**
 "Itu siapa laki-laki yang duduk di sebelahmu tadi?" Yusuf bertanya penuh penekanan.
"Ohh, itu ... temanku Bos," jawabku penuh keraguan.
"Sudah punya teman akrab, ya, di sini? Padahal baru tiga bulan merantau di negara ini. Hemm ... Sampai kecup tangan segala. Kalau ada yang cemburu nanti, bagaimana?"
"Itu spontan Bos, tak sengaja."
Aduh! Menjadi pembohong itu, bukan aku banget. Tapi nyaliku terlalu ciut untuk berkata jujur kepada Yusuf. Siapa sosok Adam yang sebenarnya dalam hidupku. Penuh pertimbangan jika ingin menceritakan kepada Bos.
Rasa ragu yang menyerangku dengan ganas, sangat memecah belah keyakinanku yang sebenarnya ingin berbicara jujur. Semua ini terjadi karena masalah uang. Tentang duniawi yang kukejar hingga merantau sejauh ini, ke luar negeri.
Yaa Tuhanku, ampunilah aku. Jika kukatakan yang sebenarnya, Â bisa-bisa aku akan dipecat dan dipulangkan ke Indonesia, secara sepihak. Jika kejujuran ini dipaksakan tiba-tiba. Padahal modalku yang tertuang dalam biaya penempatan untuk bekerja di Brunei Darussalam, sebesar BND 1.200, belum balik modal. Ahh, masak aku harus pulang dengan kegagalan.
 "Masak sih, Sarah?" Yusuf bertanya lagi.
"Be ... betul, tuan." Suaraku menjadi gagap saat menjawabnya.
"Jika aku ... suatu saat nanti, secara tak sengaja, meraih tanganmu, dan berbuat seperti itu, mau, ya?"
"Haaa ... apa Bos, ngomong apaan, sih. Itu kejadiannya terlalu cepat dan spontan."
"Oke. Baiklah. Jaga diri baik-baik ya ... nanti aku bawakan oleh-oleh dari Singapore spesial untukmu."
"Jangan repot-repot, Bos."
"Bye, Sarah. Take care!"
Suara Yusuf menghilang setelah ponsel kumatikan. Saat berniat untuk kembali masuk ke cafe, langkahku terhenti pada dinding kaca yang membatasi luar dan dalam cafe. Pandangan fokus pada dua subjek yang sedang duduk di meja nomer dua.
Seorang perempuan modis, berkulit cerah, dengan tatanan rambut sebahu, sedang duduk di depan Adam. Terlihat mesra dari kejauhan. Sesekali terlibat dalam obrolan, lalu saling berpandangan. Mereka seperti mempunyai chemistry antara satu sama lain.
Degupan jantung memacu lebih cepat dari beberapa menit yang lalu. Perasaan hambar, tiba-tiba memasuki relung hati. Ahh ... sebak menggulung rasa tak menentu. Ada apa denganku?
Niatku yang ingin belajar membuka hati untuk Adam, kembali menghilang. Bersemi kembali nyanyian berhenti berharap, bersenandung merdu dalam kalbu. Apakah ini nyata? Ataukah hanya sekedar cemburu?
Kusandarkan tubuh di dinding, menarik napas dalam-dalam, sambil memejamkan mata. Agar terkumpul kekuatan dan ketenangan hingga tetap bisa bersikap elegan di depan semua orang. "Kau bisa Sarah. Buang egomu. Come on girls!" Lirih aku berbisik, berbicara pada diri sendiri.
Aku membuka mata secepat kilat, ketika merasakan bahuku dicolek seseorang. Semakin terkejut dengan tanganku yang langsung menyentuh dada, saat Yusuf telah berdiri tepat di hadapanku.
"Tu, Tuan. Sejak kapan berdiri di sini?"
"Sejak kau pejamkan matamu. Kenapa?"
"Hahh, tidak."
"Kalau udah ngantuk, jangan tidur di sini. Entar jatuh, siapa yang repot?"
"Iya, Tuan."
"Sarah?"
"Yaa ...."
"Kenapa kamu ada di sini?"
"Ini mau masuk bertemu temanku di dalam."
"Jangan gangguin orang lagi couple, ya? Tidak baik."
"Couple? Maksudnya?"
"Itu kawanmu di dalam?"
"Ohh, itu."
Jantungku serasa berhenti tiba-tiba, saat mendengar Yusuf berbicara seenaknya. Dia tidak tahu jika yang berdiri di sini, adalah couple seorang lelaki di meja nomer dua. Memang salahku sih, tidak segera berkata jujur kepada Yusuf. Aku bergedek ngeri, membayangkan akan dipulangkan, tanpa uang di tangan.
"Tuan sendiri, ngapain masih di sini? Apakah belum berangkat ke airport?"
