turun cukup jauh, yang awalnya berkisar pada angka 6900 langsung turun menjadi 6700, hanya dalam waktu kurang dari dua jam. 

Hal ini memang tergolong 'normal' , bila ada suatu sentimen negatif yang menggegerkan dunia, maka pemikiran para investor pun berakhir pada menjual saham yang sudah dipegang, dan mengakumulasi sebanyak mungkin uang untuk disimpan atau dialokasikan pada instrumen lainnya. Hasilnya pun, indeks saham turun jauh, diakibatkan penurunan harga saham yang tergolong universal pada seluruh emiten. 

Kembali kepada pergerakan harga Indeks, walaupun sempat menyentuh area 6700, pada akhir sesi tanggal 24 Februari 2022, angka tersebut sempat menguat kembali, namun tidak cukup besar dan akhirnya tutup pada zona merah di kisaran 6800.  Bila hal ini terjadi, bagi investor yang agresif, kondisi ini penuh dengan ketidakpastian. 

Akan kemana IHSG bergerak? Namun ternyata, di keesokan harinya IHSG kembali menguat, bahkan kembali mencetak rekor pada penutupannya. Hal ini pun tentunya mengingatkan kita semua kepada kondisi pasar saham yang, cukup sulit dan butuh pengetahuan tinggi untuk memprediksi gerakannya. 

Pada Senin, 28 Februari 2022 rusia memberitakan peningkatan nilai suku bunga menjadi 20 persen. Hal ini pun menjadi suatu sentimen lagi bagi pasar saham Indonesia. Pada keesokan harinya, Sentimen ini ternyata diterima secara positif bagi Investor di Indonesia, IHSG pun menguat mengukir rekor kembali, pada awal perdagangan.

Menuju akhir  dari perdagangan harga kembali turun namun masih pada zona hijau. Dapat disimpulkan bahwa, sampai saat ini serangan yang dilakukan oleh Rusia ke Ukraina belum memiliki dampak yang berkelanjutan bagi bursa saham Indonesia.

Sikap Preventif yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi konflik Rusia-Ukraina

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa akibat dari konflik Rusia dan Ukraina menyebabkan komoditas minyak mentah hampir menyentuh di harga US$100 atau Rp 1,4 juta per barel pada Kamis (24/2). 

Menurut Bhima, hal ini bisa berdampak negatif ke harga pangan melalui transmisi terhadap kenaikan harga energi. Sehingga dikhawatirkan akan memicu inflasi yang lebih tinggi akibat kenaikan biaya logistik dan harga pangan. 

Solusi yang disarankan oleh Bhima melalui peran pemerintah diharapkan mampu menambah alokasi subsidi energi dan diharapkan dapat mencegah  Pertamina agar tidak terburu-buru dalam menaikkan harga Pertamax dan Pertalite, sekurang-kurangnya sampai semester I. 

Selain itu, pemerintah diharapkan mampu mengupayakan tindakan preventif melalui penambahan stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional, salah satunya berupa bantuan sosial. 

Solusi berikutnya, yakni dengan menunjuk BULOG dalam perannya menjaga kestabilan harga dengan meningkatkan kapasitas stok kebutuhan pangan yang sekarang sedang terdesak, seperti kedelai. Menurut Bhima, stimulus dapat diambil apabila suatu saat BULOG membutuhkan suplai dana dalam pengadaan gudang yang baru.

Selain inflasi, konflik Rusia dan Ukraina menimbulkan dampak negatif dari sisi ekspor. Ketegangan yang ada saat ini mampu memberikan tekanan dari sisi ekspor. Wilayah yang dilanda konflik merupakan wilayah alternatif pasar ekspor yang cukup potensial, yaitu wilayah Rusia dan Eropa Timur. 

Di satu sisi hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia, melalui tindakan pencegahan dengan mengalihkan komoditas ekspor ke negara yang secara geopolitik tidak terdampak konflik. 

Selain itu, Indonesia perlu berupaya dalam mencari cara agar potensi investasi dari Rusia dan Ukraina maupun negara lainnya yang terdampak di Eropa Timur itu dapat teralihkan basis produksinya agar masuk ke Indonesia.

Keterkaitan Konflik Rusia-Ukraina dengan Kondisi Makroekonomi

Keadaan peperangan bukanlah situasi yang bersahabat dengan ekonomi. Cepat atau lambat, akan ada dampak yang diberikan oleh peperangan, baik itu dampak negatif maupun dampak positif. Konflik antara Rusia dan Ukraina tentunya bukanlah suatu pengecualian. 

Sebagai negara dengan ekonomi cukup terbuka, dan status penyedia minyak dan gas terbesar untuk uni eropa, dampak yang dirasakan tentu akan menjalar ke ekonomi dunia secara keseluruhan. Ditambah dengan situasi ekonomi dunia yang masih terlibat dalam 'peperangan' nya sendiri dengan Pandemi Covid-19, asumsi skenario buruk pun tentu sangat banyak.

Sebagai penyedia minyak dan gas terbesar bagi uni eropa, dengan  adanya peperangan maka akan ada banyak shock yang terjadi seputar perdagangan energi dunia. 

Negara barat dan penerima minyak dan gas dari Rusia akan memberikan sanksi kebijakan pada perdagangan energi, hal ini pun dapat memicu Rusia untuk mengurangi penjualan secara keseluruhan. Bila tidak ada penyedia pengganti yang cepat, maka permintaan yang berlebih dapat memicu terjadinya krisis energi yang masif.

Krisis energi pun akan memberikan efek domino lagi kepada ekonomi dunia. Sebagai sumber input dari banyak sekali komponen produksi, bila harganya terus naik maka output dari negara-negara yang bergantung pada minyak dan gas Rusia berpotensi menciut. 

Selain itu biaya produksi akan meningkat dan menyebabkan masalah ekonomi lain yaitu inflasi dan pengangguran atau bahkan bila dampaknya sangat besar dapat menyebabkan stagflasi. Ekonomi terus memelan, investasi semakin berkurang, dan pasar uang serta pasar modal pun berpotensi runtuh. 

Untuk Indonesia, kejadian ini memiliki kemiripan dengan oil boom pada tahun 1970an. Dimana konflik negara timur tengah membuat harga minyak naik tinggi dan krisis energi melanda dunia. Indonesia pun yang saat itu merupakan negara eksportir minyak, meraup keuntungan yang besar dan masuk ke fase economic boom. 

Sayang sekali saat ini Indonesia adalah negara net importir minyak, namun bila investasi dan alokasi dana pembangunan negara diwujudkan secara efektif untuk menangkal krisis energi, maka Indonesia pun berpotensi keluar menjadi pemenang dalam situasi ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun