Mohon tunggu...
diyah meidiyawati
diyah meidiyawati Mohon Tunggu... Guru - tinggalkan jejak kebaikan lewat tulisan

Diyah Meidiyawati, S.S, , seorang guru di sebuah SMK negeri di Bojonegoro, Jawa Timur .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Sembilan Tahun

18 Agustus 2024   09:55 Diperbarui: 18 Agustus 2024   10:01 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu jadi pulang kampung, Di?’’ Ratna, teman sejawatku di kampus ini menanyakan kembali soal keputusanku.

“Ya, Inshaallah akhir bulan ini tugas-tugas koreksi dan input nilai ujian semester selesai.’’ Aku menjawab dengan tetap menatap layar laptop yang tengah menyala.

“Sudah kaupikir ulang keputusanmu, Di?’’ Ratna mengingatkan kembali tentang keputusanku. “Sayang sekali loh…kesempatan promosi jadi dosen yayasan dengan segala fasilitasnya tak akan datang kembali…kesempatan tidak akan datang dua kali.’’

Aku menghela nafas mendapatkan pertanyaan serupa itu. Terus terang aku ingin segera beranjak pergi dari ruangan yang kian ramai dengan banyaknya tatapan yang menyayangkan keputusanku yang terkesan mendadak ini. Namun, demi azas kesopanan, akhirnya aku menjawab. “Sudah, Na…sudah.’’ Aku tersenyum semata untuk menetralisir suasana.

“Assalamu’alaikum, Bu Diyah.’’ Suara cempreng itu mendadak membuyarkan lamunan akan kenangan sepuluh tahun silam.

“Waalaikumussalam, ada apa Win?’’

“Itu…Bu…Pras jotosan lagi di kelas.’’

“Jotosan dengan siapa?’’ Akupun beranjak dari tempat dudukku.

“Dengan Sega, Bu.’’ Winarti menjawab pertanyaanku dengan sedikit tergopoh mengikuti langkah kakiku menuju kelas XII-MIPA.

            Dengan sedikit berlari akhirnya aku sampai di kelas paling ujung timur itu. Kulihat suasana gaduh  memenuhi ruangan. Ada pak Gihan yang juga tengah mencoba melerai kedua ABG yang terlibat adu jotos tersebut.

            “Berhentiii!’’ Aku berteriak sekencang yang aku bisa. Semua yang ada di kelas mendadak diam tak terkecuali Pras dan Sega.

            “Mau jadi jagoan, kalian?’’ Aku terbawa emosi melihat mereka berdua, terutama Pras yang masih mengintimidasi Sega dengan kepalan tangannya hingga akupun menginjakkan kakiku ke kaki Pras.

            “Turunkan tanganmu , Pras!’’ Masih dengan nada tinggi, aku menegur Pras kembali. Sementara Sega hanya diam dan menjauhi Pras.  

            “Kalian berdua, ikut ke ruangan saya…lainnya bubar!’’ Akupun menggiring keduanya menuju ruang Waka. “Pak Gihan, ikut juga ke ruangan saya, ya!

            “Ya, Bu Diyah.’’ Pak Gihan juga mengikuti langkah kakiku beranjak dari ruang kelas XII MIPA. Tak lama setelah itu, bel tanda istirahat  berdering menandai jam pelajaran kelima akan dimulai . Saat melewati  ruang guru, semua mata menatap kedua remaja tanggung  yang sudah  membuat ulah beberapa menit yang lalu, utamanya pada Pras yang memang terkenal akan kebandelannya.   

            “Duduk!’’ setibanya di ruanganku, aku memberikan perintah pada keduanya. Mereka pun menuruti perintahku tanpa sedikit protes.

            “Pak Gihan, tolong orang tua kedua anak ini dikabari! Bilang kalau keduanya jotosan saat jam istirahat.’’ Sebagai Wakil Kepala Bidang Kesiswaan, aku punya wewenang untuk mendatangkan orang tua ataupun wali peserta didik saat situasi darurat.

            “Ya, Bu Diyah.’’ Pak Gihan, sebagai wali kelas XII-IPS segera men-dial kontak kedua orang tua  Pras dan Sega.

            “Sudah, Pak…mereka bisa datang?’’ Aku memastikan apakah kedua orang tua anak yang duduk di depanku ini bisa datang atau tidak.

            “Bisa, Bu…mereka segera datang.’’ Pak Gihan memastikan jika para orang tua datang dan berdiskusi menyelesaikan masalah kedua anaknya.

            “Kenapa kalian jotosan?’’ Aku bertanya dengan sisa emosi yang sedikit tinggi.

“Pras maksa saya mengerjakan ulangan matematika, Bu…saya tidak mau dan dia ngancam saya.’’ Sega memberanikan diri menjawab pertanyaanku sedang Pras hanya diam dan menunduk.

Aku menghembuskan nafas dengan kasar. “Pras, itu benar?’’

“Benar, Bu…saya marah karena Sega tidak mau mengerjakan ulangan matematika saya…terus dia berani juga nantang saya.’’ Pras membenarkan ucapan Sega tanpa ada rasa penyesalan.

“Kamu mau jadi preman di sekolah ini, Pras?’’ Suaraku meninggi. Emosiku benar-benar teruji.  Pras hanya diam dan menunduk dalam. Entah apa yang ada di pikirannya.

 Keheningan melingkupi ruangan. Tak ada yang mengeluarkan suara, hanya desau angin yang berhembus dari kipas angin. Aku meneguk air putih sekedar membasahi tenggorokan yang kering karena teriakanku yang sedikit over. Aku hanya menatap Pras dan Sega yang sedari tadi menunduk. Sengaja aku tak bertanya apa-apa lagi hanya untuk cooling down emosi. Kupikir nanti saja aku akan bicara banyak saat orang tua mereka sudah datang. 

 “Assalamu’alaikum.’’

“Waalaikum salam.’’ Kami menoleh ke arah pintu seraya menjawab salam dari kedua orang tua Pras dan Sega.

“Silakan masuk ...mari duduk sini, Pak!’’ Aku mempersilakan  bapak-bapak paruh baya itu untuk duduk. Sengaja kupersilakan duduk di kursi tamu, bukan di depan meja kerjaku.

“Pras, Sega…duduk di dekat bapak kalian.’’ Merekapun kompak patuh mendekati kedua orang tua masing-masing.

Dari raut muka kedua orang tua yang baru saja tiba itu, ada  kekesalan yang terbersit. Wajar sajalah. Aku pun juga sama, marah dan seandainya tidak ada larangan untuk tindak kekerasan, sudah kupastikan akupun menjotos keduanya. Namun, pikiran sehatku terus mengingatkanku untuk tidak melakukan tindakan bodoh itu. Alih-alih kapok, sel jeruji besi menunggu dan tentunya aku akan dikenang buruk.

“Silakan diminum, Pak.” Pak Gihan berujar serta meletakkan air kemasan di depan pak Salim dan pak Yanto.

“Terima kasih, Pak Gihan.’’

            Setelah sedikit berbasa-basi, akupun memulai pada inti masalah – membicarakan perihal adu jotos Pras dan Sega.    

            “Pak Salim, Pak Yanto…kami berterima kasih sekali atas kedatangannya  meskipun di luar udara cukup panas, Bapak menyempatkan diri untuk datang ke sekolah hanya untuk menyelesaikan permasalahan kedua putranya, Pras dan Sega’’ Akupun mulai membuka  percakapan.

            “Sama-sama Bu Diyah dan Pak Giham.’’ Kedua orang tua itu hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum hambarnya.

            “Mereka berkelahi karena Pras memaksa Sega mengerjakan ulangan saat pelajaran pertama tadi…Sega tidak menuruti kemauan Pras hingga Pras marah dan terjadilah perkelahian itu…untungnya Pak Gihan sudah ada saat kejadian …jadi bisa dilerai dengan cepat.’’ Aku menerangkan kronologi kejadian itu to the point.

            Pak salim menarik nafas panjang. “Saya sudah capek ngurusi Pras, Bu…nggak ada satupun omongan saya yang dianggap…rasanya saya sudah mau nyerah, Bu.’’ Pak Salim mengeluhkan perilaku anaknya.

            Semuanya terdiam. Aku merasa ada rasa putus asa pada nada bicara pak Salim. Sedangkan pak Yanto hanya terdiam memandang pak Salim.

Hening kembali melingkupi ruangan.

            “Tolong tidak bicara seperti itu, Pak Salim.’’ Aku menenangkan pak Salim.

            “Iya, Pak Salim…jangan capek ngurusi anak.’’ Pak Yanto yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba saja ikut berbicara.

            Kualihkan pandanganku pada Pras. Ia tampak biasa saja. Tak ada raut penyesalan sedikitpun, entah kalau penyesalan itu ada di hatinya. Aku melihat pak Gihan juga sedang mengamati Pras. Bisa jadi apa yang kupikirkan sama dengan yang dipikirkan pak Gihan.

            “Menasihati anak itu sudah jadi kewajiban orang tua, pak Salim.’’ Pak Gihan ikut menimpali ucapan pak Yanto.

Namun, tampaknya pak Salim sudah memendam kecewa akan perilaku anaknya, Pras. “Bagaimana saya nggak nyerah, Pak, Bu…lah wong Pras itu selalu bantah dan ngeyel…kadang kalau sudah emosi saya kumat…saya tempeleng dia…kalau sudah saya tempeleng, dianya nggak pulang ke rumah’’ Pak Salim menumpahkan kejengkelan hatinya.

Pras hanya diam, namun kedua netranya memancarkan emosi. Bisa jadi ia marah pada bapaknya yang telah menceritakan perihal kesehariannya di rumah.

            “Ibunya juga sering nangis perkara Pras itu…ini tadi ibunya sudah mewek…ditambah lagi kalau dengar Pras berulah, asam lambung ibuya mesti naik…terus bagaimana lagi saya  menghadapi Pras?’’ Ada nada kesedihan di setiap ucapan pak salim.

“Sabar, ya Pak!’’ Hanya saran untuk bersabar saja yang dapat kuucapkan pada pak Salim.

Aku menarik nafas dalam sebelum berkata.

“Pras, apa yang telah kamu lakukan tadi tidak dibenarkan…kamu telah menyakiti banyak orang…pertama ada Sega yang tersakiti secara fisik dan hatinya…kedua ada Pak Yanto yang juga tersakiti hatinya…orang tua mana yang ikhlas anaknya dijotosi apalagi kalau anaknya tak bersalah sama sekali…yang ketiga bapak dan ibu kamu…beliau berdua  tersakiti hatinya karena merasa gagal mendidik kamu, Pras.’’  Aku berusaha berkata dengan tidak menghakimi Pras yang memang pada nyatanya benar-benar bersalah.

Pak Yanto yang sedari tadi hanya diam ikut berkomentar. “Kasihan Bapakmu, Pras…kalau saja saya tidak kenal baik dengan beliau…aku pasti memperkarakan kejadian ini…aku akan melaporkanmu pada pihak Kepolisian.’’

“Terima kasih, pak Yanto…saya malu sekali dengan perbuatan Pras pada Sega…mohon dimaafkan, ya, Pak …maafkan, ya Sega.’’ Pak Salim berkata dengan suara bergetar.

“Pras, kamu harus minta maaf akan kesalahan yang telah kauperbuat…dan kamu harus berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.’’ Aku pun menyuruh Pras untuk meminta maaf pada mereka yang telah disakiti hatinya, termasuk pada ibunya di rumah.

Akhirnya adu jotos Pras dan Sega terselesaikan dengan damai. Aku harapkan tidak ada pertikaian lagi setelah saling memaafkan dan saling mengikhlaskan. Adu jotos sebenarnya bukanlah kasus pertama yang aku tangani. Sebelum menjadi Wakil kepala Urusan Kesiswaan, aku sudah pernah merasakan menjadi wali kelas yang kerap kali bersinggungan dengan siswa ABG labil.