"Belum, bentar lagi. Ada urusan sedikit ama seseorang."
"Ohh gitu ... ya udah. Aku masuk ke dalam dulu ya?"
"Apakah kamu tahu siapa seseorang itu?"
"Tidak. Kan itu urusan Bos. Bukan urusan saya."
"Kalau mau tahu, boleh kok, aku beritahukan."
"Nggaklah Bos. Aku nggak mau ikut campur dan tidak mau terlibat."
"Ohh, baiklah. Mau kupaksa biar tahu, kamunya nggak mau. Kalau gitu balik sana ke rumah. Udah malam. Besok banyak pekerjaan yang harus kamu lakukan. Ayo aku antar pulang?"
"Tidak Bos, terima kasih."
"Beneran tidak mau diantar?"
"Iya, terima kasih."
Yusuf melambaikan tangan dan meninggalkanku. Lalu aku melangkah masuk ke dalam cafe. Perempuan berkulit putih inipun memandangku dengan pandangan mematikan. Ahh, aku jadi salah tingkah.
"Permisi," ucapku.
"Silahkan, Bu," balas perempuan cantik itu.
Aku mengambil handbag di atas kursi, lalu duduk di sebelah Adam. Dia memandangku begitu dalam, hingga debaran aneh menyerangku detik ini. Tuhan, ada apa dengan dia?
"Kok lama sih, teleponnya. Dianggurin gitu aja aku ini." Adam mengungkapkan perasaannya dengan mimik masam.
"Ini siapa Adam?"
Aku tersenyum dan terdiam. Mengharap dia memberikan jawaban kepada perempuan yang tidak kukenal ini. Lagipun perempuan itu juga bukan temanku. Biarlah dia saja yang menjelaskannya.
Adam memandang perempuan itu, lalu beralih menatapku. Hatiku sudah kebat-kebit, diliputi perasaan gelisah. Khawatir rahasia kami terbongkar. Apakah ini bermaksud aku lebih senang berselindung dari status kebenaran, kah? Entahlah! Semua hal yang terjadi ini sangat tumpang tindih.
"Dia ... temanku di kampung. Benarkan Sarah?"
Aku menggangguk sambil tersenyum, sebagai tanda setuju. Terdiam seribu bahasa. Tidak tahu harus berkata apa. Namun setidaknya aku bersyukur, Adam masih mau mengerti dan ingat semua pesanku.
"Sarah, kenalkan ini rekan bisnisku dari perusahaan yang lain. Tapi kami sama-sama meeting di sini," Adam membuka suara.
"Kenalkan Bu. Nama Saya Dina Mariana. Panggil saja Maria."
"Saya Sarah Qistina Azzahrah. Panggil saja Sarah."
"Sarah ke sini dalam rangka apa?" Maria bertanya sambil melirik ke arah Adam.
"Saya bekerja sebagai staf pengacara yang masih menjalani masa training." Jawabku sambil tersenyum.
"Oh, dimana?"
"Yusuf Haris Lawyer and Patners," Adam membantu menjawab pertanyaan Maria.
"Maria dan Adam, saya mohon diri dulu ya? Mau pulang udah malam."
"Sebentarlah Sarah. Aku belum selesai ngomong sama kamu." Adam menahan tanganku, dan menarikku kembali untuk duduk, saat aku sudah berdiri.
Maria tersenyum memandang kami berdua. Senyum aneh, yang tidak bisa kutebak artinya. Aku menjadi salah tingkah, dan melepasakan tanganku dari genggaman Adam.
"Mas Adam, nggak enak dilihat Maria. Nanti dipikirnya kita ada apa-apa."
"Iya betul. Sepertinya kamu berdua terlalu akrab," ujar Maria.
"Aku memang akrab banget sama dia. Rumah kami di kampung juga cuma sebelahan saja. Orang tua kami juga saling mengenal. Meskipun aku pendatang baru di kampung Sarah. Jadi tidak masalah diantara kami."
Aku mengurungkan niatku untuk meninggalkan Adam. Melanjutkan obrolan, hingga satu jam kemudian, melirik jam yang menghiasi pergelangan tanganku. Adam menatapku, dan mengangguk seakan tahu jika aku ingin menyudahi waktu ini bersamanya.
Adam berpamitan pada Maria, dan mengantarku sampai ke mobil. Dia berpesan akan telepon, jika aku sudah sampai di rumah kontrakan.
Aku mengangguk tanda setuju, tidak mau berdebat lagi dengan Adam. Dia melambaikan tangan, demikian juga aku. Kemudian memacu mobilku hingga membelah jalan raya, yang sudah mulai sepi.
Bersambung ....
**
BSB, Â 1 Oktober 2019
Diyah Kalyna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H