Aku menghembuskan nafas dengan kasar. “Pras, itu benar?’’
“Benar, Bu…saya marah karena Sega tidak mau mengerjakan ulangan matematika saya…terus dia berani juga nantang saya.’’ Pras membenarkan ucapan Sega tanpa ada rasa penyesalan.
“Kamu mau jadi preman di sekolah ini, Pras?’’ Suaraku meninggi. Emosiku benar-benar teruji. Pras hanya diam dan menunduk dalam. Entah apa yang ada di pikirannya.
Keheningan melingkupi ruangan. Tak ada yang mengeluarkan suara, hanya desau angin yang berhembus dari kipas angin. Aku meneguk air putih sekedar membasahi tenggorokan yang kering karena teriakanku yang sedikit over. Aku hanya menatap Pras dan Sega yang sedari tadi menunduk. Sengaja aku tak bertanya apa-apa lagi hanya untuk cooling down emosi. Kupikir nanti saja aku akan bicara banyak saat orang tua mereka sudah datang.
“Assalamu’alaikum.’’
“Waalaikum salam.’’ Kami menoleh ke arah pintu seraya menjawab salam dari kedua orang tua Pras dan Sega.
“Silakan masuk ...mari duduk sini, Pak!’’ Aku mempersilakan bapak-bapak paruh baya itu untuk duduk. Sengaja kupersilakan duduk di kursi tamu, bukan di depan meja kerjaku.
“Pras, Sega…duduk di dekat bapak kalian.’’ Merekapun kompak patuh mendekati kedua orang tua masing-masing.
Dari raut muka kedua orang tua yang baru saja tiba itu, ada kekesalan yang terbersit. Wajar sajalah. Aku pun juga sama, marah dan seandainya tidak ada larangan untuk tindak kekerasan, sudah kupastikan akupun menjotos keduanya. Namun, pikiran sehatku terus mengingatkanku untuk tidak melakukan tindakan bodoh itu. Alih-alih kapok, sel jeruji besi menunggu dan tentunya aku akan dikenang buruk.
“Silakan diminum, Pak.” Pak Gihan berujar serta meletakkan air kemasan di depan pak Salim dan pak Yanto.
“Terima kasih, Pak Gihan.’’