            Lepas kasus adu jotos itu, aku kerap mengajak Pras berbincang. Hanya perbincangan ringan saja namun sedikit demi sedikit kuselipkan pesan moral di dalamnya. Meskipun belum ada perubahan signifikan, tetapi aku terus berharap semoga suatu saat nanti sedikit nasihat kebaikan dariku bisa masuk dalam sanubarinya.

Bisa jadi apa yang dikatakan Ratna sepuluh tahun yang lalu ada benarnya. Aku telah memilih opsi yang salah dengan melepaskan kesempatan untuk menjadi dosen yayasan. Jika saja aku tetap bertahan dengan pilihan itu, pastinya aku sudah meraih gelar magister bahkan bisa jadi saat ini gelar doktor sudah dapat kuraih. Namun, semua kesempatan itu aku lepaskan dan aku lebih memilih mendekat dengan kedua orang tuaku yang menginjak usia senja.

            Sudahlah, aku tak ingin ber-andai-andai lagi. Aku hanya menjalani rutinitas keseharianku sebagai pengajar sekaligus pendidik di SMA Swasta di kampung halamanku dengan sebaik-baiknya. Tahun ini, tepat 19 tahun aku mengabdikan tenaga dan pikiranku untuk mengajar dan mendidik di SMA Swasta.  Tak ada yang istimewa. Namu n yang terpenting adalah tugas-tugasku dapat kuselesaikan dengan baik dan tanggung jawab.      Seperti hari ini, cuaca Bojonegoro sangatlah terik karena bulan ini sudah memasuki kemarau. “Assalamu’alaikum, Bu Diyah.’’ Seorang cowok jangkung mendekati mejaku di ruangan kepala sekolah saat aku fokus menyusun laporan Penilaian Ahir Semester.  Sudah beberapa tahun ini tugas tambahanku bukan lagi Waka Kesiswaan, melainkan Waka Kurikulum.

            “Waalaikum salam, siapa, ya?’’ Sungguh saking banyaknya siswa yang sudah lulus ditambah lagi faktor U, aku kerap lupa dengan mereka dan tahun kelulusannya.

            “Saya, Bu…Pras yang suka adu jotos itu.’’ Pras mendekat dan mencium takzim tanganku.

            “Pras…kamu, Nak?’’ Rasanya nafasku tercekat, ada rasa percaya dan tak percaya melihat penampilannya saat ini. Tubuhnya tegap dalam balutan seragam TNI AD dan tentu saja rambut cepak ala prajurit. Sungguh penampilan yang sangat berbeda saat masih menjadi siswa sekolah ini.

            “Iya, Bu…masa lupa sih, Bu…Pras yang susah diomongin dulu itu…yang sering buat semua guru jengkel…saking jengkel dan marah semuanya mendiamkan saya…Cuma Bu Diyah yang sering ngajak saya ngobrol…sering bercerita tentang kebaikan untuk masa depan…dan saya selalu ingat itu.’’ Panjang lebar Pras bercerita demi untuk mengingatkanku.

            “Bu Diyah ingat, kok…Alhamdulillah jika apa yang Bu Diyah ceritakan saat itu memberikan kebaikan untukmu… melihatmu saat ini sudah membuktikan bahwa perubahan yang terjadi adalah perubahan positif…terima kasih sudah berubah.’’ Ada keharuan saat aku berucap.

            “Saya yang harus berterima kasih… saat orang lain cuek dan menjauh…Bu Diyah malah mendekat dan peduli…terima kasih atas nasihat-nasihat kebaikannya, ya, Bu.’’

            Banyak hal yang diceritakannya padaku , tentang tugasnya di tanah Papua, tentang kedua orang tuanya  dan tentang maksud kedatangannya di tanah Jawa. Ia akan menikah dan berniat mengundang para guru yang telah mengajar dan mendidiknya.

“Ini undangan khusus untuk Bu Diyah, ya…saya ingin Bu Diyah datang ke pernikahan saya nanti.’’ Pras menyodorkan undangan berwarna maroon berpita emas padaku.

 “Bu Diyah harus datang, loh…oh ya ada salam dan pesan khusus dari Bapak Ibu kalau Bu Diyah harus datang!’’ Salam dan pesan orang tuanya juga disampaikan Pras padaku.

“Inshaallah, Bu Diyah datang, Pras.’’ Aku memastikan akan kedatanganku ke pesta pernikahannya.

“Sungguh, ya Bu…saya tunggu…saya ijin membagikan undangan-undangan ini ke Bapak Ibu guru lainnya, ya Bu.’’ Pras meminta ijin untuk mengedarkan undangannya pada bapak ibu guru yang lain.

Aku mengangguk dan mengamatinya memberikan sisa undangan pernikahannya. Hampir semua guru yang mengikuti perjalanan pendidikan Pras dengan liku-liku kenakalannya di masa lampau merasa kaget dan tentunya bahagia.

“Bu Diyah, saya ijin pamit, ya…terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk ngobrol…dan terima kasih untuk nasihat kebaikannya.’’ Ia mendekati dan mencium kembali tanganku.

“Tetaplah berbuat baik di manapun kamu berada…ingat, Allah akan selalu tahu apa yang kau perbuat karena di kiri kananmu terpasang CCTV yang tidak akan rusak hingga akhir masa nanti.’’

Ia mengangguk dan hendak beranjak meninggalkan kursi hingga aku memanggilnya kembali. “Pras…titip NKRI kita…jaga sepenuh hati dengan jiwa dan ragamu.’’

“Siap, Bu!’’ Ia berdiri dalam posisi siap dan hormat layaknya berdiri di depan Komandan.

“Sukses, ya Nak…bahagia selalu.’’ Aku berdiri menyamakan langkah dan menepuk pundaknya saat ia sudah mencapai ambang pintu.

“Terima kasih, Bu…sambung doanya selalu.’’ Kulihat ada setitik air di ujung netranya . Aku mengangguk dengan senyum dan iapun berlalu.

Sungguh aku tak pernah menyangka bahwa si ABG bengal nan labil itu datang untuk menjumpai semua gurunya termasuk aku. Hal yang membuatku sangat terkesan adalah kesantunannya, kesantunan yang tidak pernah aku temui saat ia masih menjadi anak didikku selama tiga tahun. Namun setelah sembilan tahun berlalu sejak Pras dinyatakan lulus, semua kebengalannya tergantikan dengan kesantunannya yang mengesankan.

Hanya bacaan Hamdalah yang kuucapkan sebagai syukurku yang luar biasa atas kebaikanNya membuka dan melembutkan pintu hati anak didikku, Pras. Allah, terima kasih, semua usaha baik tak ada yang sia-sia. Semoga ia menjadi insan yang selalu memberikan manfaat untuk keluarga, lingkungan, agama dan negaranya.

Aku belajar banyak hal dalam kurun waktu 19 tahun ini. Takdir berkarierku bukanlah di kota dengan mahasiswa yang sudah terpola hidupnya dengan kesadaran diri dan kedisiplinan. Takdir berkarirku ada di desa dengan mayoritas anak didik yang pola kesadaran diri dan kedisiplinan masih sangat rendah. Ditambah pula dengan orang tua mereka yang bisa dikatakan sebagai orang tua dengan low educated background.  

Memang, dengan berkarier di desa , reward uang beserta jabatan yang aku dapatkan jauh dari apa yang pernah kudapatkan saat menjadi dosen dulu. Namun, semakin ke sini aku menyadari bahwa reward tidak selamanya dalam bentuk uang dan jabatan. Bagiku, dengan diindahkan dan diterapkannya semua nasihat kebaikan pada hidup keseharian anak didikku, aku sudah merasa bahagia , dan itu reward yang luar biasa.

Bel tanda pelajaran telah usai berdering. Cukup lama juga aku bermonolog dalam hati usai Pras pamit. “Waktunya pulang…Mbak Lisa, tolong besok berkas yang belum selesai ditindaklanjuti, ya.’’ Aku memberikan mandat pada mbak Lisa, staf kurikulumku.

“Iya, Bu..saya pamit dulu ya.’’

“Monggo, Mbak Lisa…hati-hati!’’

Aku segera berkemas dan pulang dengan hati yang bahagia.

           

           

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun