Mohon tunggu...
Diyarilma Anggun Ratu Innayah
Diyarilma Anggun Ratu Innayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010203

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak, M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia, Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

21 November 2024   21:52 Diperbarui: 21 November 2024   21:52 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Korupsi adalah salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi Indonesia. Praktik ini merugikan keuangan negara, melemahkan institusi pemerintah, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan. 

Dalam upaya memahami dan memitigasi korupsi, berbagai pendekatan teoretis telah dikembangkan, termasuk pendekatan yang diperkenalkan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Kedua pendekatan ini membantu menganalisis akar penyebab korupsi dan memberikan strategi untuk memberantasnya. 

Artikel ini akan membahas konsep-konsep utama dari pendekatan Klitgaard dan Bologna, menganalisis kasus korupsi yang sudah diputuskan oleh pengadilan di Indonesia, serta menunjukkan bagaimana penerapan konsep CDMA (Corruption = Monopoly + Discretion -- Accountability) dan GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) dapat memberikan wawasan untuk mencegah korupsi di masa depan.

Mengenal Robert Klitgaard dan Jack Bologna

Robert Klitgaard: Ahli Ekonomi dan Strateg Korupsi

Robert Klitgaard adalah seorang akademisi dan pakar ekonomi yang dikenal luas atas karyanya dalam bidang pemberantasan korupsi. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Claremont Graduate University, Amerika Serikat, dan memiliki pengalaman luas dalam memberikan konsultasi kepada pemerintah dan organisasi internasional tentang reformasi tata kelola pemerintahan.

Klitgaard memperoleh gelar sarjana dari Harvard University dan melanjutkan pendidikan pascasarjananya di bidang ekonomi di Harvard Business School. Fokus utama dalam kariernya adalah mengembangkan pendekatan untuk mengatasi korupsi, terutama di negara-negara berkembang. Klitgaard telah bekerja sama dengan organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam membantu pemerintah memperbaiki tata kelola publik dan memberantas korupsi.

Konsep Utama: CDMA Formula

Klitgaard terkenal dengan formula C = M + D -- A, yang menyederhanakan bagaimana korupsi terjadi:

  • C (Corruption): Korupsi.
  • M (Monopoly): Monopoli kekuasaan yang tidak terbagi.
  • D (Discretion): Diskresi atau kebebasan membuat keputusan tanpa batasan.
  • A (Accountability): Akuntabilitas yang rendah.

Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi cenderung terjadi ketika individu atau kelompok memiliki monopoli atas sumber daya, memiliki kebebasan untuk membuat keputusan tanpa pengawasan yang memadai, dan tidak dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Oleh karena itu, untuk meminimalkan korupsi, ia menyarankan untuk:

  1. Mengurangi monopoli.
  2. Membatasi diskresi.
  3. Meningkatkan akuntabilitas.

Buku Controlling Corruption (1988) adalah salah satu karya Klitgaard yang paling berpengaruh. Dalam buku ini, ia mengkaji berbagai kasus korupsi di seluruh dunia dan memberikan panduan praktis untuk pemerintah dalam mencegah korupsi. Pendekatan ini banyak digunakan di negara-negara berkembang, termasuk di Asia dan Afrika, sebagai kerangka kerja reformasi tata kelola pemerintahan.

Jack Bologna: Pelopor Audit dan Investigasi Kecurangan

Jack Bologna adalah seorang ahli audit forensik, pendeteksi penipuan (fraud), dan penulis terkenal yang mengembangkan teori dan kerangka kerja untuk memahami penyebab kecurangan, termasuk korupsi. Ia memiliki latar belakang di bidang akuntansi, manajemen risiko, dan hukum.

Jack Bologna memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai auditor forensik dan konsultan anti-kecurangan. Ia memberikan pelatihan kepada auditor, akuntan, dan penyelidik dalam mendeteksi serta mencegah kecurangan di sektor publik dan swasta. Bologna juga merupakan salah satu pelopor dalam pengembangan disiplin fraud auditing (audit kecurangan) yang kini menjadi bagian penting dari tata kelola korporasi.

Konsep Utama: Fraud Triangle dan GONE Theory

  1. Fraud Triangle (Segitiga Kecurangan)
    Fraud Triangle adalah kerangka kerja yang dikembangkan oleh Donald Cressey dan kemudian dipopulerkan oleh Jack Bologna dalam konteks deteksi kecurangan. Tiga elemen utama dalam segitiga ini adalah:
    • Tekanan: Dorongan atau situasi yang memaksa seseorang untuk melakukan kecurangan, seperti utang atau kebutuhan finansial mendesak.
    • Kesempatan: Situasi di mana sistem atau pengawasan lemah, sehingga kecurangan dapat dilakukan tanpa risiko besar.
    • Rasionalisasi: Proses di mana pelaku meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakan tersebut dapat diterima atau tidak salah.

Bologna mengintegrasikan Fraud Triangle dalam pelatihan investigasi kecurangan untuk membantu organisasi memahami akar penyebab dan pola kecurangan yang terjadi.

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
  1. GONE Theory
    Bologna juga dikenal melalui pengembangan GONE Theory, yang menjelaskan empat elemen penyebab kecurangan:
    • Greed (Keserakahan): Dorongan untuk memperoleh kekayaan atau keuntungan lebih banyak dari yang dibutuhkan.
    • Opportunity (Kesempatan): Peluang yang memungkinkan pelaku untuk memanfaatkan celah dalam sistem atau pengawasan.
    • Need (Kebutuhan): Situasi di mana pelaku merasa perlu memenuhi kebutuhan tertentu, baik finansial maupun non-finansial.
    • Exposure (Paparan atau Risiko Terungkap): Kemampuan sistem untuk mendeteksi dan menghukum kecurangan. Paparan yang rendah sering kali mendorong pelaku untuk mencoba tindakan korupsi.

Jack Bologna berkontribusi besar dalam pengembangan praktik audit forensik dan pencegahan kecurangan. Karya-karyanya, seperti Fraud Auditing and Forensic Accounting, menjadi panduan standar bagi para auditor dan penyelidik di seluruh dunia. Ia memberikan kerangka praktis untuk menganalisis pola kecurangan di berbagai sektor, termasuk korupsi di sektor publik.

Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan wawasan yang sangat berharga dalam memahami dan memerangi korupsi. Klitgaard berfokus pada aspek struktural melalui rumus CDMA, yang menekankan pentingnya reformasi sistemik untuk mengurangi korupsi. Di sisi lain, Bologna memberikan pendekatan operasional melalui Fraud Triangle dan GONE Theory, yang membantu mendeteksi dan mencegah kecurangan pada tingkat individu dan organisasi. Dengan mengintegrasikan kedua pendekatan ini, Indonesia dapat mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk melawan korupsi, baik di sektor publik maupun swasta.

Definisi Korupsi

Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Tindakan ini dapat berupa suap, penggelapan dana, nepotisme, atau bentuk-bentuk lain yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan publik.

Mengapa Korupsi Tetap Subur di Indonesia?

Korupsi di Indonesia tetap marak karena sejumlah faktor, di antaranya:

1. Struktur Birokrasi yang Kompleks

Sistem birokrasi yang berbelit-belit memberikan peluang untuk suap dan nepotisme. Pejabat memiliki diskresi yang luas tanpa pengawasan yang efektif.

2. Norma Sosial dan Budaya

Di beberapa tempat, korupsi dianggap sebagai praktik yang "biasa" atau bahkan "dapat dimaklumi," misalnya melalui pemberian hadiah atau uang pelicin.

3. Tekanan Finansial

Beberapa pejabat merasa bahwa gaji mereka tidak mencukupi, terutama ketika dihadapkan pada tekanan sosial atau politik untuk mendanai kegiatan tertentu.

4. Kelemahan Penegakan Hukum

Hukuman yang tidak konsisten dan lemahnya pengawasan membuat pelaku korupsi merasa mereka dapat lolos dari konsekuensi.

Studi Kasus Penerapan Pendekatan Klitgaard dan Bologna dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Studi Kasus Korupsi e-KTP: Analisis dengan Teori GONE dan CDMA

Kasus korupsi e-KTP merupakan salah satu skandal terbesar dalam sejarah korupsi Indonesia. Proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 2011 dengan tujuan menciptakan sistem identitas yang modern, transparan, dan aman. Namun, alih-alih menjadi langkah maju dalam reformasi administrasi publik, proyek ini menjadi ladang korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun. Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi, anggota DPR, dan pihak swasta yang bersama-sama menyusun skema untuk memperkaya diri sendiri.

Dalam analisis ini, teori CDMA (Monopoli, Diskresi, Akuntabilitas Rendah) yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard dan teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) oleh Jack Bologna akan digunakan untuk memahami bagaimana korupsi e-KTP terjadi secara sistematis.

Proyek e-KTP dirancang untuk menyatukan data identitas penduduk secara nasional. Namun, sejak tahap perencanaan hingga implementasi, proyek ini telah dipenuhi dengan manipulasi. Berikut adalah kronologi singkat dan modus operandi dalam kasus ini:

Tahap Perencanaan

Dalam tahap awal, anggaran proyek yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan teknis dinaikkan secara tidak wajar. Beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri bekerja sama untuk menetapkan anggaran yang lebih besar dari yang diperlukan.

Tahap Pengadaan Barang dan Jasa

Pada tahap ini, terjadi manipulasi lelang dengan menyingkirkan penyedia barang dan jasa yang tidak mau bekerja sama dalam skema korupsi. Perusahaan pemenang tender diminta untuk memberikan fee kepada para pejabat sebagai imbalan atas kemenangan mereka.

Tahap Pelaksanaan

Selama pelaksanaan, kualitas barang dan jasa yang disediakan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Selain itu, sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar kickback kepada pejabat tinggi dan anggota DPR.

Terungkapnya Skandal

Kasus ini mulai terbongkar pada tahun 2017 setelah investigasi mendalam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa tokoh utama, seperti Setya Novanto, mantan Ketua DPR, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri, terbukti menerima suap dan bagian dari anggaran yang dikorupsi.

Penerapan Teori CDMA dalam Kasus e-KTP

1. Monopoli (Monopoly)

Dalam proyek e-KTP, monopoli terjadi di beberapa tingkatan:

Pembuatan Kebijakan: Anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri memiliki kendali penuh dalam menentukan anggaran proyek. Monopoli kekuasaan ini memungkinkan mereka mengatur penggelembungan anggaran tanpa melibatkan pihak lain.

Pengadaan Barang: Proses tender dimanipulasi untuk memastikan perusahaan tertentu memenangkan kontrak, sehingga menciptakan monopoli penyediaan barang dan jasa.

2. Diskresi (Discretion)

Diskresi pejabat dalam menentukan pelaksanaan proyek menjadi salah satu penyebab utama korupsi. Pejabat yang bertanggung jawab memiliki kebebasan penuh untuk:

Mengatur mekanisme tender sesuai dengan kepentingan mereka.

Mengarahkan perusahaan pemenang untuk memberikan komisi kepada mereka.

Mengurangi kualitas barang tanpa diawasi oleh pihak ketiga.

Kebijakan tanpa transparansi ini memberikan ruang yang luas bagi terjadinya korupsi.

3. Akuntabilitas Rendah (Accountability)

Akuntabilitas dalam proyek e-KTP sangat rendah karena:

Kurangnya Pengawasan: Proses pengadaan dan penggunaan anggaran tidak diawasi secara ketat oleh lembaga pengawas independen.

Pelaporan Fiktif: Banyak laporan terkait pengeluaran proyek dibuat secara manipulatif untuk menutupi penggelembungan anggaran.

Ketergantungan pada Saksi Internal: Kebanyakan pelaku adalah pejabat tinggi yang memiliki akses langsung terhadap dokumen dan kontrol proyek, sehingga sulit bagi whistleblower untuk melaporkan penyimpangan tanpa risiko.

Penerapan Teori GONE dalam Kasus e-KTP

1. Greed (Keserakahan)

Keserakahan menjadi faktor dominan dalam skandal ini. Para pelaku, baik dari sektor legislatif maupun eksekutif, melihat proyek e-KTP sebagai peluang besar untuk memperkaya diri mereka sendiri. Dalam pengakuan di pengadilan, Setya Novanto disebut menerima bagian hingga Rp 574 miliar, sementara anggota DPR lainnya juga mendapatkan bagian masing-masing miliaran rupiah.

Keserakahan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mencoreng kredibilitas lembaga-lembaga negara.

2. Opportunity (Kesempatan)

Kesempatan untuk melakukan korupsi muncul dari beberapa kelemahan sistemik:

  • Proyek Besar dengan Anggaran Tinggi: Besarnya dana yang dialokasikan untuk proyek ini menciptakan peluang besar untuk manipulasi.
  • Sistem Tender yang Rentan: Kurangnya transparansi dalam mekanisme tender membuka peluang bagi pelaku untuk melakukan pengaturan.
  • Kolusi yang Terorganisir: Adanya kerja sama antara pejabat pemerintah, anggota DPR, dan pihak swasta menciptakan sistem korupsi yang sulit diungkap.

3. Need (Kebutuhan)

Dalam kasus ini, kebutuhan untuk melakukan korupsi muncul dari motif politik dan ekonomi. Beberapa pelaku menggunakan dana hasil korupsi untuk:

  • Membiayai kampanye politik mereka.
  • Mempertahankan posisi mereka di lingkungan birokrasi.
  • Memenuhi gaya hidup mewah yang tidak dapat dicapai dengan gaji resmi.

4. Exposure (Paparan atau Risiko Terungkap)

Pada awalnya, risiko terungkapnya kasus ini relatif rendah karena pelaku memiliki posisi kekuasaan yang kuat. Namun, penyelidikan oleh KPK dan tekanan dari media massa akhirnya membuka skandal ini. Faktor risiko meningkat ketika satu per satu pelaku mulai memberikan kesaksian di pengadilan untuk meringankan hukuman mereka.

Dampak Korupsi e-KTP

1. Kerugian Negara

Kerugian finansial akibat korupsi e-KTP sangat besar, mencapai Rp 2,3 triliun. Dana yang seharusnya digunakan untuk menciptakan sistem identitas nasional yang efisien justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

2. Penurunan Kepercayaan Publik

Skandal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama DPR dan Kementerian Dalam Negeri. Banyak masyarakat merasa skeptis terhadap proyek-proyek pemerintah lainnya setelah terungkapnya kasus ini.

3. Sistem Administrasi yang Terganggu

Proyek e-KTP yang seharusnya menjadi solusi bagi administrasi kependudukan justru mengalami berbagai masalah, seperti keterlambatan distribusi kartu dan kualitas kartu yang buruk.

Langkah Pencegahan Berdasarkan CDMA dan GONE

Mengurangi Monopoli (CDMA)

  • Meningkatkan Partisipasi Publik: Dalam perencanaan proyek besar seperti e-KTP, masyarakat sipil dan akademisi harus dilibatkan untuk mengurangi monopoli kekuasaan oleh segelintir pihak.
  • Tender Terbuka: Pengadaan barang dan jasa harus dilakukan secara transparan melalui mekanisme tender terbuka.

Membatasi Diskresi (CDMA)

  • Membuat Prosedur yang Ketat: Diskresi pejabat harus dibatasi dengan pedoman dan aturan yang jelas.
  • Audit Eksternal: Setiap keputusan penting dalam proyek besar harus diawasi oleh auditor independen.

Meningkatkan Akuntabilitas (CDMA)

  • Laporan Transparan: Seluruh tahapan proyek harus didokumentasikan secara rinci dan dapat diakses oleh publik.
  • Whistleblowing System: Membuat sistem pelaporan pelanggaran yang melindungi whistleblower.

Mengurangi Kesempatan (GONE)

  • Penguatan Sistem Pengawasan: Membentuk lembaga khusus untuk memantau proyek-proyek besar.
  • Penggunaan Teknologi: Menggunakan teknologi digital untuk melacak pengeluaran anggaran secara real-time.

Meningkatkan Risiko Paparan (GONE)

  • Transparansi Media: Melibatkan media massa dalam mengawal proyek besar agar masyarakat mengetahui perkembangan proyek.
  • Sanksi yang Tegas: Memberikan hukuman berat kepada pelaku korupsi untuk memberikan efek jera.

Kasus korupsi e-KTP adalah cerminan dari lemahnya sistem pengawasan, rendahnya akuntabilitas, dan tingginya keserakahan di kalangan pejabat negara. Dengan menggunakan teori CDMA dan GONE, kita dapat memahami bahwa korupsi terjadi akibat kombinasi monopoli kekuasaan, kebebasan tanpa pengawasan, dan lemahnya risiko paparan. Implementasi langkah-langkah pencegahan berbasis kedua teori ini sangat penting untuk mencegah terulangnya skandal serupa di masa depan.

Studi Kasus Korupsi Dana Pendidikan: Penerapan Teori CDMA dan GONE

Dana pendidikan merupakan salah satu sektor penting yang sering menjadi target penyalahgunaan di Indonesia. Salah satu kasus besar yang mengemuka adalah korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kasus ini menarik perhatian karena menyangkut penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Skandal korupsi ini melibatkan oknum kepala sekolah, pejabat dinas pendidikan, hingga pihak ketiga, seperti rekanan penyedia barang dan jasa.

Kasus korupsi dana BOS menunjukkan bagaimana teori CDMA oleh Robert Klitgaard dan teori GONE oleh Jack Bologna dapat diterapkan untuk menjelaskan akar penyebab terjadinya korupsi. Dalam artikel ini, kita akan menganalisis mekanisme korupsi dana BOS di salah satu daerah, yaitu kasus di Kabupaten Cianjur pada tahun 2020, di mana dana pendidikan senilai miliaran rupiah diselewengkan oleh pejabat.

Fakta Kasus Korupsi Dana BOS di Kabupaten Cianjur

Pada tahun 2020, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Cianjur mengungkap kasus penyalahgunaan dana BOS yang melibatkan sejumlah kepala sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan. Modus operandi yang digunakan adalah pemotongan dana BOS dari sekolah-sekolah penerima dengan dalih untuk keperluan administrasi atau kegiatan tertentu yang tidak tercantum dalam pedoman penggunaan dana BOS.

Jumlah dana yang diselewengkan mencapai miliaran rupiah. Potongan dana dilakukan secara sistematis, di mana kepala sekolah diminta menyerahkan sebagian dana BOS kepada pejabat dinas pendidikan. Selain itu, beberapa sekolah dipaksa membeli barang atau jasa dari penyedia yang sudah ditunjuk oleh dinas, meskipun harga yang ditawarkan lebih mahal dari harga pasar. Tindakan ini menciptakan kerugian besar bagi negara dan menghambat perkembangan sektor pendidikan di daerah tersebut.

Penerapan Teori CDMA dalam Kasus Korupsi Dana BOS

1. Monopoli (Monopoly)

Dalam kasus ini, pejabat Dinas Pendidikan memiliki monopoli penuh dalam menentukan alokasi dana BOS dan pengadaan barang atau jasa yang berkaitan dengan kebutuhan sekolah. Para kepala sekolah tidak memiliki pilihan selain mengikuti arahan dinas, karena kewenangan pengelolaan dana berada di tangan pejabat tersebut.

Monopoli juga terlihat pada penunjukan rekanan penyedia barang dan jasa yang dilakukan tanpa melalui mekanisme tender terbuka. Hanya pihak tertentu yang diizinkan untuk memasok barang ke sekolah, sehingga menciptakan sistem tertutup yang memudahkan terjadinya manipulasi.

2. Diskresi (Discretion)

Pejabat Dinas Pendidikan memanfaatkan diskresi mereka untuk menentukan alokasi dan penggunaan dana BOS. Dengan alasan "standarisasi pengadaan barang", pejabat dinas memaksa sekolah membeli barang tertentu, seperti buku, alat tulis, atau komputer, dari penyedia yang telah ditunjuk. Kepala sekolah tidak memiliki kebebasan untuk memilih penyedia barang lain yang mungkin lebih murah atau berkualitas lebih baik.

Diskresi yang tidak diawasi ini memungkinkan pejabat untuk menetapkan harga barang atau jasa jauh di atas harga pasar. Selisih harga kemudian dibagi-bagi antara pejabat dan penyedia barang, sementara sekolah dirugikan.

3. Akuntabilitas yang Rendah (Accountability)

Minimnya pengawasan terhadap pengelolaan dana BOS menjadi celah utama yang dimanfaatkan oleh pelaku korupsi. Sistem pelaporan dana BOS sering kali hanya bersifat administratif dan tidak diverifikasi secara mendalam oleh lembaga pengawas. Akibatnya, kepala sekolah yang merasa dirugikan tidak berani melaporkan praktik korupsi karena khawatir akan mendapat tekanan dari pejabat dinas.

Selain itu, tidak adanya audit independen terhadap penggunaan dana BOS di tingkat sekolah juga memperbesar peluang korupsi. Dengan akuntabilitas yang rendah, pelaku dapat dengan mudah menutupi jejak korupsi mereka.

Penerapan Teori GONE dalam Kasus Korupsi Dana BOS

1. Greed (Keserakahan)

Keserakahan adalah motivasi utama dalam kasus ini. Pejabat Dinas Pendidikan tidak hanya mengambil keuntungan pribadi, tetapi juga memperkaya kroni-kroni mereka melalui penunjukan langsung rekanan penyedia barang. Dalam kasus ini, keserakahan melampaui batas moral dan profesional, mengingat dana yang diselewengkan seharusnya digunakan untuk kepentingan pendidikan anak-anak.

Oknum kepala sekolah juga terlibat karena ingin mendapatkan keuntungan tambahan dari dana BOS, meskipun tindakan ini merugikan sekolah yang mereka pimpin.

2. Opportunity (Kesempatan)

Kesempatan untuk melakukan korupsi muncul karena lemahnya sistem pengawasan dan regulasi. Pemerintah pusat tidak memiliki mekanisme yang memadai untuk memantau penggunaan dana BOS di tingkat daerah. Sementara itu, di tingkat lokal, pejabat dinas memiliki kontrol penuh atas pengelolaan dana tanpa intervensi dari pihak ketiga yang independen.

Selain itu, dana BOS yang jumlahnya besar, tetapi pengelolaannya tersebar di banyak sekolah, membuat pengawasannya menjadi sulit. Hal ini memberikan celah bagi pelaku untuk melakukan penyelewengan secara sistematis.

3. Need (Kebutuhan)

Meskipun motif keserakahan mendominasi, ada juga elemen kebutuhan dalam kasus ini. Beberapa kepala sekolah terpaksa "bermain aman" dengan mengikuti arahan pejabat dinas untuk mempertahankan posisi mereka. Ada pula indikasi bahwa sebagian pelaku menggunakan dana hasil korupsi untuk membiayai kebutuhan politik, seperti membayar biaya kampanye atau mempertahankan kekuasaan di lingkungan birokrasi.

4. Exposure (Paparan atau Risiko Terungkap)

Pada awalnya, risiko terungkapnya kasus ini sangat rendah karena sistem korupsi yang terorganisir dengan rapi. Kepala sekolah yang merasa dirugikan tidak berani melapor karena takut akan dampak negatif terhadap karier mereka. Namun, setelah adanya laporan masyarakat dan investigasi oleh Kejaksaan Negeri Cianjur, praktik korupsi ini akhirnya terungkap. Ini menunjukkan bahwa meskipun risiko paparan awalnya rendah, tekanan publik dan media dapat menjadi alat efektif untuk membongkar skandal.

Dampak Korupsi Dana BOS

1. Kerugian Finansial

Korupsi dana BOS menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar. Dana yang seharusnya digunakan untuk membeli buku, alat tulis, atau peralatan belajar lainnya malah masuk ke kantong pribadi pejabat dan kroni-kroninya.

2. Penurunan Kualitas Pendidikan

Dana BOS yang tidak sampai ke sekolah menyebabkan fasilitas pendidikan menjadi tidak memadai. Siswa tidak mendapatkan alat belajar yang diperlukan, sementara guru menghadapi kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran.

3. Kehilangan Kepercayaan Publik

Kasus ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan sistem pendidikan. Orang tua siswa merasa bahwa pemerintah tidak serius dalam memperbaiki kualitas pendidikan.

Langkah Pencegahan Berdasarkan CDMA dan GONE

Mengatasi Monopoli (CDMA)

  • Melakukan tender terbuka untuk pengadaan barang atau jasa yang dibiayai oleh dana BOS.
  • Mengizinkan sekolah untuk memilih penyedia barang berdasarkan kebutuhan mereka sendiri, dengan panduan dari dinas pendidikan.

Membatasi Diskresi (CDMA)

  • Membuat pedoman penggunaan dana BOS yang lebih spesifik dan mengurangi ruang diskresi pejabat dalam pengelolaan dana.
  • Melibatkan lembaga independen untuk memverifikasi setiap pengeluaran dana BOS.

Meningkatkan Akuntabilitas (CDMA)

  • Mewajibkan pelaporan secara transparan tentang penggunaan dana BOS kepada publik.
  • Mengintegrasikan teknologi digital untuk memantau alokasi dan pengeluaran dana secara real-time.

Mengurangi Kesempatan (GONE)

  • Memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal dalam pengelolaan dana pendidikan.
  • Memberikan pelatihan antikorupsi kepada kepala sekolah dan pejabat dinas.

Meningkatkan Risiko Paparan (GONE)

  • Menciptakan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing) yang melindungi pelapor.
  • Melibatkan masyarakat, terutama orang tua siswa, dalam memantau penggunaan dana BOS.

Kasus korupsi dana BOS di Kabupaten Cianjur menunjukkan bagaimana monopoli, diskresi, dan rendahnya akuntabilitas (CDMA) dapat menciptakan peluang untuk korupsi. Ditambah dengan faktor keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan risiko paparan yang rendah (GONE), skandal ini mengungkap kelemahan sistem pengelolaan dana pendidikan. 

Dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan berbasis teori CDMA dan GONE, diharapkan praktik korupsi di sektor pendidikan dapat diminimalkan, sehingga dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Penutup dan Kesimpulan

Korupsi adalah salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola pemerintahan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Studi kasus korupsi, seperti pada proyek e-KTP dan dana bantuan BOS, menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar hasil dari tindakan individu, tetapi juga akibat kelemahan sistemik yang mencakup monopoli kekuasaan, minimnya pengawasan, lemahnya akuntabilitas, dan pengabaian terhadap risiko eksposur.

Melalui pendekatan teori CDMA (Monopoli, Diskresi, Akuntabilitas Rendah) yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard dan teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) dari Jack Bologna, kita dapat memahami akar penyebab dan mekanisme korupsi. Kedua teori ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem dan peluang yang dimanfaatkan oleh pelaku korupsi.

Studi kasus e-KTP, misalnya, menunjukkan bagaimana monopoli dalam pengambilan keputusan, diskresi tanpa batas, dan minimnya akuntabilitas memberikan peluang bagi berbagai pihak untuk menyalahgunakan kekuasaan. Sementara itu, teori GONE membantu menjelaskan bahwa keserakahan (greed), kebutuhan (need), kesempatan (opportunity), dan rendahnya risiko paparan (exposure) menjadi faktor yang saling terkait dalam menciptakan korupsi sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel Akademik

  1. Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
  2. Bologna, J., & Lindquist, R. (1995). Fraud Auditing and Forensic Accounting. Wiley.
  3. Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge University Press.
  4. Jain, A. K. (Ed.). (2001). The Political Economy of Corruption. Routledge.
  5. Gray, C. W., & Kaufmann, D. (1998). Corruption and Development. Finance & Development, 35(1), 7--10.

Jurnal dan Publikasi Ilmiah

  1. Langseth, P. (1999). Prevention: An Effective Tool to Reduce Corruption. Crime, Law, and Social Change, 31(3), 387--402.
  2. Sreide, T. (2002). Corruption in Public Procurement: Causes, Consequences, and Cures. U4 Anti-Corruption Resource Centre.
  3. Olken, B. A., & Pande, R. (2012). Corruption in Developing Countries. Annual Review of Economics, 4, 479--509.

Laporan dan Dokumen Resmi

  1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2017). Laporan Tahunan KPK 2017.
  2. Indonesian Corruption Watch (ICW). (2017). Analisis Kasus Korupsi Proyek e-KTP.

Berita dan Sumber Informasi Terkini

  1. Tempo.co. (2017). Kronologi Kasus e-KTP: Skandal Korupsi Terbesar dalam Sejarah.
  2. Kompas.com. (2017). Kasus e-KTP dan Peran Setya Novanto.
  3. Detik.com. (2021). Skema Korupsi dalam Proyek e-KTP: Fakta di Pengadilan.

Referensi Teori dan Studi Kasus

  1. Transparency International. (2016). Corruption Perceptions Index 2016.
  2. World Bank. (1997). Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank.
  3. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). (2017). Hasil Audit Penggunaan Anggaran Proyek e-KTP.
  4. OECD. (2005). Public Sector Integrity: A Framework for Assessment.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun